Mengenal Hisab Hakiki Wujudul Hilal dan Penentuan Jadwal Puasa Muhammadiyah

Penetapan 1 Ramadhan tahun ini kemungkinan besar akan mengalami perbedaan antara Muhammadiyah dan Kementerian Agama.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 01 Apr 2022, 10:22 WIB
Tim hisab rukyat Kanwil Kemenag DKI Jakarta memantau hilal 1 Ramadan 1440 H menggunakan teleskop dari atap Gedung Kanwil Kemenag DKI Jakarta, Minggu (5/5/2019). Pemantauan hilal dilakukan di 102 titik Rukyatul Hilal dari 34 provinsi di Indonesia denga motode rukyat. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Penetapan 1 Ramadhan tahun ini kemungkinan besar akan mengalami perbedaan antara Muhammadiyah dan penetapan pemerintah. PP Muhammadyah telah menetapkan 1 Ramadhan tahun ini jatuh pada Sabtu 2 April 2022. Sementara pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, akan menggelar sidang isbat penentuan 1 Ramadhan sore ini.

Lalu bagaimana sebenarnya cara menentukan 1 Ramadhan Muhammadiyah, mengapa sampai terjadi perbedaan. Berikut penjelasannya, seperti dikutip dari laman situs resmi Muhammadiyah, Jumat (1/4/2022).

Bulan merupakan satelit alami bumi. Sebagai satelit yang berputar mengitari Bumi, penampakan bulan berubah tergantung waktu. Dari sama sekali tidak tampak, muncul bulan sabit tipis, kemudian tampak melebar, terus lingkaran penuh atau purnama, kembali mengecil membentuk sabit, sabitnya semakin mengecil, hingga tidak tampak kembali.

Perubahan dari penampakan bulan inilah yang menjadi acuan dalam penanggalan kalender kamariah. Penampakan hilal atau bulan sabit yang paling tipis menjadi tanda bulan baru telah masuk. Dalam praktiknya, kerap terjadi perbedaan awal bulan terutama Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah. Hal tersebut disebabkan perbedaan kriteria teknik pelaksanaan metodenya. Berikut tiga metode penentuan awal bulan kamariah.

 

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Simak juga video pilihan berikut ini:


Rukyatul Hilal

Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal saat matahari terbenam pada tanggal 29 bulan Kamariah. Dengan kata lain, rukyat hanya dilakukan manakala telah terjadi konjungsi bulan-matahari dan pada saat matahari terbenam, hilal telah berada di atas ufuk dan dalam posisi dapat terlihat. Jika pada tanggal tersebut hilal tidak terlihat, entah faktor cuaca atau memang hilal belum tampak, maka bulan kamariah digenapkan jadi 30 hari. Metode ini biasanya dilakukan menjelang hari-hari besar umat Islam seperti awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah.

Akan tetapi, kekurangan rukyat ini ialah umat Islam tidak mungkin bisa membuat kalender. Metode ini tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan, karena tanggal baru bisa diketahui pada h-1 atau hari ke-29 (bahkan tidak jelas bagaimana kita tahu kapan tanggal 29 itu). Selain itu, jangkauan rukyat sangat terbatas sehingga memaksa umat Islam untuk berbeda memulai awal bulan kamariah termasuk bulan-bulan ibadah, bahkan menyisakan problem dalam pelaksanaan puasa Arafah.

 


Imkan Rukyat

Imkan rukyat merupakan bagian dari metode hisab hakiki yaitu perhitungan astronomis terhadap posisi Bulan pada sore hari konjungsi (ijtimak). Dalam metode ini, penanggalan berbasis peredaran bulan disebut memasuki perhitungan baru bila pada sore hari ke-29 bulan kamariah berjalan saat matahari terbenam, Bulan berada di atas ufuk dengan ketinggian sedemikian rupa yang memungkinkannya untuk dapat dilihat.

