Liputan6.com, Kolombo - Perdana Menteri Sri Lanka Mahinda Rajapaksa menyerukan diakhirinya protes yang minta pengunduran dirinya karena penanganan krisis ekonomi terburuk di negara itu dalam beberapa dekade.
Para pengunjuk rasa terus menduduki pintu masuk kantor presiden untuk hari ketiga, menuntut pengunduran dirinya.
Baca Juga
Advertisement
Dalam pidato yang disiarkan televisi kepada rakyat negara itu, Mahinda Rajapaksa menyalahkan krisis ekonomi negara itu pada pandemi virus corona, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Rabu (13/4/2022).
“Saya yakin sekarang Anda semua sangat menyadari krisis ekonomi yang mendalam yang telah menimpa negara kita setelah perjuangan untuk menjaga warga kita agar aman dari pandemi virus corona. Meskipun kita memastikan keselamatan nyawa orang dari pandemi, kita tidak dapat menghindari terperosok ke dalam jurang ekonomi ini," katanya.
Rajapaksa mengatakan pemerintahnya meluncurkan rencana untuk membangun kembali Sri Lanka.
Negara ini berada di ambang kebangkrutan, dibebani dengan cadangan devisa yang semakin menipis dan utang luar negeri sebesar US$ 25 miliar.
Pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional diharapkan terjadi pada akhir bulan ini, dan pemerintah telah berpaling ke China dan India untuk pinjaman darurat guna membeli makanan dan bahan bakar.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Krisis Makin Meningkat
Ribuan warga Sri Lanka dan pemuka agama Kristen berunjuk rasa di Ibu Kota, Kolombo pada Sabtu (9/4). Mereka menganggap presiden di yang terjerat utang itu agar negara diri.
Para pengunjuk rasa, sambil membawa bendera dan poster, menyebut Presiden Gotabaya Rajapaksa dan pemerintahannya tidak menangani krisis utang.
Rajapaksa tetap menolak diri, meski sebagian besar anggota kabinetnya berhenti dan sebagian anggota parlemen yang setia, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Senin (10/4/2022).
Perkembangan itu telah mempersempit upayanya untuk berunding dengan para institusi pemberi kredit internasional.
Selama beberapa bulan, warga Sri Lanka mengantre untuk membeli bensin, gas, makanan dan obat-obatan.
Negara itu sedang menghadapi kebangkrutan, terjerat utang asing sebesar 25 miliar dolar atau lebih dari 359 triliun rupiah dalam lima tahun ke depan.
Advertisement
Pengganti Gubernur Bank Sentral Sri Lanka yang Mundur Gara-gara Negaranya Krisis
Bank Sentral Sri Lanka akan menunjuk pimpinan baru di tengah kondisi negara itu menghadapi krisis ekonomi terburuk dalam lebih dari 70 tahun. P Nandalal Weerasinghe akan mengambil posisi Gubernur Bank Sentral Sri Lanka.
Itu terjadi setelah Kepala Bank Sentral Sri Lanka sebelumnya, Ajith Nivard Cabraal mengundurkan diri, di tengah protes massa atas meningkatnya biaya hidup dan pemadaman listrik.
Bank Sentral negara ini juga telah menunda keputusan suku bunga karena pembuat kebijakan mencoba menstabilkan mata uang negara.
Bank Sentral Sri Lanka belum membuat pengumuman resmi tentang penunjukan Weerasinghe. Namun juru bicara bank sentral mengatakan kepada BBC, mereka sedang menunggu konfirmasi dari presiden negara itu.
Berbicara melalui telepon dari Australia, Weerasinghe mengatakan bahwa dia telah ditawari peran tersebut dan telah menerimanya.
"Saya akan mengambil posisi gubernur bank sentral begitu saya kembali ke Sri Lanka pada 7 [April]," katanya.
Namun, dia menolak berkomentar tentang rencananya untuk ekonomi yang dilanda krisis Sri Lanka atau kapan keputusan tentang suku bunga akan dibuat. "Saya harus kembali dan melihat bagaimana kelanjutannya," kata Weerasinghe.
"Tapi saya sudah mulai bekerja," tambahnya.
Mr Weerasinghe adalah deputi gubernur bank dari September 2012 dan meninggalkan peran delapan tahun kemudian. Dia saat ini berbasis di Australia, di mana dia bekerja sebagai konsultan independen.
Kepala Bank Sentral Resign
Pada hari Senin, Gubernur Bank Sentral Sri Lanka Ajith Nivard Cabraal mengundurkan diri mengekor semua menteri kabinet negara itu mengundurkan diri.
Para pengunjuk rasa yang marah juga telah menyerukan agar perdana menteri dan presiden negara itu mundur.
Negara kepulauan berpenduduk sekitar 22 juta orang ini menderita krisis ekonomi paling serius sejak kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948.
Seharusnya, Bank sentral membuat keputusan perihal suku bunga pada hari Selasa tetapi pada Senin malam menunda pengumuman tanpa memberikan tanggal baru untuk acara tersebut.
Analis mengharapkan bank untuk secara signifikan menaikkan suku bunga utama karena upaya untuk menstabilkan rupee Sri Lanka dan mengekang melonjaknya tingkat inflasi negara itu.
Murtaza Jafferjee, Ketua Lembaga think-tank Advocata Institute di ibu kota Sri Lanka, Kolombo, mengatakan dia memperkirakan suku bunga akan meningkat setidaknya tiga poin persentase pada pertemuan kebijakan moneter bank berikutnya.
"Kami saat ini menghadapi krisis kepercayaan besar-besaran. Seorang menteri keuangan baru, gubernur bank sentral dan sekretaris perbendaharaan dipersilakan," kata Jafferjee kepada BBC.
"[Tapi] dengan publik melampiaskan banyak kemarahan pada presiden, orang tidak yakin bagaimana tim ekonomi baru dapat menstabilkan kapal jika kemarahan publik tidak diredakan," jelas dia.FOTO: Bentrokan Mahasiswa dan Polis
Advertisement