Bos Samudera Indonesia Prediksi Biaya Transportasi Masih Tetap Tinggi

Dirut PT Samudera Indonesia Tbk (SMDR) Bani Maulana Mulia menuturkan kenaikan biaya freight bukan hanya dari konflik Rusia-Ukraina tetapi juga faktor lainnya.

oleh Elga Nurmutia diperbarui 09 Apr 2022, 12:04 WIB
Selain faktor konflik Rusia-Ukraina ada juga faktor lain pengaruhi biaya freight. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Invasi Rusia ke Ukraina dinilai tidak terlalu berdampak terhadap Indonesia. Namun, ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina juga menjadi salah satu yang memicu biaya freight atau biaya transportasi yang harus dikeluarkan untuk pengiriman barang impor ke tempat tujuan.

"Secara ekspor impor kita itu semua di bawah 1 persen nol koma sekian dengan Rusia maupun dengan Ukraina dan komoditinya yang besar untuk ekspor dari Rusia adalah kategori lemak minyak hewan nabati dan impornya Rusia adalah besi baja yang sama untuk Ukraina ekspornya dan impor nya lebih banyak ke gandum,” ujar Direktur Utama PT Samudera Indonesia Tbk Bani Maulana Mulia dalam Research Talk Konflik Rusia – Ukraina oleh Universitas Prasetiya Mulya, ditulis Sabtu (9/4/2022).

Dia menambahkan, Rusia bukan sumber signfikan untuk impor. Dengan demikian konflik Rusia-Ukraina tidak terlalu berpengaruh ke Indonesia. Namun, Ukraina, salah satu sumber impor gandum Indonesia. Meski demikian, Bani menilai, Indonesia dapat sumber alternatif dari negara lain.

“Untuk cereal juga untuk gandum dari Ukraina meskipun itu merupakan nomor dua terbesar sumber impor gandum bagi Indonesia dan terlihat bahkan di januari-februari sudah terlihat menurun drastis mungkin di awal sebelum konflik dimulai sudah terpengaruh, Tapi kita masih bisa mendapatkan dari negara-negara sumber lain dari Australia, Brazil dan Argentina,” tutur dia.

Di sisi lain, dunia usaha juga hadapi tantangan biaya freight dan rantai pasokan. Bani menuturkan, sejak awal COVID-19, krisis rantai pasokan sudah ditemui.

"Intinya tingkat freight rate yang sangat tinggi hampir di seluruh sektor pelayaran dan hampir di seluruh area di dunia,” ujar dia.

Meski demikian, kondisi indeks biaya freight sudah lebih rendah dibandingkan 2021. "Kalau dilihat sejak up to date 2022 itu  kita sudah naik dari awal tahun sebelumnya 32 persen, tapi kalau dibandingkan dengan tahun lalu sebenernya kita udah lebih rendah lebih rendah 6 persen dibandingkan posisi year on year tahun lalu,” ujar dia.

Selain itu, menurut Bani, kenaikan biaya freight bukan hanya dari konflik Rusia-Ukraina saja tetapi juga faktor lainnya.

"Sebenarnya memang commodity price memang yang mendrive juga salah satu hal yang tingginya freight rates dan  hampir semua jenis komoditas itu naik walaupun pasti penyebabnya juga bermacam-macam berbagai faktor tidak hanya semata-mata konflik Rusia Ukraina, tapi memang itu juga mendorong,” imbuh dia.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Biaya Freight Bakal Tetap Tinggi

Aktivitas bongkar muat kontainer di dermaga ekspor impor Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (5/8/2020). Menurut BPS, pandemi COVID-19 mengkibatkan impor barang dan jasa kontraksi -16,96 persen merosot dari kuartal II/2019 yang terkontraksi -6,84 persen yoy. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Adapun faktor lain pengaruhi biaya freight  adalah fenomena cuaca yang mempengaruhi produk-produk pangan sehingga dorong harga komoditas. Selain itu, faktor dari China.

“Sebenarnya faktor pendorong utama dari kenaikan itu freight rates menurut kami itu sebenarnya sangat tinggi besar dari China. Itu yang sebenarnya memberikan efek terbesar secara global,” tuturnya.

China yang mengalami pemulihan perdagangan terlebih dahulu pada saat dunia lain semua terkena oleh COVID-19 dan lockdown, kemudian permintaan yang besar dari Amerika Utara, Eropa terhadap produk China.

"Itu yang membuat freight rate sangat tersedot ke China hampir semua bahkan kapal-kapal domestik di Indonesia pun tersedot untuk melayani frekuensi yang tinggi di luar negeri dan semua bersumber dari China,” ucapnya.

“Ini adalah efek kalau tadi kita lihat indeks lebih rendah dibandingkan tahun lalu karena juga mungkin pasti ada efek bahwa ada lockdown lagi di China sekarang,” ia menambahkan.

“Walaupun mungkin sebenarnya COVID-19 risk-nya mudah-mudahan kecil dan tidak akan mengulang lagi seperti yang satu sudah terjadi sebelumnya,”.

Namun, antisipasi yang dilakukan pemerintah China itu sangat besar sehingga sebenarnya apabila sampai benar-benar lockdown itu  dinilai pengaruhnya memang sangat besar.

"Mungkin ini yang lebih terasa dibandingkan efek Rusia Ukraina apabila slow down yang ada di China, ini yang menyebabkan kenaikan freight rate nya itu ada tertahan. Tapi kalau misalnya ini sudah kembali full force, menurut  saya memang agak sulit untuk mengharapkan bahwa freight rate itu tidak tergolong tinggi,” pungkasnya.


Konsistensi Kebijakan Pemerintah Dukung Pemulihan Ekonomi

Ilustrasi restoran (Dok.Unsplash/ Jonathan Nguyen)

Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Adhi S Lukman mengatakan, Indonesia harus memperkuat struktur dan ekosistem di dalam negeri dalam mengatasi krisis yang terjadi.

"Bagaimana kita membuat ekonomi dalam negeri khususnya pembangunan di industri agro dan makanan ini harus diperkuat dengan ekosistem yang baik kita pemerintah dan para pemangku kepentingan termasuk pelaku usaha harus mengamankan bagaimana sustainability bahan baku ini harus menjadi prioritas utama di dalam mengatasi krisis," ujar Adhi dalam Research Talk Konflik Rusia – Ukraina oleh Universitas Prasetiya Mulya.

Dia juga menambahkan,  Indonesia masih banyak bergantung dari impor dan tentunya perbaikan ketersediaan bahan baku ini harus didukung di hulu. Tidak bisa industri terus berkembang tanpa kepastian bahan baku di hulu.

"Mungkin membutuhkan sesi tersendiri di pembahasan bagaimana hulu ini harus diberdayakan harus direvitalisasi sehingga ini akan memperkuat ketersediaan bahan baku di dalam negeri,” ungkapnya.

Tak hanya itu, Adhi juga menjelaskan untuk sementara mau tidak mau Indonesia harus memperlancar impor ketersediaan yang paling penting. 

"Paling tidak kebutuhan nasional itu bisa terpenuhi dengan bahan bakunya agar nilai tambah dan industri terus berjalan. Sehingga kita terus bisa mendapatkan nilai tambah dan ekonomi kita berjalan di dalam negeri ini faktor sangat penting sekali dan kemudian policy dan regulasi konsisten sinkron dan kolaboratif dari hulu ke hilir,” tambah Adhi.

Kemudian tentunya didukung oleh teknologi, sumber daya manusia dan juga perbaikan infrastruktur serta logistik ini juga mungkin menjadi sangat penting saat ini. Karena biaya logistik melonjak luar biasa ini harus diantisipasi.

“Bagaimana kita mengamankan tentunya kita berharap paling tidak pemerintah harus menjaga kerja purchasing power di kelas menengah bawah kalau untuk kelas menengah atas. Saya yakin mereka masih punya cadangan keuangan yang cukup,” kata dia.


Kelas Menengah Perlu Ditopang

Pengunjung berada di dalam Lotte Shopping Avenue, Jakarta, Selasa (1/3/2022). Kemenko Perekonomian memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2022 capai 5,2 persen dipicu efektivitas penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional hingga memasuki kuartal IV-2021. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Namun, ia menambahkan paling tidak kelas menengah atas ini perlu diberikan suasana kondusif agar bisa membelanjakan uangnya dengan dengan kondusif dengan baik sehingga ini akan menggerakkan ekonomi juga ketika dua pihak atas dan bawah bisa berkehidupan normal.

"Tentunya juga konsistensi kebijakan pemerintah di dalam mendukung ekonomi recovery sangat penting supaya kita tetap bisa optimis sesuai dengan harapan pemerintah bahwa proyeksi pertumbuhan kita diharapkan bisa pada 5,2,” ucapnya. 

Adhi juga tetap berharap dengan ekspor yang stabil dan bahkan meningkat. Selain itu, pasar domestik meningkat dan industri Food and Beverage  bisa tumbuh di sekitar 5-7 persen pada 2022.

"Meskipun belum bisa tumbuh normal sekitar 7-9 persen, yang harus diwaspadai adalah dampak boikot Rusia ini juga menjadi penting karena ini akan sangat berpengaruh terhadap global value chain yang tidak bisa dihindari,” imbuhnya.

"Oleh sebab itu antisipasi untuk mencari alternatif-alternatif lain, sumber daya lain  dan menghilangkan hambatan-hambatan dalam perdagangan menjadi suatu keniscayaan agar kita bisa terhindar dari dampak negatif perang Rusia Ukraina,” pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya