Liputan6.com, Jakarta Kemenkumham akan merevisi Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 20 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Menkumham Yasonna H Laoly mengatakan, revisi peraturan ini guna meningkatkan pendapatan para pemilik hak cipta lagu atau musik dan hak terkait.
Baca Juga
Advertisement
Potongan royalti akan kembali menjadi 20 persen sehingga pemilik Hak Cipta akan memperoleh royalti sebesar 80 persen secara utuh. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.
"Kalau kita lihat, mungkin waktu musisi masih jaya-jayanya, top. Tapi di masa tuanya, ada yang berobat saja susah. Makanya supaya sampai tua bisa dinikmati juga hasilnya sekarang pendaftaran hak cipta itu kita perjuangkan," ucap Yasona saat kegiatan Yasonna Mendengar, Selasa (12/4/2022).
Ia mencontohkan beberapa kasus lagu yang diciptakan beberapa musisi Indonesia diklaim oleh negara lain. Hal ini tentu sangat merugikan bagi sang pencipta lagu itu sendiri.
"Di Malaysia banyak yang mengklaim seperti itu, lagu-lagu bergenre Melayu. Itu sebabnya para pencipta lagu harus sadar betul mengenai hak cipta ini," jelas Yasonna.
Selain soal potongan royalti, poin lainnya yang akan direvisi dalam Permenkumham ini adalah mengenai pengelolaan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
"Dari situ kami menyusun kepengurusan LMKN yang baru. Supaya tidak bertengkar, kita fasilitasi antara kelompok elemen hak cipta dengan hak terkait," kata Yasonna.
Ada Tim Pengawas LMKN
Yasonna menuturkan, nantinya akan ada tim pengawasan yang dibentuk untuk mengaudit kinerja LMKN.
Sebelumnya, yang duduk sebagai pengawas adalah unsur kementerian saja, namun kini pihak-pihak yang terkait dengan pencipta, pihak terkait dan pakar musik serta pemerintah akan ikut terlibat.
Berikutnya, peraturan turunan ini juga akan mengatur pelaksana harian LMKN.
Pelaksana ini berlaku sebagai koordinator pelaksanaan, penarikan, dan pendistribusian royalti. Di dalamnya akan mencakup ahli bidang keuangan, hukum, lisensi, dokumentasi, teknologi informasi, kesekretariatan, dan bidang lain yang dianggap perlu.
Sebagai informasi, Kemenkumham telah mencanangkan tahun 2022 sebagai Tahun Hak Cipta Nasional. Bahkan saat ini telah diluncurkan POP HC (Persetujuan Otomatis Pencatatan Hak Cipta) yang mempercepat proses pencatatan hanya kurang dari 10 menit.
Pencanangan digelar perdana di Medan, Sumatera Utara pada Selasa kemarin, yang bertajuk Yasonna Mendengar.
Hal ini guna mengatasi permasalahan hak kekayaan intelektual (KI), yang berpotensi menghambat pelindungan dan pemanfaatan KI.
Advertisement
Rugikan Pekerja Kreatif
Tarik ulur pengelolaan royalti lagu dan musik di tanah air tak kunjung menemukan titik terang. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56/2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik justru memunculkan ladang pertempuran baru. Pekerja kreatif pun kembali menjadi korban.
"Kami tentu prihatin dengan perkembangan baru terkait pengelolaan royalti lagu dan musik di tanah air. PP 56/2021 yang kita harapkan jadi payung hukum yang menegakkan hak-hak pekerja kreatif di industri musik kini malah melahirkan bibit sengketa yang malah merugikan para musisi dan pencipta lagu," ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda, Rabu (3/11/2021).
Dia menjelaskan, lahirnya PP 56/2021 tentang pengelolaan hak cipta lagu dan musik memang memberikan harapan baru bagi perlindungan hak kekayaan intelektual dari musisi serta pencipta lagu.
Dalam PP tersebut jelas disebutkan kewajiban bagi semua pihak yang menggunakan lagu dan musi sebagai layanan publik bersifat komersial harus membayarkan royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait.
"Dalam PP tersebut bahkan disebutkan jenis-jenis layanan publik bersifat komersil yang harus membayar royalti. Tentu ini memunculkan euphoria bagi pemilik hak cipta yang selama ini kerap dirugikan karena begitu brutalnya pelanggaran hak cipta di tanah air," katanya.
Picu Konflik Kepentingan
Dalam perkembangannya, kata Huda, PP 56/2021 ternyata memunculkan masalah baru. Hal ini seiring pembentukan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang menjadi amanat PP 56/2021.
LMKN diberikan otoritas menarik royalti untuk kepentingan pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait yang telah menjadi anggota maupun yang belum menjadi anggota suatu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
"Fungsi penarikan royalty ini sebelumnya dilakukan oleh LMK bentukan para musisi maupun pencipta lagu yang bersifat independen. Dengan adanya LMKN yang dibentuk oleh pemerintah melalui Kemenkumham maka terjadi sentralisasi kewenangan yang justru rentan memicu polemik baru," katanya.
Huda menilai hampir pasti benturan kepentingan antara LMKN dan LMK akan terjadi karena adanya aturan 20% dari besaran royalti yang dikumpulkan dari publik digunakan untuk pembiayaan manajemen kolektif.
Menurutnya 20% bagian dari royalti ini cukup besar. Sebagai gambaran jika ada Rp 100 miliar yang bisa dikumpulkan, maka berarti ada Rp20 miliar yang harus disisihkan untuk manajemen kolektif.
"Besaran bagian untuk menajamen kolektif ini pasti akan potensial memicu konflik kepentingan. Apalagi jika ada dua entitas yang mempunyai peran mirip dalam hal ini LMKN dan LMK," katanya.
Advertisement