Liputan6.com, Yogyakarta - Tata rias pengantin daerah Yogyakarta disebut paes. Tata rias pengantin ini berasal dari lingkungan dalam Keraton Yogyakarta.
Nama aslinya adalah paes ageng dan paes ageng jangan menir. Paes merupakan riasan pengantin di area dahi hingga rambut.
Sedangkan, tata rias pengantin sendiri meliputi riasan, busana, dan semua aksesori yang dikenakan dari ujung kepala hingga kaki. Dikutip dari berbagai sumber, paes ageng sudah ada sejak zaman Sultan Hamengku Buwono II.
Baca Juga
Advertisement
Putra putri sultan menerapkan tata rias pengantin paes ageng saat berada di dalam keraton. Sedangkan, tata rias paes ageng jangan menir diterapkan ketika pengantin akan keluar untuk diarak dari keraton ke kepatihan.
Dulunya hanya kalangan para bangsawan dan putri-putri Keraton Yogyakarta sajalah yang dirias menggunakan paes dalam upacara pernikahannya. Namun, dalam perkembangannya, masyarakat boleh menerapkan tata rias pengantin Keraton Yogyakarta supaya tetap lestari.
Hanya saja Sultan Hamengku Buwono IX berpesan agar jangan keluar dari pakem tata rias pengantin Keraton Yogyakarta yang asli. Konon Tienuk Riefki adalah perias pengantin putra dan putri Keraton Yogyakarta. Dia dikenal sebagai maestro tata rias pengantin tradisional Jawa.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Berkembang Jadi 7
Hingga saat sekarang tata rias pengantin gaya Yogyakarta berkembang menjadi tujuh.
Selain paes ageng dan paes ageng jangan menir yang merupakan tata rias asli Keraton Yogyakarta, ada juga kanigaran, jogja putri, kasatriyan ageng, kasatriyan ageng malem selikuran, dan muslimah berkerudung untuk tata rias pengantin muslimah berkerudung tanpa paes.
Bentuk busana paes jogja putri, kasatriyan ageng, kasatriyan ageng malem selikuran dikembangkan dari busana-busana keraton untuk tradisi tertentu. Seperti busana jogja putri, adalah pakaian adat Keraton Yogyakarta yang dipakai untuk menyambut ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina pada masa sebelum kemerdekaan.
Lain lagi dengan busana kasatriyan ageng malem selikuran biasa dikenakan putra raja pada malam ke-21 bulan Ramadan. Busana ini hanya dikenakan saat menjalankan tradisi menyebar udhik-udhik di pelataran Masjid Gedhe Keraton Yogyakarta.
Busana kasatriyan ageng malem selikuran berupa surjan berbahan beludru dan memakai kuluk kanigara.
Penulis: Tifani
Advertisement