Liputan6.com, Jakarta Banyak tokoh publik memberikan testimoni terhadap metode Digital Subtraction Angiography (DSA) atau cuci otak yang dilakukan oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Bahwa selama ini yang bersangkutan telah berhasil menyembuhkan ribuan, padahal DSA masih diperdebatkan.
Metode cuci otak Terawan belum terbukti secara ilmiah manfaatnya. Hal ini pun dinilai Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai pelanggaran etik berat, yang berujung pemberhentian Terawan dari keanggotaan IDI.
Baca Juga
Advertisement
Polemik antara Terawan dan IDI, pengamat masalah kesehatan, Bambang Budiono ikut prihatin dan sedih. Namun, keputusan pemberhentian Terawan yang telah diambil di forum tertinggi organisasi IDI harus dihormati.
Bambang mengulas lebih lanjut nilai testimoni (Testimony Based Medicine/TBM) metode pengobatan, seperti cuci otak Terawan dari sisi medis. Dalam menguji keampuhan suatu metode pengobatan ada beberapa cara atau metodologi yang lazim dilakukan dan telah diterima secara luas di dunia medis.
"Bisa menggunakan hasil antara atau surrogate end point, contohnya melihat adanya perubahan penanda khusus dari hasil laboratorium, melihat perubahan dari pencitraan khusus (kardiologi nuklir, ekokardiografi) yang digunakan untuk melihat dampak suatu pengobatan," terang Bambang melalui pernyataan tertulis yang diterima Health Liputan6.com, Jumat (8/4/2022).
"Lalu, pengujian metode pengobatan bisa juga dengan menggunakan data klinis sebagai hasil akhir. Miisalnya, peningkatan kemampuan fisik, penurunan kekerapan dirawat di rumah sakit akibat gagal jantung, penurunan kejadian serangan jantung dan kematian, dan lain lain."
Uji Metode Pengobatan dengan Plasebo
Untuk menilai keunggulan suatu metode pengobatan, menurut Bambang Budiono, bisa dilakukan dengan membandingkan obat atau metode baru dengan terapi standar (jika sudah ada) atau membandingkan dengan suatu bahan tidak aktif yang disebut plasebo.
"Metode penelitian yang terbaik jika dilakukan randomisasi atau acak, pasien dan dokter tak tahu yang mana obat aktif dan mana plasebo," jelasnya.
"Karena kemasan plasebo dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk obat atau zat aktif, biasanya akan diberi kode dan pada akhir penelitian baru dibuka untuk mengetahui mana yang zat aktif dan mana yang plasebo."
Perlu diketahui, meski plasebo bukan suatu zat aktif bisa memiliki dampak seperti zat aktif, baik khasiat maupun efek samping. Maka, tak heran, jika ada pasien yang memeroleh kapsul berisi tepung dapat mengalami penurunan kadar gula darah, tensi, kadar kolesterol maupun berkurangnya keluhan klinis.
"Jangan heran juga jika pasien yang memeroleh plasebo mengeluhkan efek samping mirip halnya obat aktif, misal batuk, diare, demam, pusing, dan sebagainya. Nah, penelitian dengan desain yang baik akan menjawab apakah obat atau metode yang diberikan pada pasien benar-benar memiliki manfaat klinis atau tidak," lanjut Bambang.
"Semakin banyak yang terlibat penelitian, semakin kuat kesimpulan yang bisa diambil apakah memang bermanfaat atau tak lebih baik dari plasebo."
Advertisement
Kisah 'Tongkat' Perkins
Memahami tentang efek plasebo, Bambang Budiono enyitir kembali kisah nyata tentang tongkat Perkins. Elisha Perkins lahir tahun 1741 di Norwich, Connecticut. Ia dididik oleh ayahnya, Joseph Perkins di Plainfield, Connecticut, yang selanjutnya mengikuti pendidikan kedokteran dengan sukses.
Ketika Perang Revolusi Amerika pecah, Elisha Perkins menjabat sebagai ahli bedah untuk Angkatan Darat Kontinental selama Pertempuran Bunker Hill. Pada akhir abad ke-18, perkembangan kedokteran menuntut adanya temuan temuan baru yang bisa lebih menjanjikan kesembuhan.
Sekitar tahun 1795 - 1796, Perkins menemukan "Tongkat" ciptaannya. Ia mematenkan alat tersebut selama 14 tahun pada 19 Februari 1796. Tongkat terdiri dari dua batang logam 3 inci dengan ujung runcing.
Meskipun terbuat dari baja dan kuningan, Perkins mengklaim bahwa tongkat ciptaannya terbuat dari paduan logam yang tidak biasa. Perkins mengklaim tongkatnya bisa menyembuhkan berbagai peradangan, rematik dan nyeri kepala dan wajah.
"Dia menerapkan titik-titik pada bagian tubuh yang sakit dan menggunakan tongkatnya untuk melakukan penyembuhan selama sekitar 20 menit. Testimoni dari mulut ke mulut membuat metode ini mengalami ‘booming’ pada masa itu," tutur Bambang, yang merupakan dokter spesialis jantung.
"Perkins mengklaim cara ini bisa "mengeluarkan cairan listrik berbahaya yang menjadi penyebab keluhan pasien". Ikatan Dokter Connecticut mengutuk metoda ini sebagai "perdukunan delusi" dan mengeluarkan Perkins dari keanggotaan."
Namun, Perkins berhasil meyakinkan tiga fakultas kedokteran Amerika Serikat bahwa metodenya berhasil. Di Kopenhagen, Denmark, dua belas ahli bedah di Royal Frederiks Hospital juga mulai mendukung metode ini.
Kritik dokter lain disambut dengan tuduhan elitisme dan arogansi profesional. Perkins membanggakan 5.000 kasus yang telah berhasil disembuhkan oleh tongkatnya. Bahkan metode penyembuhan tersebut disertifikasi oleh delapan profesor, empat puluh dokter, dan tiga puluh pendeta.
Presiden Washington pada masa itu pun tergiur untuk membelinya. Putra Perkins, Benjamin Perkins, mengatakan, Presiden Amerika Serikat, yakin akan khasiat tongkat tersebut dan menggunakannya di dalam keluarganya sendiri dengan membeli satu set tongkat.
Batu Ponari Sembuhkan Penyakit
Setelah kematian Perkins, dokter Inggris mulai meragukan kehebatan 'tongkat' Perkins. Pada tahun 1799, salah satu dokter, Dr. John Haygarth melakukan uji coba. Ia merawat lima pasien rematik dengan tongkat kayu yang dibuat menyerupai logam.
Empat dari mereka melaporkan bahwa rasa sakitnya berkurang. Keesokan harinya, pasien dirawat dengan tongkat logam dengan hasil yang sama. Dr. Haygarth melaporkan temuannya dalam publikasi berjudul On the Imagination as a Cause and as a Cure of the Disorders of the Body.
Upaya menggunakan tongkat Perkins tersebut untuk menyembuhkan hewan terbukti sia-sia, mungkin karena efek plasebo tak dikenal di dunia hewan. Pada saat itu, Perkins memiliki banyak pendukung berpengaruh dan penjualan tongkatnya masih tetap berlanjut.
Putra Perkins meninggal pada tahun 1810. Setelah itu, popularitas tongkat Perkins mulai menghilang.
"Kisah di atas memperlihatkan betapa besar pengaruh suatu efek plasebo, ketika pasien meyakini itu bisa menyembuhkan. Tak heran, jika ‘batu Ponari’ pun pernah berhasil menyembuhkan berbagai penyakit pada ratusan orang," tutup Bambang Budiono dalam tulisannya.
"Perlu dipahami, dunia kedokteran tak memberi tempat untuk testimoni karena tak bisa diuji. Sekalipun diucapkan oleh seorang menteri atau bahkan presiden pun. Testimoni tak akan pernah memiliki nilai setara bukti klinis."
Advertisement