Liputan6.com, Jakarta - Siapa pun akan merasa sedih ketika orang terdekatnya meninggal atau pergi untuk selama-lamanya. Kesedihan merupakan proses alami, tapi jika berkepanjangan dan tidak juga berkurang setelah setahun, itu sudah termasuk kondisi medis.
American Psychiatric Association (APA) baru-baru ini menambahkan diagnosis baru, yakni gangguan kesedihan yang berkepanjangan, ke dalam buku pegangan diagnostik psikiatri resminya.
Advertisement
Kondisi ini dapat didiagnosis ketika kesedihan tetap intens selama lebih dari setahun setelah kehilangan seseorang yang dekat dan mengganggu kemampuan Anda untuk menjalani aspek kehidupan lainnya.
Diagnosis ini didukung oleh penelitian dan bertujuan untuk lebih mudah menghubungkan orang-orang yang mengalami kesedihan mendalam dan terus-menerus untuk pengobatan.
"Kami mengidentifikasi sebagian kecil pelayat yang 'terjebak' dalam keadaan berduka yang intens dan mengganggu secara kronis," kata profesor sosiologi dalam kedokteran di Weill Cornell Medicine, Holly Prigerson PhD dilansir Verywell Health pada Senin, 18 April 2022.
APA juga mencatat dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) bahwa penambahan gangguan kesedihan yang berkepanjangan ini tidak bermaksud membuat kesedihan atau memerlakukannya sebagai tidak normal atau tidak sehat.
Sebaliknya, kata Prigerson, data tersebut tidak dapat disangkal.
"Kita perlu untuk mengidentifikasi persentase kecil orang yang menderita kesedihan berkepanjangan dan kemungkinan besar akan mendapat manfaat dari intervensi pengobatan khusus," ujarnya.
Gangguan Kesedihan Dapat Ditangani dengan Baik
Menurut APA, gangguan kesedihan berkepanjangan terjadi setelah kehilangan seseorang yang dekat, dan ditandai dengan:
Pertama, respons kesedihan yang persisten dan melemahkan yang berlangsung lebih lama dari norma budaya. Setidaknya 12 bulan untuk orang dewasa atau enam bulan untuk anak-anak dan remaja.
Kedua, gejala yang secara signifikan mengganggu fungsi sehari-hari
Ketiga, pengalaman yang tidak dapat dikaitkan dengan kondisi lain, seperti gangguan depresi mayor (MDD) atau gangguan stres pascatrauma (PTSD)
Prigerson, bilang, seringnya kesedihan tumbuh kurang intens satu sampai dua tahun setelah kehilangan. Penelitian menunjukkan bahwa 15 s/d 30 persen orang mengalami kesedihan kronis atau 'rumit' lebih lama.
Itu juga bisa mulai terlihat seperti depresi berat, kecemasan umum, dan stres pasca-trauma
Prigerson mengatakan bahwa perkiraan untuk gangguan kesedihan yang berkepanjangan jauh lebih rendah.
Dia dan rekan-rekannya telah menyisir data ribuan orang yang berduka, dan mengetahui bahwa hanya sekitar tiga persen orang yang berduka atas kematian orang lain yang kematiannya diharapkan --- seperti penyakit terminal --- atau tidak terduga karena usia tua yang akan menempatkan mereka pada risiko yang serius.
"Kesusahannya tidak mungkin teratasi seiring waktu dan dengan perawatan standar untuk depresi," katanya.
Advertisement
Mengobati Duka Berkepanjangan
Lebih lanjut Prigerson mengatakan bahwa menghubungkan orang-orang dengan gangguan kesedihan berkepanjangan untuk pengobatan sangat mendesak karena berbagai alasan.
Tidak hanya akan menawarkan kesempatan berbeda untuk meringankan penderitaan, tetapi berpotensi mengurangi risiko kesehatan lainnya.
"Kami telah menunjukkan bahwa gangguan kesedihan berkepanjangan dikaitkan dengan peningkatan risiko pikiran dan perilaku bunuh diri yang signifikan, rawat inap karena kecelakaan, dan kondisi medis lainnya seperti serangan jantung dan bahkan terkait dengan kasus insiden kanker," katanya.
Mengabaikan temuan ini, kata Prigerson, berarti mengabaikan efek buruk dari kondisi ini pada kesehatan mental dan fisik.
Perawatan untuk kesedihan yang berkepanjangan mungkin termasuk perawatan kesedihan yang rumit (CGT), yang mirip dengan terapi perilaku kognitif (CBT).
Sumber pengobatan lain mungkin berasal dari kelompok pendukung dan obat-obatan tertentu.
Prigerson menambahkan bahwa beberapa penelitiannya dimulai ketika dia memerhatikan bahwa pengobatan antidepresan tradisional tertentu tidak membantu mengatasi gejala gangguan kesedihan yang berkepanjangan.
Oleh sebab itu mereka menguji coba obat lain yang disebut naltrexone, yang biasanya digunakan untuk mengobati gangguan penggunaan alkohol atau opioid.
"Secara anekdot, kami merasa sangat membantu untuk membuat para janda dengan gangguan kesedihan berkepanjangan keluar dari rumah dan membuka kemungkinan bagi mereka untuk merasakan makna dan kesehatan yang diperbarui," dia menambahkan.
Jangan Sungkan untuk Berobat
Sebelum gangguan kesedihan berkepanjangan secara resmi ditambahkan ke DSM, Prigerson dan rekan melakukan penelitian untuk melihat bagaimana perasaan individu yang berduka jika mereka menerima diagnosis seperti itu
"Apa yang kami temukan adalah bahwa lebih dari 90 persen responden yang memenuhi kriteria untuk diagnosis gangguan kesedihan berkepanjangan, melaporkan bahwa mereka akan lega mengetahui bahwa memiliki diagnosis seperti itu merupakan indikasi kondisi kejiwaan yang dapat dikenali," katanya.
Selain itu, Prigerson dan rekan juga menyelidiki bagaimana profesional kesehatan mental memertimbangkan diagnosis kesedihan yang berkepanjangan dan menggunakannya dalam pengobatan.
"Kami menemukan bahwa dokter yang memberikan informasi tentang gangguan kesedihan berkepanjangan, dibandingkan dengan mereka yang tidak menerima informasi tersebut, 4,5 kali lebih mungkin untuk mendiagnosisnya secara akurat," katanya.
Ketika mereka menindaklanjuti dengan dokter, mereka juga menemukan bahwa 95 persen menganggapnya bermanfaat secara klinis secara keseluruhan.
Advertisement