Liputan6.com, Jakarta Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, menyampaikan ada 4 strategi yang harus dilakukan Pemerintah dan seluruh pihak untuk meredam potensi dampak kenaikan inflasi akibat krisis akibat perang Rusia-Ukraina.
Haryadi menjelaskan dampak inflasi konflik tersebut terhadap Indonesia yaitu, kenaikan harga sejumlah komoditas pangan yang melonjak mencapai rekor tertinggi baru. Hal itu tercermin pada kenaikan harga minyak goreng.
Advertisement
“Berakibat kepada akhirnya kebutuhan pokok kita, kemarin minyak goreng naik, kedelai masih impor dari Ukraina, dan harga daging pun naik juga, karena pasokan dunia terganggu dengan kondisi lain,” kata Hariyadi dalam diskusi publik Harga Kian Mahal: Recovery Terganggu, Kamis (7/4/2022).
Konflik kedua negara itu juga berpengaruh pada harga minyak sawit mentah (CPO), melonjak karena permintaan berlanjut, dan bertepatan dengan berkurangnya ketersediaan ekspor dari Indonesia, produsen utama CPO.
Harga kelompok sereal juga meningkat antara lain, didorong kenaikan harga gandum yang dipicu konflik Rusia dan Ukraina yang merupakan pengekspor utama gandum dunia.
Harga daging juga mencapai rekor tertinggi, terutama didorong permintaan impor yang kuat di tengah ketatnya pasokan sapi siap potong di Brazil dan kebijakan repopulasi di Australia.
Dengan demikian, kenaikan harga komoditas pangan dan energi sudah berkontribusi terhadap inflasi. Inflasi tahunan pada Februari 2022 mencapai 2,06 persen
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
4 Strategi
Berikut strategi untuk meredam dampak kenaikan inflasi akibat krisis Rusia dan Ukraina. Pertama, APINDO meminta agar pemberian stimulus bantuan sosial dengan operasi pasar, kebijakan HET, dan harga acuan untuk bahan pangan dilakukan secara merata, berkesinambungan, dan tepat sasaran.
Kedua, ketersediaan pasokan melalui pemenuhan logistik di daerah konsentrasi dengan konsumsi tinggi. Dunia usaha meyakini, cadangan beras Pemerintah tetap mencukupi dan memadai.
“Namun, harus disertai dengan kebijakan pembatasan pembelian yang wajar. Selain itu, APINDO berharap Pemerintah fleksibel dan merespon dengan cepat akan kebutuhan relaksasi impor khusus komoditas tertentu,” ujar Haryadi.
Strategi ketiga, yaitu memastikan kelancaran distribusi. Pengawasan juga dilakukan bersama Polri, kerja sama antar Pemerintah Daerah dan rekayasa sistem logistik melibatkan BUMN dan BUMN. Oleh karena itu, APINDO meminta agr solidaritas kerjasama antar K/L berlangsung efektif, terutama faktor kecepatan.
Keempat, melakukan komunikasi efektif. APINDo menekankan akan pentingnya koordinasi dari Pemerintah bersama Tim Pengendali Inflasi Daerah dan Pusat (TPID dan TPIP), sekaligus melakukan monitoring stok.
“Dunia usaha juga meminta apabila terjadi panic buying, agar dimunculkan komunikasi yang bijak dari Pemerintah untuk meredam fenomena kontraproduktif tersebut,” pungkasnya.
Advertisement
Perang Rusia-Ukraina Bikin Pemulihan Ekonomi 2022 Berjalan Lambat
Ekonom Senior Indef yang juga Pengamat Persaingan Usaha Nawir Messi, berpendapat pemulihan ekonomi akibat pandemi covid-19 semakin sulit dicapai, karena perekonomian global juga terganggu.
Jika melihat kembali, pada awal tahun 2020 covid-19 ditemukan di Indonesia, membuat perekonomian Indonesia terkontraksi sangat tajam.
Namun, pada awal tahun 2021 sudah mulai terlihat tanda-tanda pemulihan ekonomi. Meskipun pertumbuhan ekonomi tahun lalu sebesar 3,69 persen masih jauh dari target, tapi perkembangan indikator-indikator makro lainnya memberikan optimisme.
“Kita lihat consumer confidence yang mulai membaik mendekati situasi normal, investasi yang mulai naik, surplus perdagangan terlepas dari perkembangan harga-harga internasional yang sedang naik, juga indikator lainnya,” kata Nawir dalam diskusi publik Harga Kian Mahal: Recovery Terganggu, Kamis (7/4/2022).
Tak hanya itu, pemulihan ekonomi di tahun 2021 juga ditopang oleh boomingnya harga-harga komoditas. Kemudian, perkembangan di tingkat mikro juga mulai membawa optimisme.
“Misalnya di awal tahun ini penjualan otomotif sudah mendekati normal, penjualan semen sudah mencapai 80 persen lebih dari kapasitas terpasang, which is hampir normal, dan ritel yang bergerak ke arah normal,” ujarnya.
Momentum Pemulihan
Semua indikator ini secara umum membangun persepsi bersama, dia menilai tahun 2022 adalah momentum pemulihan yang ditunggu-tunggu.
Tapi, optimisme yang terbangun di akhir tahun lalu dan awal tahun 2022 nampaknya terkoreksi oleh faktor-faktor di tingkat global maupun domestik.
“Misalnya di global ada persoalan yang berkaitan dengan inflasi yang meroket tajam, krisis energi, masalah supply chain dan banyak lagi,” ujarnya.
Terutama faktor lainnya yang tidak kalah penting berkaitan dengan persoalan perang Rusia dan Ukraina, exit strategy dari negara maju juga melahirkan tantangan-tangan bagi negara berkembang termasuk indonesia.
“Misalnya suku Bunga global yang mulai merangkak tajam tahun lalu, dan akan meningkat sampai penghujung tahun, diperkirakan The Fed akan meningkatkan 3-4 kali lagi suku bunganya, dan itu dipastikan akan memiliki dampak global yang sangat luas. Situasi seperti itu saya kira memposisikan otoritas moneter pada posisi yang sangat dilematis,” pungkasnya.
Advertisement