Resmikan RUU TPKS Jadi Undang-Undang, Puan Maharani Sempat Teteskan Air Mata

Puan Maharani sempat meneteskan air mata saat mengesahkan RUU TPKS menjadi Undang-Undang

oleh Diviya Agatha diperbarui 12 Apr 2022, 14:35 WIB
Ilustrasi Ketua DPR 2019-2024, Puan Maharani, saat mensahkan RUU TPKS menjadi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua DPR RI Puan Maharani pada Selasa, 12 April 2022, memimpin jalannya Rapat Paripurna DPR ke-19. Salah satu hal yang menjadi pembahasan adalah pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).

Seperti diketahui, pengesahan RUU TPKS telah melibatkan perjalanan panjang sejak 2016 sebelum akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang. Puan Maharani pun terlihat meneteskan air mata saat menyampaikan keterangan saat mengesahkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini.

"Kami berharap bahwa implementasi dari undang-undang ini nantinya akan dapat menghadapi dan menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual, perlindungan perempuan dan anak yang ada di Indonesia," ujar Puan Maharani pada Selasa, (12/4/2022)

Sebelumnya, Puan Maharani juga sempat menyebutkan bahwa pengesahan RUU TPKS merupakan hadiah bagi perempuan di Indonesia. Pada kesempatan inilah, Puan mulai meneteskan air mata.

"Pengesahan RUU TPKS menjadi undang-undang menjadi hadiah bagi seluruh perempuan Indonesia. Apalagi menjelang diperingatinya Hari Kartini," kata Puan.

"Ini juga hadiah bagi seluruh rakyat Indonesia dan kemajuan bangsa kita, karena UU TPKS adalah hasil kerja sama bersama sekaligus komitmen bersama kita," Puan menambahkan.

Bahkan, lewat disahkannya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual hari ini, Puan juga mengajak seluruh perempuan Indonesia untuk terus semangat.

"Oleh karenanya, perempuan Indonesia tetap dan harus selalu semangat. Merdeka," ujar Puan.

Puan pun kemudian mulai meneteskan air mata kembali saat mengucapkan terima kasih pada Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, I Gusti Ayu Bintang Darmawati serta seluruh jajarannya.

"Melalui forum ini sekali lagi kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya pada saudari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta jajarannya," kata Puan.


Perjalanan panjang sejak 2016

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati (kanan) didampingi Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej saat rapat pembahasan RUU TPKS di Gedung Nusantara I, Jakarta, Rabu (6/4/2022). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengungkapkan bahwa jerih payah pengesahan RUU TPKS sudah dilakukan sejak tahun 2016 lalu.

"Dengan seluruh jerih payah, waktu dan tenaga yang telah kita curahkan, diiringi perjalanan panjang para korban dan masyarakat sipil pendamping korban sejak tahun 2016," ujar I Gusti Ayu.

I Gusti Ayu juga menjelaskan bahwa pada tahun 2019 lalu, sudah sempat berlangsung beberapa rapat pembahasan RUU TPKS antara panitia kerja DPR RI dan panitia kerja pemerintah.

Namun kala itu, pembahasan tidak masuk dalam pengambilan keputusan tingkat pertama. RUU TPKS kemudian masuk dalam prolegnas prioritas 2020 hingga berlanjut pada 2021.

"Hadirnya undang-undang ini nantinya merupakan wujud nyata kehadiran negara dalam upaya mencegah segala bentuk kekerasan seksual," kata I Gusti Ayu.

"Menangani, melindungi, dan memulihkan korban. Melaksanakan penegakan hukum, merehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual serta menjamin ketidakberulangan terjadinya kekerasan seksual," dia menambahkan.


Persoalan traumatis

Buruh perempuan memegang poster saat menggelar aksi di depan gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (8/3/2022). Mereka menuntut dibatalkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja dan mendesak agar RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) segera disahkan oleh DPR RI. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Menurut I Gusti Ayu, kekerasan seksual merupakan salah satu pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Serta, suatu bentuk kejahatan dan diskriminasi yang harus dihapuskan.

"Kekerasan seksual yang semakin marak terjadi di masyarakat sesungguhnya memiliki dampak serius bagi korban berupa penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik," ujar I Gusti Ayu.

"Dampak kekerasan seksual dapat mempengaruhi hidup korban dan masa depan korban. Penderitaan berlapis akan dialami oleh korban, kelompok masyarakat yang marginal secara ekonomi, sosial, dan politik atau mereka yang memiliki kebutuhan khusus seperti anak dan penyandang disabilitas," I Gusti Ayu menjelaskan.

Terlebih, ia pun menjelaskan bahwa undang-undang yang mengatur kekerasan seksual juga hingga kini masih terbatas. Serta belum sepenuhnya dapat merespons fakta kekerasan seksual yang terjadi dan berkembang di masyarakat.

"Proses penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan terhadap perkara kekerasan seksual juga masih belum memperhatikan hak korban dan cenderung menyalahkan korban," kata I Gusti Ayu.

Maka berkaitan dengan hal tersebutlah, diperlukan undang-undang khusus yang mengatur tindak pidana kekerasan seksual seperti RUU TPKS.


Sempat ditolak Fraksi PKS

MPR : Jadikan kecurangan Pemilu sebagai musuh bersama (foto: dok. MPR)

Mengutip News Liputan6.com, pengesahan RUU TPKS sebelumnya sempat ditolak oleh anggota fraksi PKS Almuzzammil Yusuf. Menurutnya, RUU TPKS belum memasukan secara lengkap jenis tindak pidana kesusilaan yang lengkap.

Seperti Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Perzinaan, dan Penyimpangan Seksual. Sehingga pembahasan RUU TPKS ini TIDAK menggunakan satu paradigma yaitu Kekerasan Seksual saja.

"Norma perzinaan dalam KUHP bermakna sempit sehingga tidak bisa menjangkau perbuatan zina yang dilakukan oleh pasangan yang keduanya belum terikat perkawinan dengan pihak lain," kata Almuzzammil pada Rabu, 6 April 2022 lalu.

Fraksi PKS juga mengusulkan untuk memasukan larangan hubungan seksual berdasarkan orientasi seksual yang menyimpang (LGBT)/Penyimpangan Seksual dalam RUU TPKS, dengan mengakomodasi pemidanaan bagi pelaku penyimpangan seksual baik dilakukan terhadap anak maupun dewasa.

"Mengingat adanya kekosongan hukum perihal pengaturan LGBT di Indonesia, karena tidak ada satupun hukum positif Indonesia yang secara eksplisit-normatif melarang perilaku LGBT, maka pembentuk undang-undang perlu segera mengaturnya," kata dia.

Infografis Tarik Ulur dari RUU PKS hingga RUU TPKS. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya