Arab Saudi Ungkap Kelompok Teroris Pakai Taktik Kekerasan Seksual

Wakil Arab Saudi di PBB mengecam tindakan kekerasan seksual.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 16 Apr 2022, 03:00 WIB
Ilustrasi Kekerasan Secara Seksual Credit: pexels.com/pixabay

Liputan6.com, New York City - Perwakilan Kerajaan Arab Saudi di PBB menyampaikan sikap kerajaan yang mengecam kekerasan seksual dalam segala bentuk. Yang terutama menjadi sorotan Arab Saudi adalah situasi di daerah konflik ketika korban sulit mengakses pelayanan hukum dan keadilan.

Dilansir Arab News, Jumat (15/4/2022), Perwakilan Arab Saudi Mohammed Al-Ateeq berkata Saudi menyesalkan terjadinya berbagai kekerasan seksual di area-area konflik. Ia pun meminta komunitas internasional untuk bersatu agar memberikan remedi kepada para korban melalui jalur hukum.

Hal itu diungkap Al-Ateeq ketika berbicara di pertemuan Dewan Keamanan PBB terkait wanita, perdamaian, dan keamanan. Diskusinya membahas akuntabilitas sebagai cara mencegah siklus kekerasan seksual di area konflik. 

Al-Ateeq juga menyorot bahaya dari kelompok teroris yang menggunakan kekerasan seksual untuk mengganggu stabilitas wilayah. Pengiriman senjata kepada kelompok teror pun berdampak kepada kekerasan seksual.

Arab Saudi pun melibatkan para perempuan dalam mendesain bantuan yang dibutuhkan agar bisa tepat sasaran. 

"Negara saya percaya pentingnya untuk menyertakan suara para perempuan di komunitas-komunitas yang rentan dalam asesmen-asesmen kebutuhan kemanusiaan, serta melibatkan mereka untuk mendesain dan mengimplementasikan program-program kemanusiaan, terutama mereka yang terdampak konflik-konflik bersenjata," ujar Al-Ateeq.

Lebih lanjut, ia berkata King Salman Humanitarian Aid and Relief Center telah bekerja untuk membantu para wanita lewat bantuan kemanusiaan, termasuk di daerah bencana dan konflik bersenjata. 

Ada 788 proyek di 79 wilayah di seluruh dunia yang mendapatkan aliran bantuan Arab Saudi tersebut.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


UU PKS Sah

Suasana Rapat Paripurna DPR RI di Jakarta, Selasa (18/1/2022). Rapat mendengarkan pendapat Fraksi-fraksi terhadap RUU Usul Inisiatif Badan Legislasi DPR tentang Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dilanjutkan pengambilan keputusan menjadi RUU Usul DPR. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Ketua DPR RI Puan Maharani pada Selasa, 12 April 2022, memimpin jalannya Rapat Paripurna DPR ke-19. Salah satu hal yang menjadi pembahasan adalah pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).

Seperti diketahui, pengesahan RUU TPKS telah melibatkan perjalanan panjang sejak 2016 sebelum akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang. Puan Maharani pun terlihat meneteskan air mata saat menyampaikan keterangan saat mengesahkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini.

"Kami berharap bahwa implementasi dari undang-undang ini nantinya akan dapat menghadapi dan menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual, perlindungan perempuan dan anak yang ada di Indonesia," ujar Puan Maharani pada Selasa, (12/4/2022)

Sebelumnya, Puan Maharani juga sempat menyebutkan bahwa pengesahan RUU TPKS merupakan hadiah bagi perempuan di Indonesia. Pada kesempatan inilah, Puan mulai meneteskan air mata.

"Pengesahan RUU TPKS menjadi undang-undang menjadi hadiah bagi seluruh perempuan Indonesia. Apalagi menjelang diperingatinya Hari Kartini," kata Puan.

"Ini juga hadiah bagi seluruh rakyat Indonesia dan kemajuan bangsa kita, karena UU TPKS adalah hasil kerja sama bersama sekaligus komitmen bersama kita," Puan menambahkan.

Bahkan, lewat disahkannya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual hari ini, Puan juga mengajak seluruh perempuan Indonesia untuk terus semangat.

"Oleh karenanya, perempuan Indonesia tetap dan harus selalu semangat. Merdeka," ujar Puan.


Perjalanan Sejak 2016

Buruh perempuan memegang poster saat menggelar aksi di depan gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (8/3/2022). Mereka menuntut dibatalkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja dan mendesak agar RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) segera disahkan oleh DPR RI. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengungkapkan bahwa jerih payah pengesahan RUU TPKS sudah dilakukan sejak tahun 2016 lalu.

"Dengan seluruh jerih payah, waktu dan tenaga yang telah kita curahkan, diiringi perjalanan panjang para korban dan masyarakat sipil pendamping korban sejak tahun 2016," ujar I Gusti Ayu.

I Gusti Ayu juga menjelaskan bahwa pada tahun 2019 lalu, sudah sempat berlangsung beberapa rapat pembahasan RUU TPKS antara panitia kerja DPR RI dan panitia kerja pemerintah.

Namun kala itu, pembahasan tidak masuk dalam pengambilan keputusan tingkat pertama. RUU TPKS kemudian masuk dalam prolegnas prioritas 2020 hingga berlanjut pada 2021.

"Hadirnya undang-undang ini nantinya merupakan wujud nyata kehadiran negara dalam upaya mencegah segala bentuk kekerasan seksual," kata I Gusti Ayu.

"Menangani, melindungi, dan memulihkan korban. Melaksanakan penegakan hukum, merehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual serta menjamin ketidakberulangan terjadinya kekerasan seksual," dia menambahkan.


Trauma

Ilustrasi mencegah kekerasan seksual. (dok. pexels/Anete Lusina)

Menurut I Gusti Ayu, kekerasan seksual merupakan salah satu pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Serta, suatu bentuk kejahatan dan diskriminasi yang harus dihapuskan.

"Kekerasan seksual yang semakin marak terjadi di masyarakat sesungguhnya memiliki dampak serius bagi korban berupa penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik," ujar I Gusti Ayu.

"Dampak kekerasan seksual dapat mempengaruhi hidup korban dan masa depan korban. Penderitaan berlapis akan dialami oleh korban, kelompok masyarakat yang marginal secara ekonomi, sosial, dan politik atau mereka yang memiliki kebutuhan khusus seperti anak dan penyandang disabilitas," I Gusti Ayu menjelaskan.

Terlebih, ia pun menjelaskan bahwa undang-undang yang mengatur kekerasan seksual juga hingga kini masih terbatas. Serta belum sepenuhnya dapat merespons fakta kekerasan seksual yang terjadi dan berkembang di masyarakat.

"Proses penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan terhadap perkara kekerasan seksual juga masih belum memperhatikan hak korban dan cenderung menyalahkan korban," kata I Gusti Ayu.

Maka berkaitan dengan hal tersebutlah, diperlukan undang-undang khusus yang mengatur tindak pidana kekerasan seksual seperti RUU TPKS.

Infografis Ragam Komentar Pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya