Pengacara Irjen Napoleon Bacakan Eksepsi di Sidang Penganiayaan Muhammad Kece

Terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte hadir langsung dalam sidang tindak pidana penganiayaan terhadap Muhammad Kace alias Muhammad Kece di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis (7/4/2022).

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Apr 2022, 13:03 WIB
Irjen Napoleon Bonaparte dalam sidang tindak pidana penganiayaan terhadap Muhammad Kace alias Muhammad Kece di PN Jakarta Selatan, Kamis (7/4/2022). (Merdeka/Bachtiarudin Alam)

Liputan6.com, Jakarta Terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte hadir langsung dalam sidang tindak pidana penganiayaan terhadap Muhammad Kace alias Muhammad Kece di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis (7/4/2022).

Sidang dimulai pukul 10.20 WIB di ruangan sidang 5, dengan agenda pembacaan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Mantan Kadiv Hubinter itu duduk di kursi tengah ruang sidang, dengan mengenakan kemeja batik bercorak cream yang dipadukan celana bahan hitam.

Selama pembacaan eksepsi yang dibacakan tim pengacaranya, Napoleon menyimak dengan melihat salinan eksepsi di tangannya.

Sebelumnya, Irjen Napoleon Bonaparte bersikukuh agar sidang dugaan tindak kekerasan terhadap M Kece digelar offline di PN Jakarta Selatan.

Dia tidak mau jika sidang digelar secara virtual. Permintaan itu disampaikan Napoleon dalam sidang 17 Maret 2022 lalu.

"Jadi saya mohon kepada yang mulia supaya lebih nyaman ke depan kita, mohon dapat pengadilan ini mengizinkan untuk sidang dari awal sampai sidang selesai untuk offline," kata Napoleon.

Napoleon pun berjanji jika dirinya dihadirkan langsung secara offline, sidang berjalan lancar.

Hakim Ketua Djumyanto lalu mengabulkan permintaan tersebut.

"Kita yang penting nomor satu adalah kita berlangsung dengan lancar itu esensi daripada persidangan ini," kata Djumyanto.

 


Dakwaan Jaksa

Irjen (Pol) Napoleon Bonaparte (tengah) bersiap menjadi saksi dalam sidang lanjutan dugaan suap penghapusan red notice Djoko Tjandra dengan terdakwa Tommy Sumardi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (24/11/2020). Sidang beragenda mendengar keterangan saksi. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

JPU telah membacakan dakwaannya terhadap Napoleon, Kamis 31 Maret 2022. Pada dakwaan tersebut, Napoleon disebut turut menganiaya Muhammad Kace dengan tinja manusia di Rutan Bareskrim Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan pada Agustus 2021.

Muhammad Kace juga diduga mengalami tindakan kekerasan dari Napoleon seperti pemukulan bersama dengan terdakwa lainnya yakni Harmeniko alias Choky alias Pak RT, serta Dedy Wahyudi, Djafar Hamzah, dan Himawan Prasetyo.

Sementara untuk Napoleon, JPU mendakwanya dengan pasal 170 ayat 2 KUHP. Ayat 2 pasal itu menyebut pelaku penganiayaan dapat dipenjara maksimal hingga 7 tahun jika mengakibatkan luka pada korban.

Napoleon juga didakwa dengan pasal 170 ayat 1. Lalu, Pasal 351 ayat 1 juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP dan kedua Pasal 351 ayat (1) KUHP. Pasal 351 ayat 1 mengancam pelaku tindak pidana penganiayaan dengan ancaman hukuman paling lama dua tahun.  

 


Minta Kasus Penganiayaan M Kece Diselesaikan Restorative Justice

Irjen (Pol) Napoleon Bonaparte sesaat jelang menjadi saksi dalam sidang lanjutan dugaan suap penghapusan red notice Djoko Tjandra dengan terdakwa Tommy Sumardi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (24/11/2020). Sidang beragenda mendengar keterangan saksi. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Sebelumnya, pengacara Irjen Napoleon Bonaparte, Ahmad Yani meminta agar perkara kliennya atas dugaan tindak kekerasan terhadap Muhammad Kece diselesaikan secara keadilan restoratif atau restorative justice, sehingga kasus ini dapat dihentikan.

