Liputan6.com, Jakarta - Ketegangan geopolitik global telah meningkat. Namun, pasar Asia Tenggara menawarkan keamanan bagi investor. Hal itu berdasarkan Goldman Sachs dan JPMorgan Asset Management.
"Saham di Asia Tenggara telah berkinerja buruk dan sebagian besar diabaikan investor global selama satu dekade,” ujar Chief Asia Pasific Equity Strategist Goldman Sachs, Timothy Moe, dilansir dari CNBC, Senin (4/4/2022).
Indonesia pun menjadi pilihan teratas bursa saham di Asia Tenggara oleh dua bank investasi wall street tersebut. Hal ini ditopang dari sektor perbankan dan komoditas.
Baca Juga
Advertisement
"Di Indonesia, secara struktural kami positif terhadap perbankan karena mayoritas penduduk masih unbankable. Kami saat ini posisikan di sektor swasta terkemuka dan juga bank milik negara karena mereka telah secara proaktif mendorong adopsi digital untuk mempercepat penetrasi keuangan,” ujar Portfolio Manager JPMorgan Asset Management, Desmond Loh.
Ia menambahkan, harga komoditas yang menguat juga bermanfaat bagi pendapatan ekspor di Indonesia dan neraca perdagangan. "Hal itu mendukung rupiah dan prospek pertumbuhan jangka pendek di Indonesia," kata dia.
Harga komoditas global bak rollercoaster dan cenderung naik sejak perang di Ukraina pecah setelah invasi Rusia pada akhir Februari. Rusia adalah produsen minyak utama sementara Ukraina adalah pengekspor utama komoditas lain seperti gandum dan jagung.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Vietnam dan Singapura
JPMorgan Asset Management juga menyukai Vietnam yang disebut Loh sebagai pemain bintang dalam beberapa tahun terakhir terkait ketahanan dan pertumbuhan ekonomi.
Loh menambahkan, Vietnam adalahs salah satu negara yang alami pertumbuhan ekonomi positif selama pandemi COVID-19.
“Untuk memanfaatkan pertumbuhan, kami posisikan di saham konsumen dan bank berkualitas tinggi,” kata dia tanpa menyebut saham tertentu.
Sementara itu, Goldman Sachs juga menyukai Singapura. “Ada tiga alasan utama mengapa bank investasi menyukai Indonesia dan Singapura,” ujar Moe.
Momentum ekonomi yang bangkit dan tumbuh dari wilayah yang terlambat pulih dari dampak COVID-19. Sektor perbankan yang berdampak terhadap indeks saham akan mendapatkan manfaat dari peralihan kebijakan moneter lebih ketat dan kenaikan suku bunga.
Selain itu, kehadiran bertahap perusahaan ekonomi digital yang masuk dalam indeks Indonesia dan Singapura. Pada 2022, IHSG telah naik lebih dari 7 persen. Sementara itu, indeks Vietnam naik sekitar 1 persen pada periode sama. Sedangkan indeks Singapura Straits Times telah naik lebih dari 9 persen.
Sedangkan indeks MSCI untuk saham Asia Pasifik di luar Jepang turun 6 persen. Indeks S&P 500 melemah 4,6 persen pada 2022. Sedangkan indeks pan-European Stoxx 600 tergelincir 6 persen.
Advertisement
Harga Komoditas Topang Negara di Asia Tenggara
Investor dalam beberapa pekan terakhir telah bergulat dengan berbagai kekhawatiran dari lonjakan harga komoditas yang dipicu oleh invasi Rusia ke Ukraina. Selain itu, suku bunga yang meningkat karena bank sentral Amerika Serikat atau the Fed berusaha tekan inflasi.
Loh menilai, Asia Tenggara “relatif terisolasi dari ketegangan geopolitik” dan termasuk meningkatnya ketegangan geopolitik di Eropa. Hal ini karena Rusia dan Ukraina sumbang kurang dari 1 persen ekspor regional.
"Eskalasi risiko geopolitik menjadikan penarik jangka pendek bagi harga komoditas untuk menopang kekuatan pasar eksportir komoditas ASEAN,” ujar dia.
Diharapkan Tak Ada Dana Keluar Imbas Kebijakan The Fed
Diharapkan tak ada dana asing yang keluar sehingga investor global telah memposisikan ulang dalam beberapa minggu terakhir untuk antisipasi langkah lebih agresif ke depan oleh pengetatan moneter the Federal Reserve. Namun, analis perkirakan dampaknya terhadap Asia Tenggara relatif lebih kecil dibandingkan sebelumnya.
Pada Maret 2022, the Federal Reserve menaikkan suku bunga untuk pertama kali sejak 2018. Ketua the Fed Jerome Powell pun berjanji untuk ambil langkah tegas terhadap inflasi yang terlalu tinggi.
Prospek kenaikan suku bunga oleh the Fed telah meningkatkan kekhawatiran arus modal keluar dan depresiasi mata uang di pasar negara berkembang Asia Tenggara. Ini yang terjadi pada 2013 ketika selama taper tantrum yang melihat imbal hasil obligasi melonjak setelah the Fed isyaratkan pembelian aset dapat mereda.
"Kami tidak harapkan eksodus arus keluar dari ASEAN, seperti yang kami lihat dalam taper tantrum terakhir," ujar dia.
Ia menuturkan, neraca di Asia Tenggara umumnya jauh lebih sehat sekarang dibandingkan satu dekade lalu.
Sebagian besar bank sentral Asia Tenggara kecuali Singapura belum perketat kebijakan moneter. Hal itu sebagian karena situasi inflasi regional terkendali dibandingkan ekonomi maju di Barat.
Moe menilai, ekonomi Asia Tenggara juga lebih tangguh dibandingkan siklus sebelumnya.
Advertisement