Liputan6.com, Yogyakarta - Menyusuri Kotagede, Yogyakarta, seakan tak pernah ada habisnya. Mulai dari berwisata kuliner kue kipo, atau kue kembang waru yang legendaris sampai menjelajahi gang-gang sempit yang dipenuhi rumah-rumah peninggalan wong kalang Kotagede.
Kejayaan Kotagede dahulu tak bisa lepas dari peran wong-wong kalang yang konon mendiami kawasan ini. Dikutip dari berbagai sumber, wong kalang di masa lalu merupakan sosok yang terbilang sukses menggerakan ekonomi kawasan itu.
Wong kalang cukup memberikan warna bagi sejarah perkembangan Kotagede. Termasuk kini meninggalkan bangunan-bangunan rumah megah nan mewah.
Baca Juga
Advertisement
Masyarakat Kotagede menyebut bangunan-bangunan tersebut dengan sebutan rumah kalang, atau tempat tinggal wong kalang. Meskipun kini banyak bangunan megah tersebut kosong dan tak terawat.
Salah satu wong kalang asal Kotagede yang terkenal adalah sosok Prawirosoewarno. Prawirosoewarno atau lebih dikenal dengan sebutan “Bekele Tembong”.
Prawirosoewarno lahir di Kotagede, Yogyakarta pada tahun 1873. Ia lahir dari keturunan Brajasemito-Demang.
Orangtua Prawirosoewarno merupakan keturunan seorang pedagang sukses secara turun-temurun. Tak hanya itu keluarga Prawirosoewarno mempunyai strata sosial yang tinggi.
Keluarga Prawisosoewarno memiliki hubungan yang cukup penting dengan keluarga Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Sama seperti keluarganya, Prawirosoewarno pun menjalankan bisnisnya.
Dibantu oleh anaknya, Noerijah, di kawasan Tegalgendu, Kotagede, Yogyakarta, usaha bisnis Prawisosoewarno mengelola rumah gadai serta berdagang emas dan berlian.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Bikin Jengkel
Prawirosoewarno si saudagar kaya asal Kotagede ini pernah membuat jengkel pemerintah Kolonial Belanda pada zaman dahulu. Sebab permintaan “Bekele Tembong” kepada Pemerintah Kolonial Belanda untuk memasang ubin rumahnya dengan menggunakan uang Gulden yang bergambar Ratu Belanda.
Bukan hal yang sulit bagi saudagar keturunan asli wong kalang ini untuk mewujudkan keinginannya tersebut. Sebagai pengusaha logam mulia paling sukses di zamannya, Prawirosoewarno memiliki harta melimpah.
Termasuk koin-koin perak dan emas mata uang pemerintah Kolonial Belanda saat itu. Puluhan ribu koin gulden itu rencananya bakal dijadikan lantai pendoponya.
Tidak hanya halaman pendopo, namun juga lantai rumah bahkan kamar mandi direncanakan dilapisi menggunakan koin bergambar Ratu Wilhelmina itu.
Mendengar niat eksentrik saudagar kaya ini, pemerintah Kolonial Belanda geram bukan kepalang. Pemerintah Kolonial Belanda berpikir rencana Prawirosoewarno sama saja dengan melecehkan sang ratu.
Entah kebetulan atau tidak, Keraton Yogyakarta sendiri juga “keberatan” dengan ide Prawirosoewarno itu. Keraton hanya membolehkan menggunakan koin Belanda sebagai lantai asal dipasang miring, atau tidak tampak permukaan.
Advertisement
Membatalkan Niatnya
Prawirosoewarno membatalkan niatnya setelah mendengar syarat itu, lagipula ia juga sangat menghormati Keraton Yogyakarta. Konon niat Prawirosoewarno untuk menggunakan gulden sebagai keramik rumahnya merupakan tanda perlawanan sosial untuk para kompeni.
Pada masa itu masyarakat pribumi memang sedang gencar-gencarnya melakukan perlawanan kepada kolonialisme Belanda. Perlawanan masyarakat pribumi muncul dalam segi militer, maupun dalam bentuk sosial ekonomi.
Ditambah pada zaman tersebut para “londo” menganggap bahwa masyarakat pribumi merupakan masyarakat kelas dua. Dalam catatan sejarah Prawirosoewarno memang membatalkan niatnya melapisi lantai pendopo, rumah, dan kamar mandi dengan koin-koin Belanda.
Namun sebagai penanda niat eksentriknya itu, konon Prawirosoewarno menyimpan koin gulden itu di salah satu dari tujuh sumur yang dibuatnya.
(Tifani)