Liputan6.com, Jakarta - Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan, Indonesia memiliki regulasi yang memadai dalam memberikan perlindungan dan memastikan kesetaraan gender pada perempuan, khususnya para perempuan yang bekerja. Payung hukumnya mulai dari konstitusi-konvensi PBB hingga konvensi ILO.
Ida Fauziyah menjelaskan, terdapat tiga kebijakan pemerintah dalam menciptakan dan keadilan, perlindungan serta kesetaraan gender bagi pekerja perempuan Indonesia. Antara lain kebijakan yang bersifat protektif, korektif dan non diskriminatif.
Advertisement
"Pertama kebijakan yang bersifat protektif, yaitu kebijakan pemerintah yang memberikan perlindungan bagi pekerja perempuan terkait fungsi reproduksinya," ungkap dia dalam keterangan tertulis, Selasa (12/4/2022).
Seperti istirahat haid, istirahat satu setengah bulan sebelum melahirkan dan satu setengah bulan sesudah melahirkan, istirahat gugur kandungan, kesempatan menyusui, dan larangan mempekerjakan perempuan yang hamil pada shift malam yang membahayakan keselamatan dan kesehatan," paparnya.
Sementara kebijakan yang bersifat korektif yakni dalam melarang perusahaan melakukan Pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi pekerja perempuan karena alasan menikah, hamil atau melahirkan.
Selain itu, kebijakan korektif ini juga mewajibkan perusahaan untuk memberikan perlindungan bagi pekerja perempuan yang bekerja pada malam hari dan perlindungan bagi yang bekerja di luar negeri.
"Kemudian ada kebijakan yang bersifat non-diskriminatif. Kebijakan ini berupa perlindungan bagi pekerja perempuan terhadap praktek diskriminasi dan ketidakadilan gender di tempat kerja," kata Ida.
"Mulai dari proses perekrutan sampai dengan pelaksanaan kerja di tempat kerja, pelatihan dan promosi kerja, perlindungan jaminan kerja dan ketenagakerjaan serta jaminan pensiun," tandasnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pekerja Perempuan Banyak Terima Ketidakadilan saat Pandemi
Sebelumnya, percepatan dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi perempuan, menjadi salah satu isu prioritas yang dibahas dalam Group of Twenty (G20) EMPOWER Presidensi Indonesia.
Hal tersebut sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) yang diadopsi dari pertemuan Beijing Declaration and Platform for Action (BDPfA) 1995 dan Brisbane Goals 2014.
Untuk membahas isu tersebut, G20 Empower menggelar 1st Side Event dengan tema "Creating Safer Workplace for Women Post Covid-19 Pandemic”.
Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Ida Fauziyah mengatakan, khususnya di masa pandemi dan disrupsi digital, membuat perempuan berisiko lebih tinggi terhadap upah rendah dari pekerjaan di sektor informal dengan bentuk pekerjaan non-standar yang berisiko dan tidak aman.
"Indonesia percaya dengan memajukan kesetaraan gender akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, khususnya untuk perkembangan perekonomian G20," ujar Menaker Ida Fauziyah, Rabu (30/3/2022).
Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian PPPA, Lenny N. Rosalin, mengungkap fakta bahwa kekerasan juga meningkat berkali lipat pada masa pandemi.
Lenny mengutip data global yang menunjukkan bahwa kasus kekerasan telah bertambah sebanyak 31 juta kasus pada 6 bulan pertama pandemi dan semakin bertambah sampai pada angka 15 juta kasus per tiap 3 bulan selanjutnya.
“Ini menjadi tantangan bersama mengingat partisipasi angkatan kerja perempuan berada pada angka yang rendah, bahkan sebelum pandemi. Data global menunjukkan bahwa TPAK perempuan berada pada angka rata-rata 47 persen jauh di bawah laki-laki yang berada pada angka 72 persen,” jelas Lenny.
Lebih lanjut, Lenny menambahkan, kekerasan terjadi secara massif di tempat kerja selama pandemi baik kepada perempuan yang bekerja offline maupun online. Pelaku kekerasan bisa berasal dari konsumen dan pengguna jasa yang merasa tidak nyaman akibat layanan yang terganggu akibat pandemi, juga marak dilakukan oleh atasan dan rekan kerja.
Advertisement
Menciptakan Tempat Lebih Aman
Sementara itu, Co- Chair G20 EMPOWER, Rinawati Prihatiningsih menjelaskan, keseluruhan sesi diskusi kali ini bertujuan untuk membahas lebih jauh mengenai bagaimana pemerintah menavigasi tantangan dan peluang untuk meningkatkan kebijakan dan regulasi secara keseluruhan, tentang pemberdayaan perempuan dengan menciptakan tempat yang lebih aman untuk bekerja terutama setelah pandemi global.
"Diskusi ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi bagaimana negara-negara anggota G20 EMPOWER dapat mendukung dan terlibat langsung secara kolaboratif, baik antara swasta dan pemerintah untuk mendukung pemberdayaan gender di lingkungan kerja, khususnya di tengah-tengah pekerja perempuan," jelasnya.
Pada sesi pertama, dibahas mengenai kesenjangan terkait indikasi kesetaraan gender yang semakin memburuk selama terjadinya pandemi secara global. Pandemi Covid-19 ternyata berimplikasi signifikan bagi perempuan, terutama di lingkungan kerja. Menurut laporan dari ILO pada 2021, saat pandemi, perempuan menghadapi kesulitan yang lebih signifikan, salah satunya risiko kehilangan pekerjaan yang lebih tinggi.
Selain itu, terjadi peningkatkan pekerjaan pada bidang perawatan yang tidak dibayar. Buruknya lagi, terdapat paparan diskriminasi dan kekerasan yang lebih besar di tempat kerja.
"Selama Covid-19 di sepanjang 2020, sekitar 41 persen perempuan dipekerjakan dalam bidang pekerjaan yang berisiko tinggi. Risiko yang dimaksudkan di sini termasuk dalam dampak terhadap kehilangan pekerjaan hingga pengurangan jam kerja," kata perempuan yang juga menjadi perwakilan Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) dalam G20 EMPOWER itu.