Liputan6.com, Jakarta Lingkungan kerja toxic menjadi salah satu penyebab dari banyaknya pegawai yang mengundurkan diri dari pekerjaan. Bahkan masalah ini sepuluh kali lebih penting ketimbang memikirkan besaran gaji yang diterima.
Hal ini pun didukung dari sebuah penelitian yang diterbitkan di MIT Sloan Management Review. Para peneliti telah menganalisis 1,4 juta ulasan Glassdoor dari hampir 600 perusahaan besar di AS.
Advertisement
Mereka menemukan, kebanyakan karyawan memberi penilaian lingkungan kerja toxic dalam lima ciri utama, yaitu tidak inklusif, tidak sopan, tidak etis, perilaku kejam, dan atasan yang kasar.
“Karyawan punya ratusan kritik berbeda tentang perusahaan yang mereka diskusikan di Glassdoor, dari masalah TI hingga manajemen yang tidak mengerti,” kata salah satu peneliti Charlie Sull seperti melansir CNBC, Sabtu (2/4/2022).
Sebagai bahan analisis, para peneliti berfokus pada topik yang diulang-ulang dalam ulasan karyawan. Kemudian dilihat adanya korelasi dengan skor negatif, budaya perusahaan, dan tingkat atrisi yang tinggi dari April hingga September 2021.
“Ini bukan hanya gangguan belaka. Ini adalah hal-hal yang bisa menyebabkan reaksi emosional sehingga membuat Anda takut bekerja,” tuturnya.
Ciri Lingkungan Kerja Toxic
Berdasarkan ulasan anonim, seorang karyawan mengatakan setidaknya ada lima ciri lingkungan kerja yang toxic. Berikut ini penjelasannya.
1. Tidak Inklusif
Keadaan ini menunjukkan karyawan tidak diperlakukan secara adil dan diikutsertakan dalam keputusan penting. Baik dari anggota lintas gender, ras, identitas dan orientasi seksual, disabilitas, dan usia.
Para peneliti mengingatkan bahwa meskipun topik terkait identitas ini mungkin tidak berlaku untuk semua karyawan, mereka memiliki dampak yang besar.
Misalnya, “rasa hormat” disebutkan sebanyak 30 kali lebih sering dalam ulasan karyawan daripada ekuitas LGBTQ.
Padahal kedua topik tersebut memiliki dampak yang sama pada pandangan budaya karyawan ketika dibahas secara negatif dalam ulasan.
2. Tidak Saling Menghormati
Dalam hal ini, tidak adanya rasa saling menghormati antar pegawai. Menurut penelitian, ada atau kurangnya rasa hormat, itu adalah satu-satunya prediktor terkuat untuk menilai budaya perusahaan.
3. Perilaku Tidak Etis
Di dalamnya termasuk ketidakjujuran atau kurang mematuhi peraturan. Tidak patuh terhadap aturan misalnya melanggar standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang dapat melindungi keselamatan pekerja serta Undang-Undang Portabilitas dan Akuntabilitas Asuransi Kesehatan yang melindungi informasi sensitif pasien.
4. Perilaku yang Kejam
Hampir 10 persen dari ulasan karyawan mencatat adanya kolaborasi yang buruk di perusahaan. Para pegawai saling menusuk dari belakang demi mendapatkan keinginannya.
5. Atasan yang Bersikap Kasar
Ini termasuk intimidasi, pelecehan, dan permusuhan. Hampir sepertiga ulasan Glassdoor membahas manajemen secara umum. Sebanyak 0,8 persen menggambarkan bahwa manajer mereka kasar.
Advertisement
Lingkungan Kerja Toxic = Masalah Bisnis
Ketika banyak pegawai memilih untuk berhenti karena budaya kerja yang toxic, itu justru bisa berpengaruh terhadap kesuksesan bisnis.
Karyawan yang bekerja di lingkungan toxic pasti memiliki tingkat stres, kelelahan, masalah kesehatan mental, dan stresor lain yang lebih tinggi. Hal itu yang dapat menyebabkan kesehatan fisik memburuk.
The Society of Human Resoruces Management memperkirakan bahwa 1 dari 5 karyawan telah meninggalkan pekerjaan di beberapa titik dalam karir mereka karena lingkungan kerja toxic. Alhasil menyebabkan bisnis merugi lebih dari USD 44 miliar per tahun sebelum Pengunduran Diri Hebat.
Dengan dunia bisnis yang berfokus pada retensi dan perekrutan seperti eakhir-akhir ini, para peneliti di analisis MIT mengatakan bahwa perusahaan harus menyiapkan budaya yang mendukung dan inklusif.
Mereka juga menyarankan kepada para pemimpin bisnis untuk merinci bagaimana penilaian orang terhadap budaya perusahaan, seperti berdasarkan wilayah geografis, departemen, fungsi atau tingkat senioritas.
Hal tersebut dilakukan untuk menemukan “budaya mikro” di mana karyawan tidak merasa aman dan didukung secara psikologis.
Reporter: Aprilia Wahyu Melati