Liputan6.com, Jakarta - Smartfren sudah punya rencana untuk menggelar layanan 5G pada 2022 ini. Meski begitu, Presiden Direktur Smartfren Merza Fachys tidak ingin layanan 5G yang dihadirkan Smartfren hanya sekadar '5G-5G-an'.
"Kami menargetkan dalam tahun ini (Smartfren) akan mulai 5G, memang pada saat pertama belum semeriah itu namun kami ingin 5G merambah ke semua aplikasi yang memang memerlukan (jaringan 5G)," katanya, dalam sesi Selular Congress 2022 yang digelar Selular Media Network.
Advertisement
Merza mengatakan, saat ini ada banyak layanan digital baru, termasuk upaya untuk merambah metaverse. Menurut Merza, metaverse dan teknologi di dalamnya baru benar-benar hidup dengan 5G.
"Layanan 5G yang mendukung metaverse inilah yang sedang disiapkan oleh Smartfren," katanya.
Tanpa menyinggung operator lain yang sudah menggelar 5G, Merza menilai layanan 5G yang ada saat ini belum real 5G.
"Baru 5G di aksesnya, microwave yang speed-nya terbatas dengan satelit yang belum high throughput satellite. Bagaimana mau main metaverse, main gim online saja tertembak terus," kata dia.
Operator seluler pun berupaya untuk terus menghadirkan 5G sepenuhnya, yakni yang kecepatannya tinggi, kapasitasnya besar, dan latensi yang rendah. Salah satu syaratnya, adalah dukungan spektrum frekuensi yang cukup.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Operator Haus Frekuensi untuk Gelar 5G
Menurutnya, saat ini operator seluler masih haus spektrum frekuensi. Pasalnya spektrum frekuensi yang ada kini masih tertahan karena dipakai untuk kepentingan lain, salah satunya TV analog.
"Spektrum yang ada perlu ditata ulang. Misalnya dengan mematikan TV analog sehingga spektrum frekuensi bisa dipakai untuk 5G," katanya.
Merza memahami penataan ulang spektrum frekuensi memang butuh waktu. Namun ia menilai, hal ini perlu segera dilakukan guna memenuhi kebutuhan akses internet 5G yang lebih cepat, berkapasitas besar, dan latensi yang rendah.
Selain spektrum frekuensi, layanan 5G juga memerlukan dukungan fiber optic untuk membawa kapasitas transport yang lebih besar dan cepat. Lagi-lagi, untuk menggelar fiber optic dibutuhkan investasi yang tak sedikit.
"Menggelar fiber optic itu izin dan prosesnya lama, biayanya pun tidak murah," tuturnya.
Advertisement
Sentil Perizinan Pemda yang Rumit
Ia pun menekankan sulitnya perizinan untuk membangun jaringan fiber optic di tingkat daerah. Merza mencontohkan, ada pemda yang ketika operator ingin menanam kabel di pinggir jalan, operator diwajibkan untuk menyewa tanah.
"Sewa tanah pinggir jalan mahal karena mengikuti NJOP di wilayah itu, ini nggak masuk akal," tuturnya.
Dia mengharapkan agar pemerintah tidak menarik pendapatan di depan, ketika operator tengah berupaya membangun jaringan.
"Semua sekarang narik di depan, retribusi, dan lain-lain. Padahal kalau layanan tumbuh cepat, (pemerintah) bisa mendapat untung dari pajak yang layanan yang lebih besar," ujarnya.
Terkait deployment 5G yang butuh biaya besar dan perizinannya sulit ini, Smartfren mengajak pelaku bisnis yang memanfaatkan internet seperti kripto, NFT, dan metaverse untuk ikut 'bernyanyi'. Dengan begitu, pemerintah mendengarkan dan membantu upaya penyediaan internet yang lebih cepat.
"Ayo siapa saja yang mau, 5G harus gotong royong, tanpa itu tidak akan efisien," katanya.
(Tin/Isk)
Infografis Era Teknologi 5G di Indonesia
Advertisement