Liputan6.com, Jakarta - Badan Wakaf Indonesia (BWI) mengungkapkan, wakaf tidak hanya bisa dilakukan oleh orang-orang kaya saja. Karena saat ini, selain tanah, wakaf juga dapat dilakukan dengan berupa uang.
Wakil Ketua BWI Yuli Yasin mengharapkan, pandangan masyarakat tentang wakaf sudah saatnya untuk diubah. Jika dulu ada anggapan hanya mereka yang tajir dan tuan tanah saja yang dapat melakukan amal jariyah ini, kini semua kalangan pun dapat menunaikannya dengan jumlah yang tidak dibatasi.
Advertisement
"Dengan Rp 2.000 juga bisa," kata dia dalam kegiatan workshop jurnalis wakaf 2022 di Bogor, Sabtu 9 April 2022.
Yuli menuturkan, potensi wakaf uang nasional sangat besar bila kesadaran masyarakat untuk melaksanakannya muncul. Bahkan potensi itu bisa menembus angka Rp 178,65 triliun hingga Rp 180 triliun.
Rinciannya, wakaf uang individu Rp 130 triliun, wakaf uang baru hasil investasi Rp 40 triliun, wakaf uang konversi CSR Rp 6,65 triliun, dan wakaf uang ASN Rp 2 triliun.
Namun potensi wakaf uang tersebut masih jauh dari pencapaiannya. Sumber BWI mencatat, pengumpulan wakaf tunai pada periode 2011-2018 berjumlah Rp 255 miliar. Angka itu meningkat pada periode 2018-2021 yang mencapai 855 miliar. Pengumpulan wakaf uang naik 235,29% dalam dua periode ini.
"Terkumpul Rp 855 miliar," ungkap wanita yang juga Wakil Ketua Komisi Perempuan Remaja dan Keluarga MUI ini.
Cara Wakaf dengan Uang
Untuk cara berwakaf dengan uang, masyarakat dapat mengakses Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) yang berjumlah 29. Yaitu enam bank umum syariah, 15 unit usaha syariah, dan delapan BPR Syari'ah.
"Cara wakaf uang semudah tersenyum. Tinggal pakai gadget, apalagi yang memiliki e-mobile banking. Tinggal mencari LKS-PWU. Nanti tinggal klik, wakaf, tinggal pilih mau BWI, Dompet Dhua'afa, atau lembaga wakaf lain. Tinggal tulis nominalnya, sampai deh (dana) wakafnya," kata dia.
"Dan pahalanya, terus mengalir walaupun kita sudah wafat. Nggak ada ceritanya kita berwakaf nunggu kita kaya dulu," dia mengimbuhkan.
Secara dasar hukum, kata dia, wakaf uang ini tertera dalam undang-undang maupun peraturan dari instansi terkait. Di antaranya dalam Fatwa MUI tanggal 11 Mei 2002 yang menyatakan bahawa wakaf uang hukumnya boleh dan UU No 41 Tahun 2004 tentang wakaf serta PP No 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaanya.
"Juga Peraturan Menteri Agama MA No 4 Tahun 2009 tentang administrasi pendaftaran Wakaf Uang. Dan Peraturan BWI No 1 Tahun 2009 tentang pedoman pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf bergerak berupa uang," terang Yuli.
Advertisement
Data Wakaf Tanah
Sementara data tanah wakaf, sumber siwak Kemenag Oktober 2021 menyebutkan, jumlah tanah wakaf sebanyak 417.193 lokasi. Dan luas tanah wakaf 55.689,19 hektar. Untuk yang sudah bersertifikat 244.643 atau 58,64%, dan belum bersertifikat 172.550 atau 41,36%.
Dari sisi penggunaan tanah wakaf, data juga menyebutkan masjid dan mushola sebanyak 72%, sekolah dan pesantren 14,5%, makam 4,4%, sosial lainnya 9,1%.
Adapun Wakil Ketua Badan Pelaksana BWI, Imam T Saptono, mengungkapkan dampak luar biasa dari adanya wakaf uang tersebut. Dia merujuk Riset Prof Murat Cizakca pada 2004, yang meneliti institusi wakaf uang di Bursa, Turki periode 1555 sampai 1823 dengan menganalisa dokumen tertulis 761 lembaga wakaf saat itu.
"Riset tersebut membuktikan bahwa ada 148 lembaga wakaf uang yang bertahan lebih dari 1 abad dan menunjukkan kinerja yang baik maka uang digunakan sebagai sumber pembiayaan usaha untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Turki," kata dia.
Imam menjelaskan, wakaf juga berperan dalam memajukan Indonesia. Hal itu terlihat dari banyaknya sekolah lembaga pendidikan ternama yang bangunannya berdiri di atas tanah wakaf. Selain sekolah, ada juga fasilitas-fasilitas publik, seperti rumah sakit yang uga tak lepas dari peranannya. Bahkan pada awal-awal kemerdekaan, Indonesia juga ditopang oleh wakaf.
"Wakaf uang 13 juta gulden Sultan Siak jelang kemerdekaan RI. Sultan Hamengkubuwono sumbang 6,5 juta gulden," ujar dia.
Pendapat Ulama Tentang Boleh Tidaknya Berwakaf Uang
Ketua Divisi Badan Wakaf Indonesia (BWI) Samsul Ma'arif mengungkapkan ada pendapat ulama yang menyatakan boleh dan tidaknya berwakaf dengan uang. Pendapat pertama menyebutkan, wakaf uang secara mutlak tidak boleh. Hal itu disampaikan Syaikh Nizham dan para ulama India, dalam kitabnya al-Fatawa al-Hindiyah, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz 2, halaman 362.
Kata Samsul, dalam kitab tersebut tertulis: وَأَمَّا وَقْفُ مَا لَا يُنْتَفَعُ بِهِ إلَّا بِالْإِتْلَافِ كَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْمَأْكُولِ وَالْمَشْرُوبِ فَغَيْرُ جَائِزٍ فِي قَوْلِ عَامَّةِ الْفُقَهَاءِ ، وَالْمُرَادُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ الدَّرَاهِمُ وَالدَّنَانِيرُ وَمَا لَيْسَ بِحُلِيٍّ -الشيخ نظام وجماعة من علماء الهند، الفتاوى الهندية، بيروت-دار الفكر، ج، 2، ص. 362
“Adapun wakaf sesuatu yang tidak bisa diambil manfaatnya kecuali dengan melenyapkannya seperti emas, perak, makanan, dan minuman maka tidak boleh menurut mayoritas fuqaha. Yang dimaksud dengan emas dan perak adalah dinar dan dirham dan yang bukan dijadikan perhiasan”.
Sementara pendapat yang membolehkan, Samsul menjelaskan, disampaikan Abu Su’ud Muhammad bin Muhammad Mushthafa al-‘Imadi al-Afandi al-Hanafi, dalam kitabnya Risalah fi Jawazi Waqf an-Nuqud, terbutan Bairut-Dar Ibn Hazm, cetakan ke-1, 1417 H/1997 M, halaman 20-21.
Dalam kitab tersebut, kata Samsul, Abu Su'ud Muhammad menulis:
وَقَدْ نُسِبَ الْقَوْلُ بِصِحَّةِ وَقْفِ الدَّنَانِيرِ إِلَى إبْنِ شِهَابٍ الزُّهْرِيِّ فِيمَا نَقَلَهُ الْإِمَامُ مُحَمَّدُ بْنُ إِسَمَاعِيلَ البُخَارِيُّ فِى صَحِيحِهِ حَيْثُ قَالَ: قَالَ الزُّهْرِيُّ: فِيْمَنْ جَعَلَ أَلْفَ دِينَارٍ فِى سَبِيلِ اللهِ وَدَفَعَهَا إِلَى غُلَامٍ لَهُ تَاجِرٍ فَيَتَّجِرُ وَجَعَلَ رِبْحَهُ صَدَقَةً لِلْمَسَاكِينِ وَالْأَقْرَبِينَ وَهَلْ لِلرَّجُلِ اَنْ يَأْكُلَ مِنْ رِبْحِ تِلْكَ الْأَلَفِ وَاِنْ لَمْ يَكُنْ جَعَلَ رِبْحَهَا صَدَقَةً لِلْمَسَاكِينِ قَالَ لَيْسَ لَهُ اَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا-
“Telah dinisbatkan pendapat yang mensahkan wakaf dinar kepada Ibnu Syihab az-Zuhri dalam riwayat yang telah dinukil Imam Muhammad bin Isma’il al-Bukhari dalam kitab Shahihnya. Ia berkata, Ibnu Syihab az-Zuhri berkata mengenai seseorang yang menjadikan seribu dinar di jalan Allah (mewakafkan). Ia pun memberikan uang tersebut kepada budak laki-lakinya yang menjadi pedagang. Maka si budak pun mengelola uang tersebut untuk berdagang dan menjadikan keuntungannya sebagai sedekah kepada orang-orang miskin dan kerabat dekatnya. Lantas, apakah lelaki tersebut boleh memakan dari keuntungan seribu dinar tersebut jika ia tidak menjadikan keuntungannya sebagai sedekah kepada orang-orang miksin? Ibnu Syihab az-Zuhri berkata, ia tidak boleh memakan keuntungan dari seribu dinar tersebut."
Advertisement