Membandingkan Kebijakan Harga BBM Era Jokowi dengan Presiden RI Sebelumnya

Ketua Harian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jawa Timur, Bambang Haryo Soekartono menolak keras kenaikan tarif Bahan Bakar Minyak (BBM), lantaran memiliki dampak multisektoral  dan membebani ekonomi masyarakat.

oleh Abelda RN diperbarui 05 Apr 2022, 05:00 WIB
Petugas SPBU mengisi bahan bakar jenis pertalite kepada pengguna sepeda motor di Pamulang, Tangerang Seatan, Banten, Senin (21/9/2020). Pertamina memberi diskon harga BBM jenis pertalite di Tangerang Selatan dan Bali, dari Rp 7.650 menjadi Rp 6.450 per liter. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Balikpapan - Ketua Harian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jawa Timur, Bambang Haryo Soekartono menolak keras kenaikan tarif bahan bakar minyak (BBM), lantaran memiliki dampak multisektoral dan membebani ekonomi masyarakat.

Bambang Haryo mengatakan, sebagaimana amanat pasal 33 UUD 1945 campur tangan Pemerintah dalam kebijakan penentuan harga BBM, semestinya menjadi kewenangan yang mengutamakan asas perlindungan kepada masyarakat, bukan malah menyengsarakan rakyat.

"Harusnya Pemerintah, dapat bercermin pada pemerintahan terdahulu mulai era Presiden Soeharto sampai dengan Presiden SBY. Di mana pada saat pemerintahan Presiden Soeharto harga BBM mulai dari tahun 1980 sampai dengan tahun 1990 sebesar Rp150 per liter sama persis dengan harga BBM di Arab Saudi," kata Bambang, Minggu (3/4/2022).

"Pada Tahun 1998 dalam keadaan krisis moneter, dollar mencapai Rp16.000 lebih, harga BBM oktan 90 pada waktu itu terpaksa dinaikkan dari Rp700 per liter menjadi Rp1.200r per liter, dan pemerintahan Presiden Habibie menurunkan kembali harga BBM menjadi Rp600r per liter," dia menambahkan.


Simak video menarik ini:


Kenaikan Harga BBM Era Presiden Jokowi

Sebuah Truk yang terpantau petugas berulang kali mengisi BBM bersubsidi jenis bio solar di SPBU Kabupaten Bengkalis. (Liputan6.com/M Syukur)

Mantan anggota DPR RI periode 2014-2019 ini mengatakan, Presiden Gusdur juga sempat menurunkan harga BBM pada tahun 2000 dari Rp1.000 per liter menjadi Rp600 perl iter, bahkan pemerintahan Presiden SBY juga sempat menurunkan harganya pada 2008 dari Rp5.500 per liter menjadi Rp4.500 per liter dan dalam 10 tahun hanya terjadi satu kali kenaikan pada tahun 2013, itupun diprotes keras oleh masyarakat dan para elite politik.

"Padahal, ada alasan terkait harga minyak dunia naik dan terakumulasi tinggi pada tahun 2008 sampai tahun 2013 sebesar 145 USD per barrel," ujar pria yang kerap disapa BHS ini.

Bambang Haryo kembali mengutarakan, pada masa Pemerintahan Jokowi, setidaknya dalam jangka waktu 5 tahun sudah terjadi kenaikan BBM beberapa kali. Padahal, harga minyak mentah dunia pernah turun sangat rendah mencapai di bawah 30 USD per barrel di tahun 2016 dan bertahan bahkan menurun pada tahun 2020 mencapai 11 USD per barrel yang merupakan harga minyak mentah dunia terendah sepanjang sejarah, dan harga minyak RON 98 di Arab Saudi 0,2 USD/2.800 rupiah per liter, sedangkan di Indonesia tetap bertengger di harga Rp9.800 per liter.

"Seharusnya di Indonesia harga BBM tidak lebih dari Rp4.000 per liter, karena sampai saat ini harga minyak dunia yang mendasari harga BBM yang ada di Indonesia disebabkan Indonesia saat ini mengimpor 100 persen dari beberapa negara totalnya 10,59 juta ton, 40 persen dari Saudi Arabia, 29 persen dari Nigeria, dan 14 persen dari Australia," paparnya. 

Harga yang ditetapkan oleh pemerintah dan Pertamina, Kata BHS, terlalu tinggi untuk masyarakat Indonesia karena harga di Arab Saudi secara ritel untuk RON 91 sebesar 2,18 real/8.000 rupiah dan RON 95 sebesar 2,33 real/8.900 rupiah, diesel 0,63 real/2.300 rupiah dan dari Nigeria untuk RON 95 sebesar 0,4 USD/5.700 rupiah, diesel 0.54 USD/ Rp7.700.


Perbandingan BBM dengan Negara Lain

Bambang Haryo Soekartono (Istimewa)

Bambang membandingkan harga BBM dalam negeri dengan negara lain. Malaysia juga impor 100 persen dari luar negeri yaitu dari Singapura, China, Suadi Arabia, UEA, dan Indonesia. Harga BBM pada Maret di Malaysia untuk RON 95 sebesar 2,05 ringgit/Rp6.972, RON 97 sebesar 3,91 ringgit/Rp13.297, diesel 2,85 ringgit/Rp7.312 dan bahkan untuk transportasi publik dan logistik pemerintahan Malaysia menyediakan bahan bakar gas yang sangat murah sebesar 1,19 ringgit perliter/Rp4.057 per liter.

Di sini terlihat pemerintahan Malaysia sangat memikirkan kepentingan rakyatnya dan juga kestabilan ekonomi di negaranya dengan menjual BBM denga harga murah.

"Ini berbanding terbalik dengan Pemerintahan Indonesia saat ini, walaupun kita menghasilkan minyak mentah dunia yang terbesar di Asia Tenggara dan gasnya bisa dikatakan yang terbesar di Asia, semestinya harga BBM bisa jauh lebih murah dari yang dijual saat ini dengan sistem barter. Seperti halnya yang sudah dilakukan oleh Malaysia. Demikian juga negara-negara yang hanya penghasil energi fosil minyak terbesar di dunia, harga energinya juga sangat murah yang diberikan kepada masyarakatnya," ungkapnya. 

Ia mencontohkan, seperti Venezuela untuk RON 95 sebesar 0,1 bolivar/Rp3.283, Iran untuk oktan 95 sebesar 15 ribu rial/Rp5.100, Kuwait RON 91 sebesar 0.085 dinar/Rp4.014, RON 95 sebesar 0,105 dinar/Rp4.950.

"Berdasarkan data yang diperoleh ini, terlihat bahwa Indonesia termasuk negara penghasil energi fosil dan bio energi terbesar yang menerapkan harga BBM ke masyarakat sangat tinggi. Ini menjadi kemerosotan pembangunan ekonomi nasional. Apalagi, BBM subsidi premium oleh pemerintahan sebelumnya menjadi andalan daripada transportasi publik dan logistik di Indonesia justru dihilangkan," ungkap BHS.


Dugaan Permainan Pihak yang Tak Bertanggung Jawab

Solar subsidi konsumsi harian sejak September mengalami peningkatan 15% dibandingkan rerata harian di periode Januari sampai Agustus 2021.

Alumnus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya ini menduga, Pertamina dan broker importir BBM mendapatkan keuntungan yang sangat besar karena ada perbedaan harga yang sangat tinggi dari negara asal impor BBM tersebut yaitu Saudi Arabia dan Nigeria.

"Parahnya lagi, hampir di sebagian besar wilayah kepulauan mengalami kesulitan mendapatkan bahan bakar untuk kepentingan transportasi logistik dan publik. Bahkan, yang menjadi jargon pemerintahan Jokowi adalah maritim dan pertanian, para nelayan dan petani pun kesulitan mendapatkan BBM tersebut. Dan harga dari BBM yang ada di dalam wilayah kepuluan Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, dan bahkan Papua saat ini bisa mencapai harga lebih dari 2 kali lipat dari harga yang ditetapkan oleh pemerintah karena kelangkaan distribusi BBM," tutur BHS.

Kebijakan kenaikan harga BBM ini, terlihat bahwa pemerintah dan Pertamina diduga lebih memikirkan kepentingan mereka daripada kepentingan dan kesejahteraan masyarakat seluruh Indonesia.

Seharusnya, menurut BHS, Presiden dan Menteri ESDM bisa turun melakukan intervensi dalam mengendalikan harga BBM yang dijual oleh Pertamina dan mengusut tuntas para importir BBM agar untuk tidak mengambil untung  besar dan harus memikirkan dampak kenaikan BBM terhadap inflasi yang berpengaruh ke ekonomi rakyat, UMKM, pertanian, nelayan, dan dunia industri seperti yang dilakukan oleh Presiden di era-era pemerintahan sebelumnya. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya