Banyak Pejabat Puji Terapi Cuci Otak Terawan, Dosen Hukum Sebut Itu Testimoni

Pujian terhadap terapi cuci otak dokter Terawan dianggap sebagai testimoni.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 05 Apr 2022, 21:30 WIB
Mantan Menteri Kesehatan RI Terawan Agus Putranto. (Kementerian Kesehatan RI)

Liputan6.com, Jakarta Di tengah polemik mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, sejumlah pejabat memuji terapi Digital Subtraction Angiography (DSA) atau cuci otak yang dilakukannya. Pejabat pun ada yang pernah menjadi pasien cuci otak dokter Terawan.

Sebut saja, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang mengalami penyakit vertigo, diketahui menjadi pasien cuci otak pada 2018. Diketahui ia mengaku merasa lebih sehat pasca terapi cuci otak. Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakrie ikut mengaku terselamatkan berkat terapi cuci otak.

Menurut Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia, M. Nasser, pujian terhadap terapi cuci otak Terawan hanya berlandaskan testimoni atau disebut Testimony Based Medicine (TBM), bukan menyasar bukti ilmiah atau Evidence Based Medicine (EBM).

"Bila ada dokter yang bekerja tanpa tidak adanya Evidence Based Medicine, itu tidak boleh. Misalnya, seseorang katanya sakit jantung, diinfus cairan tertentu nanti plak-plak yang yang ada di dalam pembuluh darah bisa dikikis oleh infus," terang Nasser saat konferensi pers pada Selasa, 5 April 2022.

"Nah, kalau begitu apa buktinya? Inilah yang dikejar oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) terkait bukti ilmiah. MKEK punya tugas menegakkan etika profesi dokter."

Evidence based adalah suatu metode suatu temuan, termasuk obat baru dan belum dikenal, lalu dikerjakan dan belum ada penelitian khusus. Kemudian, hal itu harus dilakukan uji klinik jika mengarah ke tindakan medis.

"Ya tidak mudah. Oleh karena itu, ada vaksin di Indonesia yang sukar untuk memenuhi syarat-syarat uji klinik. Contohnya, semua orang bisa bilang buah kelor sangat bermanfaat untuk tubuh," jelas Nasser.

"Lantas, berlomba-lombalah orang membuat ekstrak daun kelor, dijual laku juga. Persoalannya. kalau minta izin kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk membuat kapsul daun kelor atau infus daun kelor, ya harus melalui sebuah proses yang disebut proses uji klinik."


Testimony Based Medicine Bukan Lingkup Penelitian

Menteri Kesehatan RI Terawan Agus Putranto melakukan kunjungan kerja ke sejumlah wilayah untuk memimpin langsung penanganan COVID-19 serta berkantor di Surabaya, Jawa Timur. (Dok Kementerian Kesehatan RI)

Nasser melanjutkan, penelitian yang tidak sesuai dengan kaidah ilmu bisa ditolak. Untuk membuktikan keilmiahan, penelitian juga harus dipublikasikan di jurnal internasional yang terverifikasi.

"Kalau sudah melakukan uji klinik, tidak sampai disitu berhenti. Ya, harus dipublikasikan secara luas, bukan publikasi sembunyi-sembunyi, yang penting sudah dimuat di koran, misalnya. Bukan begitu," lanjutnya.

"Harus di jurnal internasional. Kemudian datang pertanyaan dan dijawab, setelah itu baru dinyatakan (uji klink) selesai. Tapi sekarang tidak mengandalkan EBM, melainkan TBM. Orang bertestimoni, Oh, saya senang, gembira karena DSA tidak sakit."

Intinya, banyak sekali Testimony Based Medicine berkaitan dengan metode DSA dokter Terawan Agus Putranto. Ditegaskan kembali oleh Nasser, TBM tidak masuk ruang lingkup penelitain kesehatan dan kedokteran.

"Testimioni itu cocoknya untuk kuliner, 'pedasnya pas lho atau ini enak.' Testimoni jelas bukan untuk obat dan metode pengobatan," pungkasnya.


Infografis Waspada Lonjakan Kasus Covid-19 Landa Korsel hingga China

Infografis Waspada Lonjakan Kasus Covid-19 Landa Korsel hingga China. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya