Mengenal Arti Klitih, Semula Bermakna Positif tapi Bergeser Negatif

Sosiolog Kriminalitas Universitas Gadjah Mada (UGM) Soeprapto menjelaskan bahwa klitih diambil dari bahasa Jawa yang artinya kegiatan untuk mengisi waktu luang yang bersifat positif. Misalnya, seorang ibu menjahit, membaca koran, cerpen, dan sebagainya.

oleh Muhamad Husni Tamami diperbarui 12 Apr 2022, 02:30 WIB
Ilustrasi klitih. Foto: Pixabay dari Pexels.

Liputan6.com, Yogyakarta - Aksi klitih yang umumnya dilakukan oleh kelompok pelajar sejatinya harus segera dituntaskan. Fenomena klitih di Yogyakarta sudah bukan lagi masalah sosial baru di masyarakat.  

Bicara soal klitih yang tiada hentinya hingga kini memang menarik untuk dibahas. Meskipun warga Yogyakarta sudah tidak asing dengan istilah klitih, namun tidak untuk mereka yang di luar Jawa. Kadang kala timbul pertanyaan tentang arti klitih ketika mendengar berita-berita yang berseliweran di lini masa.

Sosiolog Kriminalitas Universitas Gadjah Mada (UGM) Soeprapto menjelaskan bahwa klitih diambil dari bahasa Jawa yang artinya kegiatan untuk mengisi waktu luang yang bersifat positif. Misalnya, seorang ibu menjahit, membaca koran, cerpen, dan sebagainya.

Namun, seiring berjalannya waktu ada pergeseran makna klitih, yang tadinya mengandung makna positif kini cenderung negatif. Hal ini setelah remaja yang masih usia pelajar mengadopsi arti klitih sebagai kegiatan mencari musuh.

“Pada tahun 2007, 2008, 2009, itu pemerintah menegaskan pada sekolah-sekolah bahwa kalau ada pelajar terlibat tawuran maka ia akan dikenai sanksi dikembalikan kepada orang tua. Apakah ujungnya itu skorsing atau dikeluarkan,” kata Seoprapto dikutip dari YouTube UGM Channel, Selasa (12/4/2022).

Sejak saat itu pelajar yang sadar tujuan sekolahnya adalah menuntut ilmu tidak lagi dengan mudah diajak tawuran.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:


Pelajar Senasib Membuat Geng

Dua terduga pelaku klitih di Gunungkidul nyaris jadi bulan-bulanan massa. (Foto: Liputan6.com/Hendro Ary Wibowo)

Sementara itu, pelajar yang di rumahnya tidak merasa bahagia, ada rasa kecewa, dan di masyarakat juga tidak ada sesuatu yang membuatnya senang, mereka cenderung melampiaskan dengan menghalalkan segala cara untuk menyembuhkan kekecewaan mereka.

“Kemudian mengajak teman-temannya yang mempunyai kondisi yang sama untuk berkeliling sepeda motor, mencari musuh yang juga sama-sama pelajar,” terangnya.

Pelajar yang memiliki nasib sama itu kemudian membuat geng dengan struktur yang jelas. Ada ketua hingga anggotanya yang siap menuruti sosok yang dipimpinnya. Mereka kemudian melakukan aksi-aksi klitihnya yang sering kali meresahkan masyarakat.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya