Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan inflasi pada April 2022 akan kembali naik. Hal ini lantaran prediksinya, kenaikan harga minyak goreng, cabai merah, serta daging, dan telur ayam ras segar, masih berlanjut.
“Ini tinjauan menggunakan dengan Big Data, sampai dengan kondisi 5 April kemarin, ada kecenderungan kenaikan untuk tiga komoditas ini,” kata Margo Yuwono seperti dikutip dari Antara, Kamis (7/4/2022).
Advertisement
BPS mencatat harga minyak goreng pada awal April kembali melejit, meskipun rata-rata harga minyak goreng mengalami penurunan pada Maret 2022, bahkan menjadi lebih tinggi dari kondisi rata-rata pada Januari 2022.
Kemudian untuk harga cabai merah, sejak Maret rata-rata harga cabai telah naik di pasaran dan masih bertahan hingga awal April dan belum menunjukkan adanya tanda-tanda penurunan harga. Sedangkan harga daging dan telur ayam ras cenderung stabil dan tidak terlalu berubah signifikan.
Margo menyampaikan minyak goreng menjadi penyumbang utama inflasi selama tiga bulan terakhir karena harga yang bergejolak akibat kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO). Secara rinci, inflasi minyak goreng pada Januari adalah 0,31 persen (yoy), Februari 0,20 persen (yoy) dan Maret 0,24 persen (yoy).
Ia memprediksi ada potensi kenaikan inflasi pada April 2022 sebagai efek dari kenaikan komponen administered prices, yakni penyesuaian harga LPG non-subsidi per 27 Februari, lalu penyesuaian BBM jenis Pertamax per 1 April 2022, serta penyesuaian PPN menjadi 11 persen per 1 April 2022.
“Ini tentu saja mempunyai potensi besar kepada kenaikan inflasi di April. Jadi ada demand yang polanya meningkat di puasa dan Lebaran serta ada kebijakan pemerintah yang berpotensi untuk terjadinya inflasi,” jelasnya.
Daya Beli Menurun
Lebih lanjut Margo juga menuturkan kenaikan inflasi akan berdampak terhadap penurunan daya beli dan menekan konsumsi masyarakat yang berpotensi menahan pertumbuhan ekonomi nasional. Kenaikan beban pengeluaran masyarakat menengah ke bawah juga bertambah akibat kenaikan harga bahan pangan.
“Pola konsumsi masyarakat sebagian besar porsi belanjanya itu ke makanan. Jadi kalau inflasi pangan tidak bisa dikendalikan bisa dipastikan golongan bawah akan tertekan kesejahteraannya,” ucap dia.
Jika inflasi pangan berlangsung lama akibat berdampak ke kenaikan garis kemiskinan. Hal tersebut, kata dia, dikarenakan garis kemiskinan ditentukan oleh 74,05 persen makanan dan sisanya 25,95 persen non makanan. Sehingga jika inflasi pangan tinggi maka otomatis jumlah penduduk miskin bertambah.
Advertisement
Pengusaha Usul 4 Strategi Redam Inflasi
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, menyampaikan ada 4 strategi yang harus dilakukan Pemerintah dan seluruh pihak untuk meredam potensi dampak kenaikan inflasi akibat krisis akibat perang Rusia-Ukraina.
Haryadi menjelaskan dampak inflasi konflik tersebut terhadap Indonesia yaitu, kenaikan harga sejumlah komoditas pangan yang melonjak mencapai rekor tertinggi baru. Hal itu tercermin pada kenaikan harga minyak goreng.
“Berakibat kepada akhirnya kebutuhan pokok kita, kemarin minyak goreng naik, kedelai masih impor dari Ukraina, dan harga daging pun naik juga, karena pasokan dunia terganggu dengan kondisi lain,” kata Hariyadi dalam diskusi publik Harga Kian Mahal: Recovery Terganggu, Kamis (7/4/2022).
Konflik kedua negara itu juga berpengaruh pada harga minyak sawit mentah (CPO), melonjak karena permintaan berlanjut, dan bertepatan dengan berkurangnya ketersediaan ekspor dari Indonesia, produsen utama CPO.
Harga Daging
Harga kelompok sereal juga meningkat antara lain, didorong kenaikan harga gandum yang dipicu konflik Rusia dan Ukraina yang merupakan pengekspor utama gandum dunia.
Harga daging juga mencapai rekor tertinggi, terutama didorong permintaan impor yang kuat di tengah ketatnya pasokan sapi siap potong di Brazil dan kebijakan repopulasi di Australia.
Dengan demikian, kenaikan harga komoditas pangan dan energi sudah berkontribusi terhadap inflasi. Inflasi tahunan pada Februari 2022 mencapai 2,06 persen
Advertisement