Liputan6.com, Bandung - Beragam simpul gerakan perempuan menyambut haru atas disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) oleh DPR, Selasa (12/4/2022). Di antaranya ada yang menaruh harap, implementasi undang-undang anyar ini dapat menguatkan cita-cita akan kampus yang bebas dari kekerasan seksual.
Baca Juga
Advertisement
Eva Nurcahyani dari Jaringan Muda Setara, UU TPKS dinilai akan memperkuat Permendikbud Ristek Nomor 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, serta SK Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kemenag No 5494/2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi Islam.
"Karena ada saja birokrat kampus yang tidak mau mengimplementasikan Permendikbud itu karena dianggap secara hierarki di bawah UU, maka setelah UU TPKS ini disahkan seharusnya tidak boleh lagi ada alasan untuk tidak mengimplementasikan Permendikbud tersebut," katanya dalam diskusi terbuka soal pengesahan RUU TPKS secara virtual oleh Jaringan Muda Setara, Selasa (12/4/2022).
Afifah, dari Narasi Perempuan, sebuah kolektif perempuan di Banjarmasin, berpendapat bahwa absennya UU TPKS membuat pihak kampus selama ini leluasa menimbun kasus kekerasan seksual demi nama baik kampus.
Kasus-kasus itu, katanya, biasanya menguap atau cukup berakhir lewat pemaksaan jalan kekeluargaan yang acap abai akan perlindungan maupun pemulihan berkelanjutan bagi korban.
"Mereka (korban kekerasan seksual) dihilangkan (kasusnya tidak diungkap), karena takut kalau dibawa keluar bakal mencemarkan nama baik kampus. Akhirnya, penyelesaiannya lebih pada kekeluargaan," katanya.
"Rasanya tuh enggak adil banget karena kita tidak punya sesuatu yang bisa diperjuangkan, maka pengesahan UU TPKS akan lebih membantu korban untuk bisa mengangkat kasus dan memberikan keadilan yang layak baginya," imbuh Afifah.
*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Perkuat Advokasi di Kampus
Senada, Sheila Rotsati Jasmine dari Gender Research Center (Great), unit mahasiswa yang fokus pada studi dan advokasi isu gender di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, mengakui bahwa jalan advokasi kasus kekerasan seksual selama ini kerap tak mulus lantaran tak ada kejelasan landasan hukum. Sialnya lagi, peraturan internal kampus jauh dari memadai.
"Ada kasus-kasus yang sebetulnya perlu diangkat keluar, perlu diadukan ke polisi karena tidak bisa terakomodir lewat peraturan dalam kampus, tapi itu kerap berakhir tidak selesai karena payung hukumnya tidak ada. Tapi sekarang itu sudah ada (lewat UU TPKS)," kata Sheila.
Dengan pengesahan UU TPKS, Sheila optimis, advokasi kasus kampus bisa lebih cerah, semakin terarah sebab kini terakomodir pada jalur hukum yang mapan.
"UU TPKS jelas memperkuat advokasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang terjadi di ranah kampus," katanya.
Sheila melanjutkan, meski perayaan atas pengesahan UU TPKS ini pantas dirayakan dengan gempita, tapi gerakan perempuan baiknya tak lekas puas.
Ada langkah lanjutan yang menurutnya harus terus ditempuh, terutama mengawal agar setiap pihak, terutama pemerintah beserta semua perangkat aparat penegak hukum yang terlibat, bisa mengimplementasikan undang-undang itu dengan benar.
UU TPKS diharapkan tidak hanya eksis sebatas aturan tertulis hitam-putih lembaran kitab, tapi sanggup menjelma hukum yang tegak dan nyata melindungi para penyintas, mencegah munculnya korban-korban baru, serta bisa benar-benar menjerat dan membikin jera para pelaku.
"Dalam hal ini berharap semua elemen bisa segera beradaptasi, belajar dan memahami. Khususnya para aparat penegak hukum. Menurut kami salah satu hambatan selama ini adalah (rendahnya) pengetahuan aparat penegak hukum terkait kasus kekerasan seksual. Selanjutnya ialah memastikan agar UU ini berjalan sebagaimana tujuannya," tutur Sheila.
(Dikdik Ripaldi)
Advertisement