Liputan6.com, Jakarta Kasus pemberhentian dokter Terawan dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terus menuai pro dan kontra. Banyak anggapan yang muncul, namun hingga kini mantan Menteri Kesehatan tersebut belum memberikan tanggapannya secara langsung pada media.
Akademisi yang juga guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Prof Rhenald Kasali turut membahas kasus Terawan ini dari perspektifnya merujuk pada pemberitaan dan beberapa pernyataan narasumber di sejumlah media.
Advertisement
Dalam video yang diunggahnya di akun YouTube, Prof Rhenald mengatakan pro kontra ini terus meluas hingga menimbulkan argumentasi-argumentasi yang akhirnya keluar dari pokok persoalannya. IDI menurutnya, memberikan rekomendasi untuk mencabut izin praktik Terawan namun sepertinya pemerintah tidak akan mencabut izinnya.
"Kenapa demikian? Jawabannya adalah karena banyak sekali pejabat pemerintah yang membutuhkan jasa dokter Terawan. Kan mereka semua berpendapat tidak ada masalah dengan dokter ini," katanya dalam video berjudul IDI vs Terawan: Nyawa atau Metodologi? yang diunggah Sabtu (9/4/2022).
Prof Rhenald pun merujuk pada sebuah kasus yang sangat besar tahun 1984, tentang bagaimana pemerintah mengatasi masalah dengan dokter yang bernama Gunawan Simon.
"Dokter Gunawan Simon diketahui adalah dokter yang berpraktik di Bandung dan kemudian dipercaya sebagai dokter pribadi dari wakil presiden pada masa itu Adam Malik," ujarnya.
Adam Malik--ketika itu merasa sehat dan sembuh sementara dokter yang lain semua bingung karena penyakit kanker lever kala itu luar biasa beratnya. "Nampaknya sulit disembuhkan tetapi dokter Gunawan Simon bisa menjanjikan kesembuhan dan kita lihat kemudian ternyata Malik merasa segar dan pergi ke mana-mana. Ia bisa melakukan perjalanan keluar negeri, tapi beberapa waktu kemudian Malik meninggal dunia mendapatkan serangan jantung."
"Maka diperiksa lah dokter Gunawan Simon, semua orang kemudian menaruh perhatian kepadanya. Dia diberikan julukan sebagai dokter dukun karena tidak menjalankan profesi dokternya tetapi memberikan racikan sesuai dengan selera aja katanya begitu pada saat itu," jelas prof Rhenald.
Akhirnya yang bersangkutan menjalani pemeriksaan dan IDI memberikan rekomendasi kepada Menteri Kesehatan untuk mencabut izin praktik. "Tapi yang dicabut ternyata hanya plang dokter dia saja, dokter Gunawan Simon ternyata tetap menjalankan praktiknya."
Menurut Prof Rhenald, saat ini pasien semakin pintar. Mungkin dulu tidak ada sosial media atau media untuk bertanya. Sehingga pasien sebelum bertemu dokter sudah bertanya pada Google atau pada dokter-dokter tertentu di sosial media dan melihat penjelasan-penjelasan dokter hebat di Youtube.
"Pasien sekarang mulai biasa melakukan second opinion, sehingga sebagian orang yang mempunyai uang dia akan berobat dan bersedia membayar lebih mahal jadi harga bagi pasien tertentu tidak ada masalah bahkan kalau itu sudah menyangkut kesehatan orang tuanya. Banyak sekali orang yang sampai harus menjual rumah, mobil dan sebagainya untuk membiayai kesehatan keluarga yang dicintainya," ujarnya.
Biaya kesehatan tidak murah
Prof Rhenald pun tidak memungkiri bahwa saat ini biaya kesehatan tidak murah sehingga ia mengharapkan kasus ini bisa menjadi pintu masuk untuk transformasi besar-besaran dalam industri kesehatan. "Setidaknya kita semua berharap bahwa ada jalan keluar yang berdampak sangat luas."
Apalagi, lanjut dia, sejak ada BPJS Kesehatan Rumah Sakit tumbuh pesat sekali. Pasien kemudian tidak kenal batas waktu. Bahkan banyak rumah sakit yang bekerja 24jam.
"Dalam situasi itu, kita menyaksikan banyak pimpinan rumah sakit yang merasakan kegembiraan kalau mereka mempunyai alat-alat kesehatan yang harganya mahal-mahal itu bisa dioperasikan 24 jam," katanya.
Meskipun anehnya, pasien semakin banyak namun biaya rumah sakit tidak tambah murah, dan justru tambah mahal. "Ini adalah persoalan yang tidak pernah dibicarakan oleh organisasi profesi dan bagaimana mengatasinya."
Advertisement
Apakah Terawan melakukan promosi?
Tuduhan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) ini lalu semakin panjang, lanjut Prof Rhenald.
"Saya kira ini penting sekali pembelajaran dan mudah-mudahan setelah ini, IDI dan anggotanya bisa berdamai dan kita sebagai pasien tidak dibuat menjadi bingung tapi diberikan penjelasan dan barangkali Indonesia sudah saatnya untuk meningkatkan literatur kedokteran yang mumpuni benar-benar kajian-kajian yang dilakukan secara ilmiah bukan hanya sekadar mengkritik," katanya.
Tuduhan tuduhan yang diberikan oleh MKEK yang diributkan adalah persoalan digital subtraction angiopgraphy (DSA) atau dikenal dengan metode cuci otak. Bahkan dikatakan tarifnya mahal sekali dan (metode ini) dipromosikan.
"Keputusan MK yang suratnya beredar bulan Februari tahun ini disebutkan bahwa yang bersangkutan telah melakukan promosi kepada masyarakat luas tentang vaksin nusantara sebelum penelitiannya selesai. Ini kok melebar lagi dari DSA menjadi vaksin," katanya.
Metode DSA itu sendiri, lanjut prof Rhenald, sudah pernah diteliti dan dipersoalkan beberapa tahun yang lalu bahkan oleh ketua PB IDI tahun 2015-2018, Profesor Ilham Marsis pernah mengatakan bahwa ini persoalan DSA perlu diteliti lebih jauh. "Dan ketika tuduhannya terus berkembang akhirnya ketua umum Ilham marxist mengatakan bahwa tidak jadi dihukum jadi kita melakukan sanksi sementara saja sampai kapan sampai ditemukan hasilnya."
"Kenapa demikian? Karena dokter Terawan telah memberikan penjelasan, ini bertentangan dengan sebagian pengurus IDI yang mengatakan bahwa dokter Terawan tidak memberikan penjelasan," ujarnya.
Pada masa itu, Profesor Ilham Marsis mengatakan telah menerima penjelasan dan karena itu sangsinya ditunda untuk menjawab apakah terapi itu benar-benar aman. Maka Profesor Ilham mengatakan akan meminta bantuan dari hal teknologi assessment-- sebuah lembaga di bawah Kementerian Kesehatan, walaupun sampai hari ini tidak terdengar lagi soal temuannya seperti apa.
Prof Rhenald sendiri menyatakan, ia selalu menugaskan mahasiswa program doktoral untuk mengkaji masalah jika ada yang kontroversial.
"Saya akan minta penelitian dikaji dengan penuh ketelitian dan setelah itu kemudian bisa direplikasi oleh yang lainnya. Bahkan kita bedakan eksperimen. Bila perlu bagi dua kelompok yaitu eksperimental group dan tentu saja control group," jelasnya.
Terkait iklan Terawan
Sementara itu, IDI menyampaikan pernah menulis surat kepada Presiden agar tidak mengangkat Terawan sebagai Menteri Kesehatan karena kontroversinya.
"Masalah ini diperpanjang dengan masalah-masalah lain harusnya selesaikan dulu. Yang menarik lagi adalah tuduhan bahwa anggota IDI ini telah dituduh mengiklankan diri secara berlebihan," lanjut prof Rhenald
Prof Rhenald lantas mengutip hasil wawancara salah seorang dokter di TV One yang menyatakan bahwa Terawan tidak pernah sama sekali mengiklankan diri.
"Saya pun juga mencari-cari dimana ada iklannya. Setahu saya yang banyak melakukan promosi banyak sekali dokter dari luar dan dari dalam negeri yang berpromosi di sosial bahkan di media-media yang terbuka banyak sekali, dokter kecantikan, dokter kulit, dokter ginjal, dokter bedah plastik, dokter yang menyangkut tulang atau barangkali menyangkut saraf yang juga di rumah sakit yang mempunyai alat-alat yang katanya lebih bagus dari tempat lain," katanya.
Prof Rhenald juga menyinggung pernyataan IDI terkait ketidak percayaannya terhadap disertasi Terawan di Universitas Hasanudin.
"Jadi meluas kasusnya dan anggota Majelis Kehormatan Etik Kedokteran ini menyebutkan bahwa penelitian di Universitas Hasanudin itu tidak dilakukan dengan proper karena pembimbingnya berada di bawah tekanan."
"Ini masalah ya, bagaimana kita bisa mempersoalkan Universitas lain yang melakukan penelitian dan bimbingan dan kemudian dikatakan tidak proper, forumnya bukan di publik. Forumnya harusnya di jurnal ilmiah atau di media-media ilmiah dan dijelaskan satu persatu bagian mana yang dianggapnya tidak tepat," kata prof Rhenald.
"Unhas itu punya kemandirian dalam hal pengelolaan akademik sebagai badan hukum perguruan tinggi negeri badan hukum dan tentu saja kami punya rambu-rambu yang jelas dalam proses pengelolaan ke mahasiswa maupun pengelolaan akademik sehingga kami memang mempertanyakan apa dasar dari yang terhormat senior-senior kita di MKEK mengatakan bahwa disertasi Terawan itu bisa diloloskan karena tekanan," lanjut Prof Rhenald.
Advertisement
Menyoal Ironi
Prof Rhenald mengutip salah seorang jurnalis senior yang mengirimkan tulisan padanya. Dalam tulisannya, ia menyinggung soal hampir semua jagoan dalam bidang apapun, kalau dia sangat menonjol dan apalagi disukai oleh customer nya, oleh pasiennya atau oleh mereka yang menjadi pengikut-pengikutnya maka biasanya akan menghadapi Ironi, fitnah, tuduhan dan kadang-kadang ada kesalahan. Tapi seperti itulah dan Ironi dibutuhkan untuk membuat kita menjadi lebih bijaksana.
"Ironi adalah pintu menuju kearifan. Ironi dalam sejarah tidak hanya menimpa orang-orang hebat seperti yang kita kenal di Indonesia tetapi juga menimpa banyak sekali ilmuan besar seperti Albert Einstein. Ketika dia menemukan Teori Relativitas ini kemudian dibandingkan dan ada ilmuwan lain di Inggris yang merasa terancam karena mereka sudah kadung idola dengan Isaac Newton," tuturnya.
"Seperti itulah semua orang selalu menghadapi Ironi terutama adalah mereka yang akan menjadi jagoan atau sudah menjadi jagoan atau yang populer. Siapapun akan menghadapi hal seperti itu tetapi sekali lagi pecahkan masalah jangan menimbulkan masalah-masalah baru," ujar prof Rhenald.
Yang bisa dipelajari
Prof Rhenald mengatakan, kontroversi ini bisa dianggap sebagai pintu perubahan-- bukan hanya sekadar institusi tetapi ada persoalan yang besar lagi dalam bidang penelitian, juga dalam bidang layanan kesehatan di Indonesia.
"Kita memerlukan organisasi yang kuat tetapi juga organisasi yang mendukung bagaimana lahirnya ekosistem kesehatan di Indonesia yang sehat. Dan ekosistem itu tidak hanya terbatas pada bidang pendidikan karena sekarang pendidikan untuk melahirkan dokter ini sangat dibatasi dan banyak sekali orang yang mempunyai dana cukup besar dan ketertarikan panggilan untuk mendirikan fakultas kedokteran baru pun menunggu tapi tidak mendapatkan kesempatan," katanya.
"Jadi ekosistem ini harus kita perbaiki kemudian juga ekosistem penelitiannya. Bayangkan kalau kita menyaksikan sekarang tidak dilakukan dengan kajian ilmiah yang baik. Bila perlu libatkan mereka yang bukan berasal dari dunia kedokteran karena semua orang toh adalah pasien atau pernah menjadi pasien dan akan terus menjadi pasien jadi kita memerlukan ekosistem di bidang penelitian yang sehat dan kita kembangkan kajian-kajian yang lebih baik lagi dan tentu saja kalau ada temuan-temuan baru yang sehat dengan ekosistem yang kuat ini kita harapkan layanan kesehatan ini menjadi lebih murah," ujarnya.
Sistem manajemen dan penelitian yang baik juga, kata prof Rhenald perlu dipahami. Ia menggambarkan bagaimana efek plasebo yang menjadi topik penelitian yang sangat penting di Harvard Medical School.
"Walaupun dia tidak menyembuhkan 100%, tetapi dia bisa mengurangi efek-efek atau simptom yang merugikan," ujarnya.
"Kita perlu mempersiapkan sebuah industri kesehatan yang menyambut jumlah penduduk yang akan mencapai sembilan miliar jiwa dalam waktu dekat di seluruh dunia ini. Pada masa itu kita akan menyaksikan ada demikian banyak penyakit-penyakit baru yang bermunculan akan timbul persoalan persoalan pangan yang berdampak bagi perubahan perilaku manusia, bentuk tubuh manusia bahkan penyakit-penyakit lain yang tak pernah kita duga. Saat itu kita semua tentu sudah mengharapkan adanya industri vaksin sendiri dan tentu saja layanan kesehatan yang jauh lebih baik," pungkasnya.
Advertisement