Liputan6.com, Jakarta - Nuzulul Quran merupakan peristiwa yang terjadi pada 610 Masehi, saat Nabi Muhammad menerima wahyu pertama dari Malaikat Jibrīl, sebagai awal dari turunnya ayat-ayat Al-Qur’an.
Peristiwa itu terjadi di Gua Hira, di kaki Jabal Nur, Mekkah. Banyak yang menyebutnya peristiwa Nuzulul Quran terjadi pada 17 Ramadan. Namun ada juga yang mengatakan, peristiwa itu terjadi pada 21 Ramadan, sebelum Matahari terbit (10 Agustus 610), yaitu saat Nabi Muhammad berusia 40 tahun, 6 bulan, dan 12 hari Hijriah, atau 39 tahun, 3 bulan, dan 22 hari Masehi
Advertisement
Setidaknua ada tiga teori yang menjelaskan tentang Nuzulul Quran. Dikutip dari laman NU Online, Senin (18/4/2022), teori pertama menyebut, pada malam Lailatul Qadar, Al-Qur’an, dalam jumlah dan bentuk yang utuh dan komplit, diturunkan ke langit dunia (sama' al-dunnya). Setelah itu, dari langit dunia, Al-Qur’an diturunkan ke bumi secara bertahap sesuai kebutuhan selama 20/23/25 tahun.
Teori kedua, Al-Qur’an diturunkan ke langit dunia selama 20 malam Lailatul Qadar dalam 20 tahun (Lailatul Qadar hanya turun sekali dalam setahun). Setelah itu dibacakan kepada Nabi Muhammad SAW sesuai kebutuhan.
Teori ketiga, Al-Qur’an turun pertama kali pada malam Lailatul Qadar. Selanjutnya, Al-Qur'an diturunkan ke bumi secara bertahap dalam waktu berbeda-beda.
Teori pertama paling masyhur (populer) dan didukung banyak ulama. Teori ini diperkuat banyak hadist sahih. Teori kedua dipelopori oleh al-Muqatil dan Abu Abdillah al-Halimi dalam kitab Minhaj. Juga al-Mawardi dalam tafsirnya.
Sementara teori ketiga dikemukakan oleh al-Sya’bi. Semua teori sepakat Al-Qur’an 'diturunkan' (munazzal) pada malam Lailatul Qadar. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat, apakah ia diturunkan sekali dalam Lailatul Qadar atau lebih. Masing-masing ulama juga berbeda pendapat soal apa makna 'al-inzal' dan bagaimana proses 'al-inzal' berlangsung.
Yang bertama mengatakan, 'al-inzal' adalah 'al-idzhar', yaitu 'melahirkan', 'menjelaskan', 'menghadirkan' atau 'memperlihatkan'. Jadi, posisinya tidak harus dari ketinggian (langit) menuju tempat rendah (bumi) seperti terkandung pada kata 'nazala'.
Pendapat kedua, Allah SWT memberikan pemahaman kepada Malaikat Jibril yang ketika itu berada di langit. Kemudian Jibril turun ke bumi menyampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Karena itu, pilihan katanya adalah 'nazala'. Lantas, bagaimana proses komunikasi antara Jibril dan Nabi Muhammad SAW berlangsung? Mengingat keduanya bukan dari jenis makhluk yang sama. Para ulama memberikan dua kemungkinan: Jibril beralih rupa menjadi manusia, atau sebaliknya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Al-Qur'an seperti Apa?
Pertanyaan selanjutnya, 'Al-Qur’an' seperti apakah yang diturunkan kepada Jibril dan dibacakan kepada Nabi Muhammad SAW? Ada tiga teori. Pertama, Al-Qur’an diturunkan kepada Jibril lafdzan wa ma’nan (kata dan maknanya secara sekaligus). Penjelasannya begini, Jibril menghapal Al-Qur’an yang tertulis dalam lauhul mahfudz (tablet yang terjaga), kemudian dibacakan ulang kepada Nabi Muhammad SAW.
Menurut teori ini, ukuran setiap huruf di lauhul mahfudz sebesar Gunung Qaf. Di bawah huruf-huruf itu ada maknanya masing-masing yang hanya diketahui Allah SWT.
Kedua, Jibril membacakan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW menggunakan makna khusus. Selanjutnya Nabi Muhammad SAW menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab.
Ketiga, Jibril hanya menyampaikan 'makna' Al-Qur’an. Selanjutnya, agar Al-Qur’an dipahami audiensnya, Nabi Muhammad SAW 'membungkusnya' dengan bahasa Arab.
Advertisement