Kelemahan dalam metode ini ialah para ahli tidak sepakat dalam menentukan berapa ketinggian bulan di atas ufuk untuk dapat dilihat. Kriteria yang baru dari Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) menetapkan sudut ketinggian bulan minimal 3 derajat dan elongasi minimal 3 derajat. Sementara di negara lain seperti Mesir sudut ketinggian hilal minimal 4 derajat, di komunitas Muslim Amerika minimal 15 derajat. Kriteria-kriteria ini hanya didasarkan pada kesepakatan belaka bukan alasan astronomis.

 


Wujudul Hilal

Dengan metode ini, bulan kamariah baru dimulai apabila pada hari ke-29 berjalan saat matahari terbenam terpenuhi tiga syarat berikut secara kumulatif, yaitu pertama, telah terjadi ijtimak, kedua, ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, dan ketiga, pada saat matahari terbenam bulan (piringan atasnya) masih di atas ufuk. Menjadikan keberadaan bulan di atas ufuk saat matahari terbenam sebagai kriteria mulainya bulan baru merupakan abstraksi dari perintah-perintah rukyat dan penggenapan bulan tiga puluh hari bila hilal tidak terlihat.

Sama seperti imkan rukyat, metode wujudul hilal juga bagian dari hisab hakiki. Bedanya, wujudul hilal lebih memberikan kepastian dibandingkan dengan hisab imkan rukyat. Jika posisi bulan sudah berada di atas ufuk pada saat terbenam matahari, seberapapun tingginya (meskipun hanya 0,1 derajat), maka esoknya sudah berada di hari pertama bulan baru.

Bagi Muhammadiyah, menjadikan keberadaan Bulan di atas ufuk saat matahari terbenam sebagai kriteria mulainya bulan kamariah baru, juga merupakan abstraksi dari perintah-perintah rukyat dan penggenapan bulan tiga puluh hari bila hilal tidak terlihat. Hilal tidak mungkin terlihat apabila di bawah ufuk. Hilal yang dapat dilihat pasti berada di atas ufuk. Apabila Bulan pada hari ke-29 berada di bawah ufuk sehingga tidak terlihat, lalu bulan bersangkutan digenapkan 30 hari, maka pada sore hari ke-30 itu saat matahari terbenam untuk kawasan normal Bulan sudah pasti berada di atas ufuk.

Mengapa Bukan Hisab Hakiki Imkanur Rukyat? Jika menolak kriteria ijtimak sebelum gurub (al-ijtima’ qabla al-gurub), mengapa Muhammadiyah tidak mengadopsi hisab hakiki kriteria imkanur rukyat yang di dalamnya juga mensyaratkan Bulan berada di atas ufuk saat matahari tenggelam pada hari konjungsi?

Jawaban yang mungkin dapat ditelaah karena para ahli hingga saat ini belum sepakat dalam menentukan berapa derajat ketinggian Bulan di atas ufuk untuk dapat dilihat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang kemudian diadopsi Kementerian Agama (Kemenag) misalnya, menyebut jika tinggi bulan ketika terbenam matahari di seluruh Indonesia di atas dua derajat, maka besok akan menjadi awal bulan baru. Hal ini berbeda dengan lembaga fatwa lain yang meski sama-sama menggunakan kriteria imkanur rukyat namun parameter tinggi bulan berbeda satu sama lain.

Karenanya, hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal lebih memberikan kepastian dibandingkan dengan hisab hakiki kriteria imkanur rukyat. Bagi Muhammadiyah, jika posisi bulan sudah berada di atas ufuk (pada saat terbenam matahari di seluruh Indonesia), seberapa pun tingginya (meskipun hanya 0.1 derajat), maka esoknya adalah hari pertama bulan baru.

Berdasarkan kriteria wujudul hilal, 1 Ramadhan 1443 H tahun ini jatuh pada 2 April 2022. Besar kemungkinan akan terjadi perbedaan dengan kriteria imkan rukyat yang baru, sebab ketinggian hilal pada 29 Syaban di seluruh Indonesia kurang dari 3 derajat. Sedangkan pengguna rukyat baru akan memutuskan setelah mereka benar-benar melihat hilal di atas ufuk saat matahari terbenam.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya