Liputan6.com, Jakarta - Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menurunkan perkiraan pertumbuhan perdagangan global tahun 2022 ini menjadi 3 persen dari 4,7 persen karena dampak perang Rusia Ukraina.
Badan yang berbasis di Jenewa itu juga memperingatkan potensi krisis pangan yang disebabkan oleh lonjakan harga.
Advertisement
"Gema ekonomi dari konflik (Rusia Ukraina) ini akan meluas jauh melampaui perbatasan Ukraina," kata Direktur Jenderal WTO, Ngozi Okonjo-Iweala dalam sebuah konferensi pers, dikutip dari US News, Rabu (13/4/2022).
Laporan dari pengawas perdagangan global mengatakan bahwa konflik, yang sekarang sudah memasuki minggu ketujuh, telah merusak ekonomi dunia pada titik kritis ketika pandemi Covid-19, dan lockdown China secara khusus terus membebani pemulihan.
"Sekarang jelas bahwa pukulan ganda dari pandemi dan perang telah mengganggu rantai pasokan, meningkatkan tekanan inflasi dan menurunkan ekspektasi untuk output dan pertumbuhan perdagangan," ujar Ngozi Okonjo-Iweala.
Sementara itu, WTO memperkirakan pertumbuhan perdagangan global pada 2023 akan naik hingga 3,4 persen, mencatat bahwa perkiraan 2022 dan 2023 kurang pasti dari biasanya karena ketidakpastian dari konflik/masalah geopolitik.
Okonjo-Iweala juga memperingatkan potensi krisis pangan karena gangguan ekspor dari Ukraina dan Rusia.
Diketahui bahwa kedua negara tersebut merupakan pemasok utama biji-bijian dan komoditas lainnya, dimana habatan ekspor dapat berdampak pada pasokan di negara-negara miskin, termasuk sekitar 35 importir Afrika.
"Inilah mengapa kita perlu bertindak dan bertindak tegas dalam masalah pangan ini untuk menghindari masalah pangan," kata Ngozi Okonjo-Iweala, mengutip perlunya sistem pemantauan yang lebih transparan dan potensi pelepasan stok penyangga untuk menurunkan harga.
WTO Desak Negara-negara di Dunia Tetap Berkomitmen pada Sistem Perdagangan Multilateral
Dengan konflik Rusia-Ukraina yang masih berlangsung, Dirjen WTO, Ngozi Okonjo-Iweala mendesak negara-negara di dunia untuk tetap berkomitmen pada sistem perdagangan multilateral untuk mencegah risiko perpecahan.
"Saya pikir biaya ekonomi global akan cukup signifikan jika kita melakukan itu," katanya.
Sementara itu, Kepala ekonom WTO Robert Koopman mengatakan ada "situasi yang sangat sulit dalam ekonomi dunia" tetapi mengatakan perdagangan tetap tangguh dan bahwa peringatan akan berakhirnya globalisasi tidak berdasar.
"Sejauh ini belum ada bukti reshoring," jelas Koopman.
Beberapa waktu lalu, negosiasi perdagangan di WTO di Jenewa mengalami hambatan ketika negara Barat menolak untuk terlibat dengan Rusia.
Hal ini terjadi sebagai kecaman oleh sejumlah negara Barat atas operasi militer Rusia di Ukraina.
Masalah ini pun membuat para delegasi perdagangan khawatir pertemuan para menteri perdagangan yang dijadwalkan pada 13 Juni mendatang, dan sudah dua kali ditunda karena Covid-19, akan gagal menghasilkan kesepakatan.
"Ada anggota WTO yang tidak mau bernegosiasi dengan Rusia," kata Hamid Mamdouh, mantan pejabat WTO dan pengacara perdagangan di Jenewa, dikutip dari US News.
"Semakin lama perang berlangsung, semakin mengganggu pekerjaan WTO," ungkapnya.
Advertisement
Negosiasi Perdagangan WTO di Berbagai Sektor Terhambat
Seorang delegasi dari negara Barat menyebutkan negara yang enggan terlibat dengan Rusia di WTO termasuk Uni Eropa, Amerika Serikat, Kanada dan Inggris.
Namun, sumber itu tidak menanggapi permintaan resmi untuk memberikan komentar lebih lanjut.
"Kami menolak untuk terlibat secara bilateral atau dalam konteks kelompok yang lebih kecil," kata sumber tersebut.
Enggannya sejumlah negara untuk terlibat dengan Rusia di WTO sejauh ini mempengaruhi negosiasi perikanan, pertanian serta e-commerce dan fasilitasi investasi, demikian menurut sumber di WTO.
Adapun juru bicara WTO Keith Rockwell yang mengungkapkan, ada "banyak negara yang telah mengajukan keberatan atas apa yang terjadi di Ukraina dan keberatan ini telah terwujud dengan kurangnya keterlibatan anggota yang bersangkutan".
Jauh sebelum konflik Rusia-Ukraina, WTO sudah menghadapi beberapa hambatan dalam membuat kesepakatan perdagangan global besar.
"Efek kumulatif (dari masalah) bisa membawa WTO ke titik puncaknya," kata Hamid Mamdouh, mantan pejabat WTO.
Pertemuan delegasi dan menteri perdagangan dari seluruh dunia di WTO biasanya berlangsung setiap dua tahun tetapi ditunda pada 2020 hingga November 2021 karena Covid-19.
Tanggal baru pertemuan kemudian ditetapkan sehari sebelum invasi Rusia di Ukraina terjadi.
Ekonomi Rusia Diprediksi Terkontraksi
Sementara ekonomi Ukraina akan mengalami kerusakan paling parah akibat perang, Bank Dunia juga menyebut ekonomi Rusia telah jatuh ke dalam resesi yang dalam karena dilanda sanksi dari negara-negara Barat.
Sanksi ekonomi itu termasuk memutuskan hubungan dengan bank-bank Rusia dan pembekuan aset politisi serta miliarder Rusia hingga melarang impor barang mewah dan penerbangan.
Dilansir dari BBC, Rabu (13/4/2022) Bank Dunia memproyeksikan ekonomi Rusia akan berkontraksi hingga 11,2 persen di tahun 2022 ini.
Tetapi sementara AS telah melarang semua impor minyak dan gas Rusia, Uni Eropa, yang memasok seperempat minyak dan 40 persen gasnya dari Rusia, telah menghentikan langkah tersebut.
Negara-negara Uni Eropa terus membayar Moskow hingga 800 juta euro untuk pembelian energi setiap hari, yang diperkirakan berjumlah 40 persen dari pendapatan Kremlin.
Namun Uni Eropa telah mengusulkan rencana untuk membuat Eropa independen dari bahan bakar fosil Rusia sebelum 2030.
Selain itu, Bank Dunia juga menyebut ekonomi Ukraina akan menyusut hampir setengahnya tahun ini sebagai dampak dari konflik dengan Rusia.
Kontraksi ekonomi Ukraina diprediksi mencapai 45,1 persen. Jumlah itu pun belum termasuk dampak kehancuran infrastruktur fisik, dan berisiko menghambat output ekonomi di masa mendatang.
"Besarnya krisis kemanusiaan yang ditimbulkan oleh perang sangat mengejutkan. Invasi Rusia memberikan pukulan besar bagi ekonomi Ukraina dan telah menimbulkan kerusakan besar pada infrastruktur," ujar Wakil presiden Bank Dunia Anna Bjerde.
"Perang Ukraina dan pandemi sekali lagi menunjukkan bahwa krisis dapat menyebabkan kerusakan ekonomi yang meluas dan menghambat pendapatan per kapita dan keuntungan pembangunan selama bertahun-tahun," kata Asli Demirgüç-Kunt, kepala ekonom Bank Dunia untuk Eropa dan Asia Tengah.
Advertisement