Journal: Menyebut Diri Anak Buddha, Apa Keyakinan Kartini?

Benarkah Raden Ajeng Kartini penganut Buddha? Apa sebenarnya keyakinan Kartini?

oleh Ika Defianti diperbarui 25 Agu 2022, 10:31 WIB
Jejak Keislaman Kartini (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Saat masih kecil, Raden Ajeng (RA) Kartini sempat sakit keras. Badannya terus mengigigil. Ayahnya, Raden Mas (R.M) Adipati Ario Sosroningrat, yang merupakan Bupati Jepara, panik. Sejumlah dokter yang didatangkan untuk mengobati Kartini tak kunjung membuahkan hasil.

Hingga datanglah orang Cina yang sedang dihukum pemerintah Hindia Belanda ke rumah Kartini. Orang Cina ini sebelumnya memang sudah dikenal oleh anak-anak R.M Adipati Ario Sosroningrat.

Dia menawarkan bantuan dan berhasil mengobati Kartini dengan memberikan air yang dicampur abu lidi shio dari sebuah kelenteng di Welahan, kecamatan di Jepara. Kartini merasa kagum. Dia beranggapan, apa yang tidak berhasil dengan obat-obatan kaum terpelajar berhasil dengan obat tradisional.

Kartini pun mengaku sebagai anak Buddha.

Hal ini dia tuangkan dalam sebuah suratnya kepada Rosa Abendanon-Mandri, sahabat penanya yang juga istri dari seorang Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda, Jacques Henrij Abendanon, dikutip dalam buku Surat-Surat Kartini oleh Sulastin Sutrisno.

"Ketahuilah nyonya, bahwa saya anak Buddha dan itu sudah jadi alasan untuk pantang makan daging," demikian bunyi pengakuan Kartini dalam suratnya kepada Rosa Abendanon.

Benarkah Kartini penganut Buddha? Apa sebenarnya keyakinan Kartini?

R.A. Kartini merupakan salah satu pahlawan nasional perempuan di Indonesia. Kartini terkenal dengan pemikirannya mengenai emansipasi wanita.

Atas perjuangannya di masa lalu, tanggal lahirnya diperingati sebagai hari besar nasional yang ditetapkan oleh Presiden Sukarno pada 2 Mei 1964. Penetapan itu berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 108 Tahun 1964.

Kartini lahir pada di Jepara, Hindia Belanda, 21 April 1879 dari pasangan Raden Mas (R.M) Adipati Ario Sosroningrat dan M.A Ngasirah. Sebelum menjabat sebagai Bupati Jepara, ayah Kartini merupakan seorang patih.

Kartini hidup di lingkungan keluarga bangsawan dengan nilai-nilai budaya Islam Jawa. Dia tumbuh menjadi perempuan yang cerdas dan kritis. Kartini muda juga mengalami pergulatan batin mengenai sejumlah aturan-aturan yang menurutnya tidak masuk akal. Penolakan itu disampaikannya melalui surat-suratnya yang disampaikan kepada temannya di Belanda.

Selain itu Kartini juga tumbuh sebagai wanita dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Seperti halnya ketika dirinya belajar kitab suci Al-Qur'an yang saat itu hanya menggunakan bahasa Arab tanpa ada terjemahannya. Karena itu tak semua masyarakat paham akan makna ayat di dalam Al-Quran.

Dosen Sejarah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Johan Wahyudhi menyatakan pada saat abad ke-19 Al-Quran belum boleh diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa ataupun Melayu yang maknanya mudah dipahami oleh masyarakat.

"Jadi satu sisi R.A. Kartini merasa bahwa dia ingin mendalami ajaran Islam, ingin menjadi muslimah yang sejati. Tapi di sisi lain, dia mengalami keterbatasan akses karena memang pendidikan bahasa Arab yang tidak merata di seluruh bangsawan Jawa," kata Johan kepada Liputan6.com.

Infografis 10 Daftar Pahlawan Nasional Perempuan di Indonesia. (Liputan6.com/Tri Yasnie)

Kartini Protes, Belajar Al-Quran tapi Tidak Tahu Artinya

Pergolakan itu disampaikan oleh Kartini kepada sahabatnya Abendanon pada 15 Agustus 1902, seperti yang dikutip dalam buku Surat-Surat Kartini oleh Sulastin Sutrisno. Kartini menyebut dirinya tidak mau lagi mempelajari Al-Quran.

"Dan ketika itu saya tidak suka lagi berbuat hal-hal yang tidak saya pahami sedikitpun. Saya tidak mau lagi berbuat sesuatu tanpa berpikir, tanpa mengetahui apa sebabnya, apa perlunya, apa maksudnya. Saya tidak mau lagi belajar membaca Al-Quran, belajar menghafalkan amsal dalam bahasa asing yang tidak saya ketahui artinya," tulis Kartini dalam suratnya.

Saat itu Kartini juga menduga gurunya juga tidak mengerti arti dari kitab suci tersebut. Namun sejumlah pergolakan itupun akhirnya terjawab ketika Kartini bertemu dengan seorang ulama bernama Kiai Sholeh Darat. Johan menyebut dari sejumlah buku biografi yang dibacanya, Kartini mendalami agama Islam dari ulama tersebut.

 


Tafsir Al-Quran oleh Ulama

Ibu RA Kartini (istimewa)

Awalnya Kartini terkesan dengan sosok Kiai Sholeh yang menjelaskan tafsir dari surat Al Fatihah. Beberapa kali putri bangsawan itu menghadiri pengajian di Masjid Agung Demak. Lanjut dia, Kiai Sholeh Darat diyakini mengabadikan sedikit hidupnya untuk menulis. Salah satunya yakni penerjemahan beberapa surat Al-Quran berbahasa Jawa.

Kemudian kata Johan, Kiai Sholeh Darat merupakan ulama yang menulis sejumlah tulisan dengan aksara Arab berbahasa Jawa atau pegon. Hal itu kata dia untuk menjangkau semua kalangan masyarakat dalam belajar agama Islam.

"Jadi setelah mendengar dari ucapan Kiai Sholeh Darat itulah, Kartini itu seperti merasa seharusnya Islam ini ditampilkan dengan bahasa yang seperti ini, dengan bahasa ibu penduduknya," paparnya.

Johan mengatakan sebenarnya Kartini memang sejak kecil telah tumbuh sebagai anak dengan lingkungan tradisi Islam. Namun sebagai putri bangsawan dinilai minim dalam tradisi belajar Islam. Saat abad ke-19 di wilayah Jawa pendidikan Islam hanya digeluti oleh orang-orang tertentu dan bukan menjadi suatu aktivitas yang umum.

Bila disimpulkan kata Johan, Kartini hanya mendapatkan pemahaman tentang prinsip Islam secara terbatas dari keluarganya. Sebagai bagian keluarga bangsawan Kartini juga minim untuk mendapatkan ilmu lainnya dari pesantren.

"Ditambah lagi pemaknaan nilai dari budaya Jawa itu kan sangat kental dipegang sebagai way of life dari kalangan kalangan ningrat. Sehingga itu yang lebih menjadi titik tolak bagi Kartini untuk kemudian dijadikan pegangan hidupnya. Artinya, nilai-nilai kejawaan," Johan menandaskan.

Pendidikan Agama Sejak Kecil

Kartini memang gemar menuliskan sejumlah keresahan ataupun membagikan cerita kepada para sahabatnya di Eropa. Misalnya mengenai agama yang dianutnya. Seperti yang dikutip dalam buku Surat-Surat Kartini terjemahan Sulastin Sutrisno.

"Agama dimaksudkan supaya memberi berkah. Untuk membentuk tali silaturrahim antara semua makhluk Allah, berikut putih maupun cokelat. Tidak pandang pangkat perempuan atau laki-laki, kepercayaan, semuanya kita ini Anak Bapak seorang itu, Tuhan yang Maha Esa! Tiada Tuhan selain Allah! Kata kami orang Islam, dan bersama-sama kami semua yang beriman, kaum monotheis, Allah itu Tuhan, Pencipta Alam Semesta," bunyi dalam surat tersebut.

Sejarawan Islam, Tiar Anwar Bachtiar menyatakan pada abad ke-19 tradisi Islam sudah melekat di kehidupan bangsawan Jawa. Kebudayaan Islam pun dinilai sudah melekat sejak Kartini kecil. Namun ilmu agama secara keseluruhan tak didapatkan Kartini. Sedangkan ilmu pengetahuan secara formal didapatkannya melalui sekolah Belanda dan tidak mendapatkan pelajaran agama.

"Belajar agama semata-mata pelajaran agama yang biasa diselenggarakan di keluarga bangsawan biasanya melalui pengajian-pengajian keluarga, masjid-masjid dan sebagainya. Tentu kita tidak bisa membayangkan Kartini, apalagi perempuan datang ke pesantren belum ya, waktu masih kecil masih sampai sekolah itu belum. Tetapi kalau tradisi Islam sudah melekat dalam kehidupan sehari-harinya," kata Tiar kepada Liputan6.com.

 


Usulan Penerjemahan Al-Quran

Journal_Jejak Keislaman Kartini (Liputan6.com/Abdillah)

Tiar menuturkan, hal tersebut juga didasarkan pada sejumlah surat-surat Kartini mengenai sejumlah tradisi dan ajaran Islam, salah satunya yang mempertanyakan mengenai poligami. Sedangkan proses spiritual dan lebih dekat dengan Islam yang dilalui Kartini semakin terlihat setelah menikah dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang saat itu menjabat sebagai Bupati Rembang.

Saat itu Kartini semakin dekat dengan para kiai dan ulama. Sebab secara sosiologis nuansa pesantren hidup dengan baik di kawasan Rembang.

Dalam beberapa catatan biografi Kartini, lanjut Tiar, disebutkan Kartini semakin sering mengaji kepada Kiai Sholeh Darat setelah menikah hingga mengandung. Namun saat itu pelajaran Islam yang diterima oleh Kartini yaitu berdasarkan Al-Qur'an dengan tulisan Arab. Menurut Tiar, konon katanya Kartini merupakan pihak yang mengusulkan agar Al-Qur'an tersebut diterjemahkan bahasa Jawa ataupun Melayu yang saat itu dapat dimengerti banyak orang.

Tiar menyatakan pada saat itu di kalangan ulama di seluruh dunia terdapat fatwa yang melarang adanya penerjemahan Al-Qur'an ke dalam bahasa ibu setiap negara. Namun Kartini yang bergaul dengan orang Eropa merasa iri melihat temannya dengan mudah mengerti isi dari Alkitab.

"Sementara Kartini dari kecil hidup dan tradisi Islam tapi karena bukan santri dia tidak belajar bahasa Arab, sehingga Kartini melihat kenapa teman-temannya yang Eropa yang bisa membaca Alkitab yang bisa mereka pahami tapi Kartini tidak bisa membaca Quran yang bisa dipahami oleh beliau. Sehingga Kartini mengusulkan itu untuk menerjemahkan Al-Quran dalam bahasa dalam bahasa apa saja yang bisa dimengerti," paparnya.

Belajar Islam Sampai Akhir Hayat

Lanjut Tiar, Kartini merupakan sosok yang terus mau belajar mengenai Islam hingga akhir hayatnya. Dia meyakini Kartini akan memberikan banyak karya mengenai pandangan ataupun gagasan soal Islam jika tidak meninggal pada usia 25 tahun. Hal tersebut didasarkan pada sifat dasarnya yang kritis mengenai apa yang dia pelajari.

Terkait salah satu surat Kartini seperti dalam buku Surat-Surat Kartini terjemahan Sulastin Sutrisno yang berisi bawah Kartini menyebut dirinya sebagai anak Buddha, Tiar menyebut mustahil jika Kartini menganut agama lain selain Islam.

Sebab kata dia, saat itu bangsawan Jawa merupakan orang dengan tradisi Islam, meskipun adanya pergulatan dalam dirinya. Kendati begitu pernyataan dari surat tersebut perlu dikonfirmasi kembali.

"Kalau ini perlu dikonfirmasi ya sekarang pasti kalau saya sih kemungkinan itu tidak ya kalau soal vegetarian mungkin," Tiar menjelaskan.

infografis Journal_Tradisi Islam Sudah Melekat pada Kartini Sejak Kecil (Liputan6.com/Abdillah)

Hadiah Pernikahan Kartini

Sejarawan asal Surakarta, Kasori Mujahid menyatakan latar belakang keluarga Kartini, yakni ayah dan ibunya merupakan orang yang paham mengenai Islam. Kartini juga tumbuh sebagai wanita yang sangat cerdas dan kritis. Dia mahir dalam Bahasa Belanda karena mengenyam bangku sekolah milik Belanda. Hal itu menjadi modal awal untuk Kartini berkomunikasi dengan para sahabat penanya.

Dalam mendalami agamanya, Kartini juga menceritakan keprihatinannya kepada sahabat penanya di Belanda. Yaitu susahnya memahami makna dari ayat-ayat Al-Quran yang dipelajarinya. Sebab tidak ada penerjemahannya. Kasori menilai langkah Kartini saat itu merupakan bentuk protes agar Al-Quran dapat diterjemahkan dalam bahasa Jawa ataupun Melayu.

"Bahwa pada waktu itu sangat sulit sekali ya tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa atau ke bahasa Melayu waktu itu oleh pemerintah kolonial Belanda. Sehingga kalaupun misalnya seorang Kartini menulis ini, sesungguhnya dia protes pada Belanda secara tidak langsung," kata Kasori kepada Liputan6.com.

Menurut Kasori, sosok Kartini tak hanya berjasa dalam hal pendidikan, emansipasi wanita, namun juga dapat membaca momentum masyarakat Islam pada saat itu. Yaitu dalam hal penerjemahan kitab suci yang nantinya dapat mempermudahkan masyarakat. Saat itu tak mudah untuk seorang pribumi khususnya perempuan Jawa untuk mengembangkan diri.

Ketika pergulatan mengenai pelajaran agama, Kartini dipertemukan dengan salah satu ulama di Jawa yakni Kiai Sholeh Darat yang berkecimpung dalam tafsir Al-Quran. "Tafsir berbahasa Jawanya yang kemudian dihadiahkan kepada seorang Kartini ketika beliau menikah," ucap Kasori.

Selain itu, Kiai Sholeh Darat juga dapat menjelaskan sejumlah pertanyaan mengenai Islam yang dilontarkan oleh Kartini. Seperti halnya mengenai tafsir dari surat Al Fatihah. Kasori menambahkan dari beberapa surat terakhir Kartini kepada sahabatnya pada tahun 1903 juga menunjukkan keimanannya.

"Di dalam surat suratnya itu dia ketika dia mengatakan, sesungguhnya bahwa saya dapat juga biasa-biasa saja. Saya dulu menyangka orang Eropa itu sangat luar biasa. Dan itu yang disampaikan kepada kepada teman teman Eropanya itu. Saya pengin kehidupan akhir saya sebagai hamba Allah. Sebab dengan saat ini sesungguhnya puncak dari khusnul khotimah nya seorang Raden Ajeng Kartini pada masa itu," Kasori menandaskan.

 

 


Kartini Santri Ulama

Hari Pahlawan - RA Kartini (Liputan6.com/pool/GerakanPramuka)

Cerita mengenai pertemuan Kartini dengan Kiai Sholeh Darat dibenarkan oleh cicit Kiai Sholeh yaitu Lukman Hakim Saktiawan. Pria yang sering disapa Gus Lukman itu menyebutkan, Kartini merupakan santri dari Kiai Sholeh.

"Bu Fadhilla Sholeh membuat catatan itu karena peran Kiai Sholeh Darat seakan sengaja dihilangkan dalam proses pendewasaan berpikir Kartini," kata Gus Lukman kepada Liputan6.com.

Tafsir Al Fatihah sang kiai ditulis menjadi kitab berjudul, Faid Ar Rahman. Inilah kitab tafsir Al-Qur’an perdana di Tanah Air yang ditulis dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab.

"Apa yang ia (Kartini) tulis dalam Habis Gelap Terbitlah Cahaya (Door Duisternis tot Licht) itu pasti dipengaruhi oleh guru yang sangat ia hormati selama mengaji Alquran," ucapnya.

"Besar kemungkinan, Kartini menemukan susunan kata legendaris tersebut dalam pengajian Faid Ar-Rahman bersama Kiai Sholeh. Sebab kata-kata itu jelas diambil dari Alquran, minazzulumati ilan nur (dari kegelapan menuju cahaya) (QS Ibrahim [14]: 1)," Gus Lukman menandaskan.

infografis Journal_ Sederat Fakta Perjalanan Hidup R.A Kartini (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya