Survei: 41 Persen Milenial dan Gen Z Pilih Jadi Pengangguran daripada Tak Bahagia di Tempat Kerja

Survei yang memantau perilaku generasi milenial dan generasi Z dalam bekerja itu melibatkan responden dari Singapura.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 12 Apr 2022, 05:10 WIB
ilustrasi perempuan bekerja/Photo by Vlada Karpovich from Pexels

Liputan6.com, Jakarta - Bagi sebagian orang, memiliki pekerjaan itu ibarat jaminan keamanan. Namun, pandangan itu tak berlaku bagi sebagian milenial dan generasi Z (Gen Z) saat ini. Sebuah survei yang dilakukan Randstad Workmonitor pada 2022 menemukan bahwa 41 persen milenial dan Gen Z memilih jadi pengangguran dibandingkan tidak bahagia di tempat kerja.

Salah satunya ditunjukkan oleh Yaw, seorang lulusan jurusan hukum yang sempat bekerja penuh dua tahun lalu. Meski kini berstatus pengangguran, ia mengaku tak merasa terganggu.

Kepada AsiaOne, dikutip Senin (11/4/2022), Yaw mengatakan secara khusus gambaran pihak yang mempekerjakannya di masa depan. Dia juga ingin memiliki keseimbangan hidup antara bekerja dan kehidupan pribadi.

"Aku pikir perlu ada penyesuaian keseimbangan kerja dan hidup yang ditawarkan perusahaan," ujarnya.

Selama menganggur, Yaw yang berkebangsaan Malaysia dan lulus pada 2019 itu kini mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian pengacara Malaysia. Ia juga mengajar biola paruh waktu.

Ia mengakui bahwa beberapa dari generasinya mencari pekerjaan dan belajar hal baru sepanjang proses berjalan. "Namun, ada beberapa masalah tercipta di tempat kerja yang tidak ditangani secara serius yang membuat kami ingin keluar dari pekerjaan," ia menambahkan.

Walau generasi lebih tua menganggap keputusan Yaw kurang bertanggung jawab, ia tak sendirian berpikir demikian. Yaw yang kini berusia 25 tahun termasuk dalam golongan Milenial-Gen Z, yakni mereka yang lahir di masa peralihan kaum milenial dan Gen-Z.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Berani Menganggur

ilustrasi malas berpikir menyebabkan sistem kinerja otak menurun/pexels

Menurut survei terbaru Randstad, lebih dari setengan responden generasi milenial dan Gen Z mengaku akan keluar dari pekerjaan yang melarang mereka menikmati hidup. Ini berarti banyak orang yang lebih muda tidak akan mengambil lowongan yang ada bila tak sesuai dengan ekspektasi mereka.

"Mereka sangat ingin menjauh dari satu jika [pekerjaan] mengganggu cara mereka ingin menjalani hidup," kata survei itu.

Survei itu melibatkan 35 ribu pekerja dari 34 negara. Survei itu menunjukkan bahwa 41 persen responden dari generasi yang lebih uda, yakni milenial dan Gen Z, mengklaim akan keluar dari pekerjaan yang memicu konflik di kehidupan pribadi mereka.

Laporan yang dikumpulkan secara online kepada responden berusia 18--67 tahun itu juga melibatkan responden dari Singapura. Salah satu temuan yang menarik adalah 52 persen dari pekerja di Singapura mengatakan mereka akan keluar dari pekerjaannya bila hal itu membatasi mereka dari menikmati hidup.


Temuan Lain

Ilustrasi bekerja, bercanda bersama teman di kantor. (Photo by Brooke Cagle on Unsplash)

Laporan juga menyebutkan, 62 persen responden memilih untuk tidak bekerja sama sekali jika tak bermasalah dengan keuangan. Sementara, 41 persen mengatakan mereka lebih suka menganggur daripada tidak bahagia dalam pekerjaan.

Sebanyak 56 persen setuju bahwa kehidupan pribadi mereka lebih penting daripada kehidupan kerja mereka. Sementara, 80 persen mengatakan bahwa fleksibilitas dalam hal jam kerja itu penting. Sebanyak 27 persen di antaranya mengatakan mereka telah berhenti dari pekerjaan karena tidak memberikan fleksibilitas yang cukup.

Di sisi lain, banyak milenial dan gen Z memiliki kemampuan manajemen keuangan yang payah. Influencer sekaligus investment storyteller Felicia Putri Tjiasaka menyebut hal itu akibat gaya hidup yang cenderung lebih boros, sulit menabung, serta tidak terlalu mempedulikan investasi untuk kebutuhan mendatang.

"Ada beberapa faktor yang membuat kaum milenial dan gen Z ini boros dan sulit menabung, seperti akses internet yang memperbolehkan kita melihat dunia yang lebih luas dan juga e-commerce yang mendemokratisasi pembelian barang antarkota, provinsi dan bahkan negara," tutur Felicia, dikutip dari laman Jateng Liputan6.com.

"Dengan dua kemudahan ini, milenial dan Gen Z cenderung lebih banyak mau dan kemudian boros," imbuhnya, dikutip Antara.  


Mindful Living

Ilustrasi dedikasi dan kerja keras (Gambar oleh Firmbee dari Pixabay)

Ia melanjutkan, tren seperti FOMO (Fear of Missing Out), YOLO (You Only Live Once) yang marak di media sosial, serta tantangan menjadi generasi sandwich pun membelenggu banyak generasi muda. Situasi itu membuat mereka lebih sulit mengatur pemikiran dan psikologis meski mereka cenderung lebih paham dan teredukasi dengan investasi terkini.

"Mungkin karena faktor usia yang masih muda dan belum melewati banyak krisis ekonomi. Oleh karena itu, Gen Z dan milenial perlu belajar menahan diri terhadap godaan sesaat, memperbaiki mindset investasi dengan menghargai proses dan juga belajar untuk konsisten," kata Felicia.

"Salah satu cara untuk memastikan keuangan yang sehat serta masa depan finansial aman adalah dengan hidup secukupnya, membuat anggaran harian, bulanan, dan tentunya memiliki tabungan plus dana darurat," tambahnya.

Olga mengimbau agar generasi muda lebih menerapkan mindful living. Menurutnya, gaya hidup minimalis bukan serta merta tentang memakai baju warna monokrom dan memiliki sedikit barang, tetapi kesadaran untuk mengenal kebutuhan diri sendiri, melepas keterikatan yang tidak diperlukan, dan hadir dalam setiap pengambilan keputusan.

"Dengan begitu, setiap pengeluaran menjadi lebih bijaksana dan setiap pemasukan senantiasa memberikan rasa cukup. Dengan rasa cukup, kita jadi tidak mudah merasa iri dengan kehidupan orang lain yang kita lihat dari media sosial," jelasnya.

Infografis Gen Z Dominasi Penduduk Indonesia (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya