Liputan6.com, Jakarta - Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa bikin gebrakan baru. Ia memperbolehkan keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI) mendaftarkan diri menjadi prajurit TNI.
Gebrakan baru ini didasari TAP MPRS 25 Tahun 1996. Dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara itu melarang mereka yang memiliki ideologi komunisme, ajaran komunisme, organisasi komunis, maupun organisasi underbow dari komunis tahun 1965.
Advertisement
Menurut Andika, yang terlarang yakni mereka yang memiliki ideologi komunisme dan PKI. Sementara para keturunan PKI, tak masuk dalam larangan seperti TAP MPRS 25 Tahun 1996 tersebut.
Peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), Beni Sukadis, mendukung kebijakan baru Panglima TNI. Menurut dia, tak masuk akal jika masih melarang keturunan PKI gabung TNI.
"Mereka (keturunan PKI) enggak ada dosa kok," kata Beni kepada Liputan6.com, Jumat (1/4/2022).
Beni menjelaskan, saat ini sudah masuk era reformasi dan generasi PKI sudah yang ketiga atau keempat. "Itu kan berarti umurnya belasan tahun, artinya kan sudah cucunya. Apakah punya pengaruh dari kakeknya, saya enggak yakin. Jadi sekarang kan Gen Z, ya tentunya generasi sekarang dengan kemajuan teknologi informasi dengan minat dan bakat sudah beda dengan zaman dulu."
Menurut Beni, sulit memahami logika orang yang masih mencurigai keturunan PKI. Namun, ia menyadari masih ada pihak-pihak yang tak setuju dengan kebijakan baru Panglima, terutama kaum konservatif.
Kekhawatiran soal keturunan PKI, kata dia, adalah residu kebijakan orde baru. "Apakah (kebijakan melarang) harus dilanjutkan? Kan enggak, kan kebijakan orde baru sendiri banyak kelemahannya, banyak kesalahannya. Baiknya memang ada, tapi lebih banyak kesalahannya. Jadi di satu sisi Panglima benar."
Beni mengatakan, di masa lalu, khususnya tahun 1970-an, memang ada ada rasa curiga antar satu kelompok dengan kelompok lain, terutama kelompok TNI kepada PKI.
"Tapi sekarang kan bukan zamannya lagi, apalagi reformasi semuanya dan demokrasi sudah jalan," ucap dia.
Hak Asasi
Anggota Komisi I DPR, Hillary Lasut, menilai kebijakan baru Panglima TNI sudah tepat. Sebab, jika keturunan PKI dilarang gabung TNI, justru itu melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
“Bicara keturunan, kita tahu HAM itu melekat pada setiap manusia, tidak peduli siapa keturunannya, tidak peduli darah mana, karena setiap warga negara punya HAM yang sama, hak untuk hidup untuk menentukan nasib,” kata Hillary kepada Liputan6.com, Jumat (1/4/2022).
Hillary menyatakan seseorang tidak boleh disalahkan atas tindakan orang lain, meski dia adalah keturunannya. "Apalagi menanggung hal yang bukan tanggung jawab dia. Bukan dia yang memilih dilahirkan di keluarga PKI,” tambah Hillary.
Politikus NasDem itu menyebut keputusan Panglima TNI sangat bijaksana dan sudah sepantasnya didukung DPR.
“Dia (keturunan PKI) mau merisikokan nyawanya untuk lindungi NKRI itu jauh lebih NKRI, dariapada orang yang selama ini menyatakan bukan PKI, tetapi sifatnya merusak NKRI. Menurut saya sudah sepantasnya kita mendukung."
Sementara Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Dave Laksono, menilai, kebijakan Jenderal Andika tersebut adalah bentuk penegasan dari Undang-undang dan hukum yang berlaku.
“Yang Panglima TNI putuskan itu adalah penegasan daripada undang-undang dan hukum yang berlaku sesuai dengan TAP MPRS (No. 25 tahun 1966), melarang segala macam paham-paham yang berkaitan dengan sosialisme ataupun juga leninisme, maxisme maupun juga komunisme,” kata Dave.
Apalagi, lanjut Dave, saat ini generasi keturunan PKI adalah generasi ketiga atau bahkan keempat.
Kebijakan Konkret Anti-diskriminasi
Head of Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE), Anton Aliabbas, mengapresiasi gebrakan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Namun, ia meminta gebrakan tersebut diikuti dengan pembuatan kebijakan yang lebih konkret.
"Ada baiknya pernyataan tersebut diikuti dengan pembuatan kebijakan yang konkret sebagai bentuk pelembagaan atas sikap antidiskriminasi di lingkungan TNI. Hal ini penting dilakukan guna menghindari adanya dugaan lip service atau keputusan yang bersifat ad-hoc semata," ujar Anton kepada Liputan6.com, Jumat (1/3/2022).
Anton mengatakan, kebijakan pelarangan keluarga PKI berkarier dalam lembaga negara merupakan bentuk diskriminasi. Apalagi, menurut Anton, dalam TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1996 tak disebutkan pelarangan bagi keturunan anggota PKI.
"Ketetapan MPRS tersebut secara tegas melarang organisasi PKI dan aktivitas penyebaran ajaran komunisme. Tidak ada satu pun kalimat yang menyatakan pengikut PKI dilarang beraktivitas ataupun bergabung pada institusi pemerintahan," kata Anton.
Menurut Anton, para keturunan PKI tidak seharusnya menanggung beban yang ditinggalkan orangtua mereka. Lagipula, menurut Anton, ada beberapa organisasi pemberontakan lainnya di Indonesia, namun tak mendapat perlakuan sama seperti PKI.
"Larangan keturunan bergabung ke TNI hanya berlaku untuk PKI saja, sementara kalau kita berbicara terkait pemberontakan di Indonesia ada banyak seperti DI/TII, PRRI/Permesta dan lain-lain," kata dia.
Anton berpandangan, pelarangan keturunan juga berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) dan UUD 1945 karena menjadikan tidak semua warga negara sama kedudukannya di muka hukum dan memiliki kesempatan sama untuk mendapatkan pekerjaan layak.
"Tidak ada manusia yang bisa memilih untuk dilahirkan oleh keluarga siapa. Karena itu, langkah membebankan keturunan atas tindakan pendahulunya tidak memiliki dasar hukum kuat," kata dosen Universitas Paramadina ini.
Selain itu, menurut Anton, ideologi komunis sudah gagal berkembang, baik pada level nasional maupun internasional. Lagipula, dalam perekrutan prajurit, sejatinya TNI memiliki mekanisme dan standar bakunya sendiri.
"Penting kiranya Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa membuat kebijakan adanya evaluasi berkala terhadap mekanisme seleksi termasuk Tes Wawasan Kebangsaan yang dimiliki TNI. Hal ini penting dilakukan untuk terus mengkontekstualkan ancaman kontemporer yang dihadapi TNI secara organisasi. Kepekaan atas perkembangan ancaman kekinian akan berkontribusi dalam pembangunan profesionalisme TNI," kata dia.
Advertisement
Tanpa Dasar Hukum
Panglima TNI, Jenderal Andika Perkasa, sebelumnya mengingatkan jajarannya bahwa keturunan anggota PKI tidak boleh dijadikan alasan untuk menggagalkan calon prajurit dalam proses seleksi.
Menurut dia, jika panitia seleksi menggagalkan calon prajurit karena alasan keturunan PKI, maka itu merupakan keputusan yang tidak memiliki dasar hukum.
Andika menjelaskan kepada seluruh panitia seleksi penerimaan prajurit TNI mengenai TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966.
"Yang lain saya kasih tahu ini, TAP MPRS Nomor 25 tahun 66, satu menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang, tapi tidak ada kata-kata underbow segala macam. Menyatakan komunisme, leninisme, marxisme sebagai ajaran terlarang itu isinya,” terang Andika.
“Ini adalah dasar hukum, ini legal. Tapi tadi yang dilarang itu PKI, kedua adalah ajaran komunisme, marxisme, leninisme, itu yang tertulis. Keturunan (PKI) ini melanggar TAP MPR apa? Dasar hukum apa yang dilanggar sama dia?" tegas Andika.
Untuk itu, Andika mengingatkan agar tidak lagi mengada-ada dalam memaknai dasar hukum tersebut. "Jadi jangan kita mengada-ada, saya orang yang patuh peraturan perundangan, ingat ini. Kalau kita melarang, pastikan kita punya dasar hukum,” jelas Andika.
“Zaman (kepemimpinan) saya tidak ada lagi keturunan dari apa, karena saya menggunakan dasar hukum, oke. Hilang (cabut) nomor empat (ketentuan keturunan PKI)," imbuh Andika.
Mekanisme dan Prosedur
Syarat rekrutmen TNI tahun 2022 menjadi semakin mudah setelah Jenderal Andika menghapus beberapa syarat yang dinilai tidak relevan.
Selain menghapus larangan keturunan PKI tak boleh mendaftarkan diri jadi anggota TNI, syarat rekrutmen lain yang dihapus adalah mekanisme tes renang dan tes akademik.
Kebijakan ini diambil Andika ketika dirinya memimpin rapat koordinasi penerimaan prajurit TNI tahun 2022 yang meliputi perwira prajurit karier, bintara prajurit karier, dan tamtama prajurit karier.
Keputusan mencabut mekanisme tes renang dan tes akademik dalam rekrutmen TNI tahun 2022 setelah Andika menerima paparan dari anak buahnya. Kebijakan ini berlaku dalam proses seleksi di tingkat daerah hingga pusat.
“Kita enggak fair juga ada orang yang enggak pernah renang, nanti enggak fair, sudahlah,” kata dia, dikutip dari kanal YouTube Jenderal TNI Andika Perkasa.
Andika juga menjelaskan, mekanisme penerimaan prajurit juga tak perlu lagi menerapkan tes akademik. Menurut dia, dalam bidang akademik, cukup mengambil dari nilai ijazah.
“Menurut saya, tes akademik ini sudah ambil saja IPK, terus transkripnya, karena bagi saya yang lebih penting yaitu tadi ijazahnya saja, ijazah SMA itulah akademik mereka. Enggak usah lagi ada tes akademik, tes akademik ya tadi, ijazahnya tadi. Kalau ada ujian nasional, sudah itu lebih akurat lagi, itulah dia,” sambung dia.
Pada penghujung rapat, Andika memerintahkan bawahannya untuk segera memperbaiki mekanisme penerimaan prajurit.
“Jadi yang saya suruh perbaiki, perbaiki, tidak usah ada paparan lagi karena sangat sedikit. Tapi setelah diperbaiki, itu yang berlaku. Jadi PR harus membuat Perpang (Peraturan Panglima TNI) segala macam, segera dibuat,” pungkasnya.
INFOGRAFIS
Advertisement