Liputan6.com, Jakarta Masyarakat tengah bersiap menghadapi kenaikan harga BBM dengan kadar oktan (RON) 92 jenis Pertamax, dari yang sekarang dijual Rp 9.000 per liter. Sebelumnya, PT Pertamina (Persero) juga sudah menaikan harga sejumlah produk BBM non-subsidi lain.
Situasi berbeda dirasakan masyarakat Malaysia, yang biasa menikmati BBM produksi Petronas. Bahkan, harga BBM dengan kadar oktan atau RON 95 di Negeri Jiran saja kini dijual di angka RM 2,05, atau setara Rp 6.998 (kurs Rp 3.413) per liter.
Advertisement
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro coba mewajari hal tersebut. Menurutnya, ada beberapa indikator yang membuat harga BBM di Malaysia lebih murah dibanding Indonesia.
"Terkait Malaysia kenapa lebih murah, di Malaysia diintervensi oleh government. Artinya diberikan subsidi, itu satu hal," ujar Komaidi, Kamis (31/3/2022).
Hal lain yang jadi pembeda, kebijakan pajak yang juga berbeda tarifnya. Menurut dia, ongkos distribusi antara di Malaysia dan Indonesia jelas berbeda. Dengan status negara kepulauan, biaya pasok di Indonesia jauh lebih mahal. Namun, Pertamina harus membuat harga rata-rata untuk tiap jenis produk BBM.
"Sementara kalau Malaysia relatif lebih sederhana dibanding Indonesia. Sehingga dalam konteks biayanya lebih murah dibandingkan Indonesia. Ini di dalam urusan distribusi dan pengadaan secara keseluruhan," tegas Komaidi.
Banyak Impor BBM
Indikator lain, Indonesia khususnya Pertamina saat ini masih jadi net importir BBM. Sedangkan kondisi Malaysia dinilai relatif berbeda.
"Jadi konsumsinya dengan jumlah penduduk yang tidak sebanyak Indonesia, mereka juga masih memungkinkan untuk pemerintah mengintervensi dengan tingkat produksi Petronas yang di luar negeri juga cukup lumayan. Jadi mereka punya ruang gerak yang lebih fleksibel dibanding kita," terangnya.
Komaidi juga mengutip data konsumsi minyak yang mencapai sekitar 1,6 juta barel per hari (bph). Di sisi lain, angka produksi dalam negeri baru mencapai 700 ribu bph.
Menurut data terbaru dari SKK Migas, dari jumlah 700 ribu bph tersebut, 200 ribu bph diantaranya kembali ke pihak Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam bentuk cost recovery dan bagian penjualan. Sehingga total produksi dalam negeri hanya mencapai 500 ribu bph.
"Sehingga kita hanya 1,1 juta yang diimpor setiap harinya. Ini yang saya kira menjadi pertimbangan kenapa level harganya lebih tinggi dari Malaysia," pungkas Komaidi.
Advertisement