DPR Terang-terangan, Butuh Uang Demi Galang Suara

DPR secara terang-terangan mengatakan menggunakan uang dalam mencari dukungan suara dalam karier politiknya.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 05 Apr 2022, 16:01 WIB
Gedung DPR/MPR di Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta. (Liputan6.com/Devira Prastiwi)

Liputan6.com, Jakarta DPR secara terang-terangan mengatakan menggunakan uang dalam mencari dukungan suara dalam karier politiknya. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto.

Pernyataan ini diucapkan saat menolak usulan PPATK mengenai pembahasan Rancangan-Undang-Undang (RUU) tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal.

Bahkan, Bambang mengatakan, tak kunjung dibahasnya RUU pembatasan uang kartal tersebut karena mayoritas anggota DPR menolak.

"Sekarang Anda minta dibatasi transaksi angkanya, fakta lapangan hari ini yang namanya kompetisi cari suara pakai ini (uang) semuanya. Gue terang-terangan ini di lapangan," tegasnya dalam rapat kerja bersama PPATK, Selasa (5/4/2022).

Menurut dia, calon anggota dewan pasti membutuhkan biaya untuk membeli sembako saat menggalang suara, yang mana itu diperoleh dari pembayaran via uang tunai.

Oleh karenanya, Komisi III bersikeras tak ingin membahas bakal aturan yang dinilai terlalu banyak membatasi tersebut.

"Ini kenapa macet di sini, DPR keberatan hampir pasti karena ini menyulitkan kehidupan kami. Kita ngomong jujur pak, money politik pakai rekenning, buka rekening, kita kirim. Ini makanya jangan lihat dari sisimu tok, jangan tergesa-gesa," pintanya.

 


Gulingkan Kekuasaan

Suasana Rapat Paripurna DPR RI di Jakarta, Selasa (18/1/2022). Rapat mendengarkan pendapat Fraksi-fraksi terhadap RUU Usul Inisiatif Badan Legislasi DPR tentang Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dilanjutkan pengambilan keputusan menjadi RUU Usul DPR. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Tak bisa dimungkiri, ucap Bambang, uang jadi alat paling kuat saat ini untuk mempengaruhi pergeseran kekuasaan.

"Yang paling penting itu kalau kita punya money, duit, ini transaksi akan bisa dilaksanakan, dan sekarang anda minta dibatasi transaksi angkanya. Fakta lapangan hari ini yang namanya kompetisi cari suara pakai ini," tegas Bambang.

Adapun RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal diinisiasi oleh Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana. Kehadiran regulasi ini dinilai akan akan bermanfaat dalam meningkatkan inklusi keuangan dan mencegah pencucian uang melalui transaksi uang tunai.

Dengan begitu, akan menjaga stabilitas ekonomi dan sistem keuangan di Indonesia serta dapat meningkatkan penerimaan negara, khususnya kepercayaan investor kepada Indonesia.

"Maka PPATK berharap agar pimpinan dan anggota Komisi III yang kami muliakan dapat mendukung dan mendorong percepatan RUU tentang pembatasan transaksi keuangan kartal," ujar Ivan.


RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal Lindungi Masyarakat dari Kejahatan

Teller menghitung mata uang rupiah di bank, Jakarta, Rabu (22/1/2020). Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan penguatan nilai tukar rupiah yang belakangan terjadi terhadap dolar Amerika Serikat sejalan dengan fundamental ekonomi Indonesia dan mekanisme pasar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal (RUU PTUK) yang telah diusulkan kepada Presiden Republik Indonesia dan saat ini tengah menjadi salah satu prioritas agar secepatnya dapat diimplementasikan.

Adapun dari dibuatnya RUU PTUK ini adalah untuk upaya pencegahan pemberantasan tindak pencucian uang dan teroris financing, yang seringkali digunakan untuk upaya menghindari audit trail, dengan menyembunyikannya melalui cash.

Direktur Hukum PPATK Fithriadi Muslim mengatakan, dengan dilakukannya perpindahan transaksi dari uang kartal ke nontunai itu juga sekaligus dapat melindungi masyarakat dari tindak kejahatan dan penerimaan uang palsu.

Selanjutnya, hal yang diatur melalui RUU PTUK adalah kegiatan penarikan, pencairan, pembelian, pembayaran, pemberian, penjualan, dan kegiatan lain dengan menggunakan uang kartal. Selain itu, untuk batasan transaksi uang kartal yang diperbolehkan paling banyak senilai Rp 100 juta.

“Ada transaksi-transaksi yang perlu pengecualian karena memang harus dilakukan secara tunai, misalnya transaksi yang dilakukan oleh PJK, pemerintah, dan Bank Sentral. Kemudian transaksi PJK dalam rangka kegiatan usaha masing-masing. Pembayaran gaji dan pembayaran pajak, kewajiban lain kepada negara, serta transaksi untuk keputusan pengadilan dan pengelolaan uang,” jelas Fithriadi.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya