Rincian Tarif PPN dan PPh atas Jual Beli dan Menambang Kripto, Berlaku 1 Mei 2022

Pemerintah melihat aset kripto adalah komoditas yang memenuhi kriteria sebagai objek PPN. Namun karena aset kripto merupakan jenis objek pajak yang baru, pemerintah mengupayakan penerapan aturan yang mudah dan sederhana.

oleh Tira Santia diperbarui 13 Apr 2022, 13:20 WIB
Bitcoin adalah salah satu dari implementasi pertama dari yang disebut cryptocurrency atau mata uang kripto.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menarik  dua pajak atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. Pajak tersebut adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh). Aturan ini tertuang dalam  Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2022.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP)  Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Neilmaldrin Noor menjelaskan, adanya aturan ini untuk memberikan kepastian hukum bagaimana perlakuan PPN dan PPh atas transaksi kripto yang berkembang di masyarakat.

Pemerintah melihat aset kripto adalah komoditas yang memenuhi kriteria sebagai objek PPN.

“Pertama yang harus diluruskan bahwa aset kripto di Indonesia ini tidak dianggap sebagai alat tukar maupun surat berharga, melainkan sebuah komoditas," kata Neilmaldrin dalam keterangan tertulis, Rabu (13/4/2022).

Hal ini dipastikan dengan keputusan Bank Indonesia yang menyatakan bahwa aset kripto bukanlah alat tukar yang sah.  Selain itu Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dan Kementerian Perdagangan menegaskan bahwa aset kripto merupakan komoditas.

"Karena komoditas, maka merupakan barang kena pajak tidak berwujud dan harus dikenai PPN juga agar adil,” kata Neilmaldrin.

Oleh karena aset kripto merupakan jenis objek pajak yang baru, pemerintah mengupayakan penerapan aturan yang mudah dan sederhana, cara pengenaan pajak pada perdagangan aset kripto adalah dengan melakukan penunjukkan pihak ketiga sebagai pemungut PPN perdagangan aset kripto, yaitu penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) baik dalam negeri maupun luar negeri.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Perhitungan Pajak

Bitcoin adalah salah satu dari implementasi pertama dari yang disebut cryptocurrency atau mata uang kripto.

Atas perdagangan aset kripto, dipungut PPN besaran tertentu atau PPN Final dengan tarif 0,11 persen dari nilai transaksi dalam hal penyelenggara perdagangan adalah Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) dan 0,22 persen dalam hal bukan oleh PFAK.

Sedangkan untuk jasa mining (verifikasi transaksi aset) dengan tarif 1,1 persen dari nilai konversi aset kripto.

Selain itu, dari perdagangan yang dilakukan juga memberikan tambahan kemampuan ekonomis bagi penjual sehingga merupakan objek pajak dan dipungut PPh pasal 22 final 0,1 persen dari nilai aset kripto (jika merupakan PFAK); atau 0,2 persen dari nilai aset kripto (jika bukan PFAK).

Hal ini berlaku juga atas penghasilan yang diterima oleh penambang aset kripto (miner), merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang dikenai PPh pasal 22 dengan tarif sebesar 0,1 persen dari penghasilan yang diterima atau diperoleh, tidak termasuk PPN.

Aturan pajak kripto ini mulai berlaku 1 Mei 2022.


Dampak Positif Pajak Kripto

Ilustrasi aset kripto, mata uang kripto, Bitcoin, Ethereum, Ripple. Kredit: WorldSpectrum via Pixabay

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, pemerintah memajaki perdagangan kripto bisa dilihat dari sisi positif, yakni pengakuan legalitas perdagangan kripto.

Pernyataan itu mengacu kepada ketidakselarasan pandangan pemangku kebijakan terhadap perdagangan kripto yang belakangan mencuat, terutama sikap dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Meskipun telah dinaungi Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), perdagangan aset kripto sempat dikritik OJK. Karena itu, munculnya kebijakan pajak tentang aset kripto, tidak lain merupakan pengukuhan pengakuan legalitas perdagangan aset kripto.

“Sebab dengan dijadikannya aset kripto sebagai objek pajak, berarti negara mengakui legalitas dari aset kripto ini. Apalagi aturan terkait investasi lewat aset kripto pun sudah ada dari Bappebti, sehingga menjadi pertanyaan kenapa OJK beberapa waktu lalu mengeluarkan peringatan kepada bank-bank di Indonesia,” kata Nailul dalam keterangan tertulis, Jumat (8/4/2022).

 


Dampak Negatif

Ilustrasi Mata Uang Kripto, Mata Uang Digital. Kredit: WorldSpectrum from Pixabay

Di lain sisi menurut Nailul, pengenaan pajak kripto juga berpotensi memunculkan efek negatif terhadap geliat perdagangan yang baru mulai tumbuh.

“Jadi saya lihat perpajakan ini akan cukup mengganggu iklim inovasi aset kripto di Indonesia. Karena sebelumnya aset ini tidak dikenai pajak. Tapi memang mau tidak mau harus dikenakan pajak,” ujar dia.

Sebaliknya, dia menilai penerapan pajak juga diberlakukan untuk instrumen investasi ataupun perdagangan komoditas lainnya.

“Nanti para pengembang memang akan berpikir seribu kali untuk membangun aset kripto yang berasal dari Indonesia. Meskipun ketentuan perpajakan ini harus ada untuk menciptakan level of playing field yang sama dengan instrumen investasi lain,” jelas Nailul.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira melontarkan pendapat serupa. Meskipun belum terbentuk bursa kripto, jelasnya, dengan adanya aturan perpajakan yang secara khusus mengatur aset kripto, maka telah menempatkan aset digital ini sebagai potensi pemasukan negara bukan lagi dianggap ancaman.

“Apalagi jumlah investor kripto lebih tinggi daripada pasar modal. Indonesia negara nomor 4 dengan jumlah investor aset kripto terbanyak di dunia,” tutur Bhima.

Adapun Bhima mengungkapkan apakah kelak pungutan pajak terhadap aset kripto bisa berjalan secara transparan.

 

INFOGRAFIS: 10 Mata Uang Kripto dengan Valuasi Terbesar (Liputan6.com / Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya