Liputan6.com, Jakarta PT Bank Syariah Indonesia (BSI) Tbk mengakui penetrasi industri jasa perbankan berbasis syariah di Indonesia masih rendah.
Tercatat di akhir tahun 2020 lalu penetrasi bank Syariah di Indonesia baru sekitar 6,51 persen atau masih di bawah 7 persen, dibandingkan dengan Malaysia penetrasinya sudah hampir 30 persen
Advertisement
Chief Economist BSI Banjaran Surya Indrastomo mencatat, setidaknya ada empat faktor penyebab rendahnya tingkat penetrasi perbankan syariah di Tanah Air. Pertama, ialah jaringan.
Dalam bahan paparannya, jumlah jaringan bank konvensional di Indonesia saat ini telah mencapai 28.342 kantor unit. Sedangkan, jaringan perbankan syariah baru mencapai 2.664 kantor unit.
"Kita lihat layanan syariah ini versus jumlah penduduk 1 berbanding 101.426 ribu orang," ujarnya dalam Webinar Gebyar Safari Ramadan di Jakarta, Rabu (6/4).
Kedua, rendahnya literasi dan inklusi keuangan syariah juga menjadi faktor minimnya penetrasi perbankan syariah. Ketiga, infrastruktur IT dan Digital Channel. "Ini berbagai layanan digital juga terus kita dorong," ujarnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Permodalan
Keempat, Permodalan. Hal ini menyebabkan ekspansi bisnis yang dilakukan oleh perbankan syariah masih terbatas.
Meski begitu, melalui merger atau penggabungan usaha tiga bank pelat merah yakni PT Bank BRIsyariah Tbk, PT Bank Syariah Mandiri, dan PT Bank BNI Syariah menjadi PT Bank Syariah Indonesia Tbk diyakini akan mendongkrak penetrasi perbankan syariah di Indonesia.
"Ini alasan dari bagaimana pemerintah bergerak untuk mendorong merger dari bank syariah anak BUMN. Sehinga secara permodalan lebih kuat, secara jaringan lebih besar," tutupnya.
Advertisement
Produk Keuangan Syariah Kian Digemari Warga Nonmuslim
Sebelumnya, Produk keuangan syariah kian digemari oleh semua lapisan masyarakat. Termasuk, dari para pemeluk agama selain Islam atau nonmuslim.
Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sarjito menyatakan, fenomena tersebut muncul lantaran adanya kesepahaman bersama terkait manfaat yang diperoleh nasabah. Yakni, lebih memberikan keadilan dibandingkan produk keuangan konvensional.
Selain itu, kinerja keuangan syariah juga dinilai lebih resiliensi atau tahan banting saat krisis pandemi Covid-19. Meski begitu, dia tidak merinci sejumlah indikator catatan positif atas kinerja keuangan syariah.
"Saya sampaikan bahwa keuangan syariah itu banyak yang mengatakan lebih tahan terhadap krisis, lebih memberikan keadilan. Oleh karena itu, di masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim itu dan juga saudara-saudara kita yang non-Muslim itu suka dan bener menghayati keuangan syariah baik, bahkan lebih baik dari yang konvensional," ujarnya dalam Webinar Gebyar Safari Ramadan di Jakarta, Rabu (6/4).
Sarjito menilai momentum emas ini perlu terus dipertahankan oleh pelaku usaha terkait. Antara lain dengan terus memperkuat sisi perlindungan konsumen berbagai layanan produk keuangan syariah.
"Oleh karena itu, sampaikan sesuai dengan faktanya, kita tidak boleh menceritakan hal yang tidak sesuai dengan faktanya. Ini agar keuangan syaria itu benar-benar menjadi pilihan masyarakat yang mayoritas muslim dan saudara kita yang nonmuslim," tutupnya.
Banyak Negara Nonmuslim Praktikan Sistem Keuangan Syariah, Contohnya Inggris
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Destry Damayanti menyatakan, sistem ekonomi dan keuangan syariah sejatinya tidak sepenuhnya hanya berbicara agama dan keyakinan saja. Akan tetapi berbicara lebih luas yaitu kesejahteraan, sosial, etika dan moral serta hak asasi manusia.
"Yang terjadi saat ini justru banyak negara non-muslim telah mempraktekkan sistem keuangan syariah yang bersifat inklusif," katanya dalam Seminar Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah, secara virtual, Rabu (21/4).
Adapun beberapa negara non muslim yang menerapkan sistem keuangan syariah yakni Inggris. Menurutnya keuangan syariah sudah sangat lazim di Inggris dan bahkan London juga menjadi pusat bisnis dan keuangan syariah di kawasan Eropa.
"Lebih lanjut awal tahun ini Bank of England juga telah meluncurkan instrumen likuiditas khusus berbasis syariah alternatif. Sehingga perbankan dan institusi keuangan syariah di Inggris bisa mendapatkan akses sesuai prinsip syariah dari bank sentral," jelasnya.
Destry menambahkan, perkembangan ekonomi syariah secara global saat ini juga terus meningkat. Berdasarkan laporan dari refinitiv dan ICD aset keuangan syariah global akan terus naik dari USD2,88 triliun di 2019 menjadi USD3,69 triliun di 2024.
"Di indonesia pun pasar keuangan syariah tidak hanya melalui perbankan syariah tapi juga melalui pasar modal dan bahkan melalui fintech Syariah," jelasnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement