Liputan6.com, Jakarta - Tingkat pencemaran air di Sungai Ciliwung menjadi permasalahan bagi masyarakat di Bogor, Jawa Barat. Akibat sungai tercemar lumpur membuat pembudidaya ikan terpaksa gulung tikar.
Tak hanya itu, keruhnya Sungai Ciliwung membuat berkurangnya produksi air baku milik Perumda Air minum Tirta Pakuan Kota Bogor.
Menurut hasil riset yang rutin dilakukan secara berkala oleh pihak perusahaan pelat merah ini, sudah hampir dua tahun terakhir kadar kekeruhan melebihi ambang batas, yakni mencapai 5.000-6.000 NTU (Nephelometric Turbidity Units). Pengujian air Sungai Ciliwung ini dilakukan di Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Katulampa, Kota Bogor.
"Padahal biasanya standar tingkat kekeruhan Sungai Ciliwung dibawah 100 NTU. Sudah hampir dua tahun terakhir ini parah keruhnya," ujar Direktur Utama Perumda Tirta Pakuan Kota Bogor, Rino Indira, Rabu (30/3/2022).
Baca Juga
Advertisement
Kondisi air sungai Ciliwung keruh terjadi di waktu menjelang siang sampai dengan sore hari. Di waktu malam, tingkat kekeruhan turun meskipun tidak signifikan.
"Biasanya air Ciliwung yang kita olah di bawah 100 NTU. 5.000-6.000 ribu NTU pekat banget sudah seperti kopi, coklat banget. Luar biasa pokoknya, parah," ujar Rino.
Akibat tercemarnya Sungai Ciliwung menyebabkan kapasitas produksi menjadi berkurang signifikan. Semula, air baku yang dihasilkan dari SPAM Katulampa sebanyak 300 liter air per detik, menjadi 100 liter per detik.
"Ya pengurangannya karena banyak saluran tersumbat lumpur. Kami juga harus buang lumpurnya di penampungan. Waktu ngebuang lumpur itu sama saja mengurangi kapasitas produksi," terangnya.
Kondisi ini juga membuat biaya produksi menjadi lebih tinggi. Karena harus menggunakan metode pembubuhan dan zat kimia. Selain itu, butuh waktu lebih lama lagi untuk mengurai air keruh menjadi jernih sehingga layak konsumsi.
"Sempat kami naikin komposisi aluminiumnya 10-12%, tapi tetep engga nolong. Akhirnya kita tambahkan polimer untuk cepat mengurai kekeruhannya. Hasil lab bisa jalan. Tapi ya tetap dapat air jernih, lumpurnya juga masih banyak, 50 persen," terangnya.
Menurutnya, berkurangnya kapasitas produksi air baku juga memengaruhi terhadap distribusi air bersih bagi 32.000 pelanggan di zona 7.
"Terpaksa sekitar 2-3 ribu pelanggan kami pasok air dari zona lain. Kemudian kita gunakan pompa dari Intan Pakuan untuk mendorong distribusi air ke beberapa wilayah lainnya di zona 7," ucapnya.
Tercemarnya Sungai Ciliwung dampak dari aktivitas pengerukan tanah pada pembangunan Bendung Ciawi dan Sukamahi, yang digadang-gadang Jokowi.
"Barangkali itu (dampak proyek bendung), kami sudah layangkan surat ke Kementrian, barangkali dia lupa. Petinggi (wali kota) sudah lapor juga," ujar Rino.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Peternak Ikan Merugi
Keluhan serupa juga diutarakan puluhan peternak ikan di Desa Pandansari, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor.
Sulaeman, salah satu peternak ikan di wilayah itu mengaku terpaksa menghentikan budidaya ikan mas, nila, dan mujaer. Sebab, ikan-ikan yang mereka pelihara kerap mati mendadak seperti keracunan.
"Tiap hari pasti banyak yang mati, mungkin kalau ditotal sudah ratusan kuintal yang mati. Daripada rugi terus, jadi saya berhenti budidaya ikan. Yang lain juga sama," kata Sulaeman.
Sulaeman mengungkapkan, ikan-ikan yang ia budidayakan mati mendadak akibat sumber air dari anak sungai Ciliwung tercemar lumpur. Warnanya hampir mirip minuman bajigur, cokelat pekat.
Menurutnya, keruhnya air sungai sudah terjadi sejak dimulainya proyek pembangunan Bendung Ciawi dan Sukamahi di Kecamatan Megamendung.
Semenjak itu, selain ikan-ikannya banyak yang mati, ia juga harus rutin membersihkan kolam karena sedimentasi dari lumpur terbawa air. Bahkan, lumpur ini sampai mengotori halaman rumahnya.
"Tadinya saluran irigasi Cibalok juga bening, sejak itu sampai sekarang berubah warna jadi coklat pekat dan penuh lumpur," kata dia.
Sulaeman dan warga Pandansari lainnya kini hanya bisa pasrah. Sebab, keluhan yang sering mereka utarakan tak pernah didengar, terutama oleh pihak penanggung jawab proyek.
"Kami sudah sering kali mengeluhkan persoalan ini, tapi tak pernah ada sedikit pun jawaban atau solusi," ujar Sulaeman.
Advertisement