Liputan6.com, Jakarta - Sungai-sungai besar di Pulau Jawa telah tercemar sampah plastik yang terdegradasi menjadi mikroplastik dan telah mengkontaminasi rantai makanan di sungai dan laut.
Hal ini terlihat dari hasil penelitian Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) yang menemukan bahwa ikan-ikan di empat sungai besar Pulau Jawa sudah terkontaminasi mikroplastik.
Advertisement
Keempat sungai itu adalah Sungai Brantas di Jawa Timur, Bengawan Solo di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Citarum di Jawa Barat, dan Ciliwung di DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Berdasarkan riset Ecoton di empat lokasi perairan meliputi sungai dan laut, ditemukan hasil kelimpahan rata-rata mikroplastik pada ikan dengan rincian:
- Sebesar 20 partikel per ikan sampel Bengawan Solo.
- Sebesar 42 partikel per ikan sampel Brantas.
- Sebesar 68 partikel per ikan sampel Citarum.
- Sebesar 167 partikel per ikan sampel Kepulauan Seribu.
Tak hanya pada ikan, kontaminasi mikroplastik juga sudah masuk ke dalam tubuh manusia. Mikroplastik ditemukan ada di dalam feses manusia, plasenta ibu hamil, paru-paru dan di dalam darah.
Ecoton menguji 102 sampel feses manusia dan menemukan mikroplastik dalam 100 persen sampel feses masyarakat dan pemimpin daerah di Jawa dan Bali.
Banyaknya jumlah partikel mikroplastik dalam lambung ikan sangat mengkhawatirkan karena setiap mikroplastik mengandung bahan beracun aditif plasticizer yang bersifat pengganggu hormon atau Endocrine Disrupting Chemicals (EDC).
Mikroplastik juga akan mengikat polutan-polutan dan patogen yang ada dalam media air yang akan ikut terserap masuk ke dalam tubuh ikan yang menelan mikroplastik.
Sumber Mikroplastik di Sungai
Bahan aditif plastik seperti Ftalat, BPA, BPS, PFAS, dan Acrylate digunakan dalam berbagai produk plastik rumah tangga. Padahal, bahan-bahan ini terindikasi dapat mengganggu fungsi hormon dan memicu kanker.
Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi mengatakan sumber mikroplastik di sungai berasal dari dua sumber, yaitu point source dan non point source.
Point source meliputi limbah industri tekstil serta industri daur ulang plastik dan kertas. Sedangkan non point source merupakan sumber mikroplastik yang berasal dari timbunan sampah plastik yang tidak terkelola di daratan akhirnya dibuang ke sungai dan membanjiri sungai.
"Sungai Brantas, Bengawan Solo, Citarum dan Ciliwung adalah sungai nasional yang memiliki peran vital bagi Indonesia," kata Prigi dikutip dari keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com pada Kamis, 14 April 2022.
"Selain sebagai air baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) air sungai nasional juga digunakan sebagai sumber irigasi bagi area pertanian yang menyuplai lebih dari 50 persen stok pangan nasional," dia menambahkan.
Advertisement
Salah Urus Pengelolaan Sampah
Dengan demikian, maka mikroplastik menjadi ancaman serius karena sudah mencemari sungai-sungai dan rantai makanan di Pulau Jawa.
"Pemerintah Indonesia perlu menerapkan parameter mikroplastik dan senyawa pengganggu hormon (EDC) dalam parameter baku mutu kualitas air sungai," kata aktivis lingkungan tersebut.
Dalam keterangan yang sama, Co-Coordinator Aliansi Zero Waste Indonesia, Rahyang Nusantara, mengatakan, Indonesia sudah dalam kondisi darurat sampah.
Sebagian besar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sudah penuh dan masyarakat pasti akan menolak kalau daerahnya dijadikan lokasi TPA baru.
Penanganan sampah yang saat ini tersentralisasi dengan cara kumpul angkut buang ke TPA terbukti bukan cara yang tepat menangani sampah.
Jarak transportasi sampah yang jauh harus ditempuh untuk mengangkut sampah dari penjuru kota ke satu titik penimbunan sehingga sangat rawan mengalami kecelakaan dan gangguan.
Cakupan pelayanan sampah hanya mampu menjangkau 30-40 persen populasi penduduk yang tinggal di pusat kota, pemerintah harus meningkatkan cakupan layanannya agar semua wilayah perkotaan hingga perdesaan mendapat layanan pengelolaan sampah secara menyeluruh.
Penduduk Indonesia setiap tahun menghasilkan lebih dari delapan juta ton sampah plastik, dan hanya sekitar tiga juta ton yang mampu dikelola dengan baik.
Sisanya, sebesar lima juta ton sampah plastik ini salah urus karena ditangani dengan cara dibakar dan ditimbun secara open dumping, dibuang ke sungai sebesar 2,6 juta ton dan pada akhirnya bermuara ke lautan sekitar 3,2 juta ton.
Penyumbang Sampah Terbesar Kedua Dunia
Tingginya jumlah sampah plastik yang salah urus membuat Indonesia menjadi negara penyumbang sampah plastik terbesar kedua ke laut dunia setelah China.
"Buruknya tata kelola sampah tersebut tidak terlepas dari budaya kumpul-angkut-buang yang sampai saat ini masih berjalan. Dengan skema ini, sampah yang dihasilkan dari sumber tidak terpilah dengan baik, sehingga menumpuk di satu tempat," kata Rahyang.
"Hal tersebut diperparah dengan minimnya upaya pengurangan sampah dari hulu yang juga menjadi faktor permasalahan sampah," dia menambahkan.
Pada 2015, riset dari Dr. Jenna Jambeck yang menyebutkan bahwa Indonesia sebagai peringkat dua pembuang sampah ke laut disebabkan karena ‘mismanagement’ dalam tata kelola sampah.
"Jangan sampai ada riset lain yang kembali menyebutkan hal yang serupa terkait mismanagement dalam bocornya sampah kita ke sungai," katanya.
Ia juga mengimbau Pemerintah Provinsi dalam hal ini gubernur untuk memastikan pembinaan dan pengawasan terhadap Pemerintah Kabupaten/Kota agar salah urus sampah tidak terjadi.
Sejak 2012, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 81 Tahun 2012 sudah memiliki regulasi terkait pengurangan dan pengelolaan sampah.
Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Peraturan Menteri (Permen) LHK tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah Oleh Produsen yang dikeluarkan tahun 2019.
Sayangnya, sampai saat ini, kedua produk hukum tersebut belum dijalankan dengan baik sehingga permasalahan sampah semakin memburuk.
Advertisement