Permintaan itu disematkan Yani ketika mempertanyakan komitmen dari Jaksa Agung dan Kapolri berkaitan mengedepankan upaya penyelesaian hukum melalui mekanisme tersebut.

"Ada yang disebut restorative justice. Apakah yang ditandatangani pada 21 Juli oleh Jaksa Agung berlanjut tidak di negara Indonesia. Begitu juga surat edaran yang dikeluarkan Kapolri. Begitu juga janji Kapolri pada fit and proper di Komisi 3 DPR," kata Yani saat sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (17/3/2022).

Alasan tersebut, lanjut Yani, dilontarkan karenanya ada tiga pucuk surat pernyataan damai antara M Kece dengan Napoleon yang ditandatangani memakai materai untuk kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan.

"Sesungguhnya jauh persidangan ini belum dimulai pada waktu proses BAP kita juga sudah mengajukan surat kepada Kapolri yang juga tembusannya kepada Jaksa Agung dan sesungguhnya saya sudah baca berkas perkara ada tiga lembar surat pernyatan itu yang tidak dimasukkan rangkaian berkas perkara," katanya.

Oleh sebab itu, Yani meminta kepada majelis hakim agar surat pernyataan perdamaian ini dijadikan pertimbangan majelis hakim. Terlebih, kasus ini dinilai sensitif bisa menimbulkan perpecahan sehingga bisa diselesaikan melalui restorative justice.

"Artinya kami tidak ingin bahwa proses kegaduhan akan terjadi lagi. Majelis tahu perkara ini sangat sensitif sekali. Dan ini bisa melakukan perpecahan masalah sosial kita yang mengalami disharmonisasi. Seharusnya perkara ini tidak dibawa ke pengadilan. Tapi ini sudah dibawa ke pengadilan," kata Yani.

 


Damai

Sidang perkara dugaan tindak kekerasan terhadap Muhammad Kece atas terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonaparte diwarnai sejumlah protes. Salah satunya permintaan agar perkara tersebut tidak disidangkan.

Protes itu juga dilayangkan, Kuasa Hukum Napoleon Eddy Sudjana kepada majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dengan menunjukkan surat pernyataan damai antara M Kece dengan kliennya.

"Saya akan protes keras dengan jaksa dalam perspektif bukan soal waktu, tapi dari sisi adanya surat perdamaian antara Pak Jenderal Napoleon dengan M Kece," kata Eggy di ruang sidang utama PN Jakarta Selatan, Kamis (17/3/2022).

Alhasil, Eggy berdalih dengan adanya surat pernyataan damai kedua belah pihak. Sudah seharusnya perkara tersebut dinyatakan selesai. Sehingga, kasus ini tidak lagi naik ke meja persidangan.

"Seharusnya tidak ada sidang ini gitu loh. Kenapa ada sidang ini mereka sudah sepakat kok untuk berdamai," ujar dia.

Menurut dia, dengan adanya kesepakatan damai hal itu bisa dimaksudkan menjadi hukum tertinggi. Sehingga dia menilai jika Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah berbuat kelalaian yang berat dengan tetap memproses kasus ini.

"Hukum tertinggi itu kesepakatan tidak ada itu, ini kelalaian berat kejaksaan. Oleh karena itu yang mulia, ini juga harus menganut kepada asas murah sederhana cepat, itu kita sepakati, lho kenapa yang tidak perlu di sidang di sidangkan," tegas Eggy.

 

Reporter: Bachtiarudin Alam

Sumber: Merdeka

Infografis Ayo Jadikan 2022 Tahun Terakhir Indonesia dalam Masa Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya