Liputan6.com, Jakarta - Lebih dari 57 ribu ton peralatan besar yang dimiliki pembangkit listrik tenaga nuklir Jepang telah atau akan segera menjadi limbah radioaktif dari industri. Sampah nuklir itu rencananya akan dibuang ke luar negeri, menurut data perusahaan listrik, pada Sabtu, 16 April 2022.
Dengan skala calon limbah berbahaya sebesar itu, pemerintah sedang mengkaji ulang pelarangan ekspor limbah radioaktif ke luar negeri, lantaran sedikit kota di Jepang bersedia menerimanya. Dengan membuat pengecualian di undang-undang valuta asing Jepang, memungkinkan perusahaan listrik untuk menugaskan kontraktor di luar negeri membuang peralatan besar tertentu, dengan syarat peralatan itu harus didaur ulang di negara tujuan.
Baca Juga
Advertisement
Tetapi, sejumlah kritikus mendesak agar limbah radioaktif yang dihasilkan di Jepang, tidak boleh dipaksanakan dibuat ke negara lain. Mereka juga mengatakan bahwa limbah itu harus bisa didaur ulang di dalam negeri, dengan meningkatkan kapasitas teknologi pembuangan yang terkait. Berdasarkan penghitungan, pembangkit listrik negara nuklir di Jepang memiliki peralatan besar seberat 57.230 ton, termasuk yang masih digunakan.
Dikutip dari Kyodo, Minggu (17/4/2022), peralatan itu terbagi dalam tiga jenis. Pertama, pembangkit uap yang berfungsi menghasilkan uap untuk digunakan dalam menghasilkan listrik. Kedua, pemanas air yang berfungsi untuk memanaskan air yang kembali ke reaktor. Terakhir, selubung yang digunakan untuk menyimpan atau mengangkit bahan bahan nuklir bekas.
Menurut perhitungan, terdapat 39 generator uap bekas yang berat totalnya mencapai 12.000 ton. Ada pula 22 generator dengan total berat 7.500 ton sisanya tetap di reaktor yang akan dinonaktifkan. Sementara, 51 unit lainnya atau 15.300 ton masih digunakan.
Pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi yang kini berhenti beroperasi memiliki 3.360 ton selubung bahan bakar nuklir bekas. Namun, Kementerian Perindustrian mengaku tidak memilliki skenario membuang limbah dari pabrik nonaktif ke luar negeri.
Penghitungan itu tidak termasuk pabrik Tokyo Electric Power Company Holdings Inc. Tohoku Electric Power Co yang menolak memberikan data. Upaya penonaktifan reaktor nuklir dipercepat mulai pertengahan 2020an di Jepang, yang diiringi peningkatan jumlah limbah radioaktif. Sejauh ini, 24 reaktor komersial akan segera dinonaktifkan.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Ancaman Nonaktif
Limbah radioaktif biasanya akan dikubur di bawah tanah, tergantung pada tingkat polusinya. Tapi, beberapa lokasi pembuangan yang terpilih menolak menangani peralatan reaktor berukuran besar, membuat situasi dalam ketidakpastian.
Contohnya, generator uap yang merupakan objek berbahan logam berbentuk silinder besar sepanjang 20 meter dan beratnya 300 ton. Karena ukurannya, benda itu tidak dapat dengan mudah dipotong, dibungkus dalam drum, dan dikubur.
Situasi dilematis itu juga dihadapi Kansai Electric Power co yang saat ini sudah mengubur 21 generator di lokasi yang sudah ditentukan. "Kami khawatir dengan sedikitnya ruang tersisa di tempat kami (di pembangkit listrik) di waktu mendatang karena akan berdampak penonaktifan pekerjaan," ucap sumber perusahaan.
"Hampir tidak mungkin untuk membuang limbah di dalam negeri. Pertimbangan ulang peraturan adalah secercah harapan untuk masalah limbah yang menemui jalan buntu," tambah sumber itu, berharap bisa membuangnya di luar negeri.
Advertisement
Kemungkinan Bahaya
Salah satu perusahaan yang bergerak dalam ekspor limbah radioaktif adalah EnergySolutions Inc.. Perusahaan AS itu menyediakan jasa layanan nuklir dan merupakan pemain utama dalam bisnis menonaktifkan, membongkar, dan mendekontaminasi reaktor
Perusahaan yang berbasis di Utah telah memproses lebih dari 60.000 ton limbah yang dihasilkan dalam penghentian reaktor di dalam dan di luar Amerika Serikat. Seorang pejabat perusahaan meyakinkan bahwa mereka dapat memproses tidak hanya tiga jenis peralatan reaktor besar yang sedang dipertimbangkan untuk diekspor, tetapi juga limbah lainnya, seperti logam dari pabrik Fukushima Daiichi.
Tatsujiro Suzuki, seorang profesor Universitas Nagasaki, yang menjabat sebagai penjabat kepala Komisi Energi Atom pemerintah, sangat kritis terhadap rencana membuang limbah radioaktif di luar negeri.
"Inilah yang Anda dapatkan ketika negara gagal membahas secara serius apa yang harus dilakukan dengan limbah," kata Suzuki, seraya memperingatkan kemungkinan mengekspor limbah dari lokasi bencana nuklir Fukushima.
"Sungguh tidak bertanggung jawab jika dilihat dari prinsip bahwa pembuangan harus dilakukan di negara sendiri."
Buang ke Laut
Pada tahun lalu, pemerintah Jepang dikabarkan telah memutuskan untuk mulai membuang limbah air itu ke laut mulai tahun 2022. Berdasarkan rencana yang dilaporkan, air akan diencerkan terlebih dahulu di dalam pabrik dalam proses yang memakan waktu beberapa dekade.
Tindakan itu ditentang sejumlah organisasi lingkungan. Greenpeace melaporkan dalam Stemming the tide 2020: The reality of the Fukushima radioactive water crisis yang dirilis pada Jumat 23 Oktober 2020, air yang terkontaminasi tersebut mengandung "tingkat karbon-14 yang berbahaya", zat radioaktif yang dikatakan memiliki "potensi untuk merusak DNA manusia".
Banyak ilmuwan mengatakan risikonya rendah tetapi beberapa pemerhati lingkungan menentang gagasan itu. Selama bertahun-tahun, Jepang telah memperdebatkan apa yang harus dilakukan dengan lebih dari satu juta ton air yang digunakan untuk mendinginkan pembangkit listrik Fukushima yang meleleh pada tahun 2011 setelah dilanda tsunami besar.
Dikutip dari kanal Global Liputan6.com, ruang untuk menyimpan cairan --termasuk air tanah dan hujan yang merembes ke pabrik setiap hari-- akan terisi penuh pada 2022. Pemerintah mengatakan, sebagian besar isotop radioaktif telah dihilangkan menggunakan proses penyaringan yang kompleks, tetapi satu isotop, tritium, tidak dapat dihilangkan.
Advertisement