Dokter Tony Setiobudi Ungkap Soal Diskriminasi Dunia Kedokteran Indonesia

Seorang dokter mengatakan bahwa ada ketidakadilan dan diskriminasi dalam dunia kedokteran Indonesia. Dokter Tony Setiobudi menceritakan apa yang pernah dialaminya.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 18 Apr 2022, 15:00 WIB
ilustrasi dokter/Photo by rawpixel.com from Pexels

Liputan6.com, Jakarta - Seorang dokter yang diketahui berpraktik di negara tetangga, Singapura, mengkritisi dunia kedokteran Indonesia. Dia berpendapat, ada ketidakadilan dan diskriminasi dalam dunia kedokteran Tanah Air.

Video berdurasi kurang lebih 6 menit yang memuat potongan pernyataan dokter itu menyebar di grup aplikasi pesan singkat Whatsapp. 

“Yang akan saya bahas adalah ketidakadilan yang terjadi di dunia kedokteran Indonesia yang adalah diskriminasi. Kita semua sudah tahu diskriminasi ada di mana-mana, siapa yang didiskriminasi? Kaum minoritas dan orang miskin,” ujar sang dokter dalam potongan video tersebut.

Dia menambahkan, diskriminasi tersebut bukan sebuah rahasia, bahkan hal ini dilakukan secara terang-terangan.

“Pertanyaan saya, apakah ada upaya dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk mengeradikasi tindakan diskriminatif seperti ini?”

Dia pun memberi contoh ketidakadilan dan diskriminasi yang dimaksud. Misalnya, keinginan untuk mengenyam pendidikan kedokteran bukanlah hal mudah bagi kaum minoritas atau yang tidak memiliki cukup biaya.

“Orang miskin susah masuk ke fakultas kedokteran karena biaya masuk yang sangat tinggi walaupun mereka pintar. Masuk pendidikan spesialis juga begitu, perlu ratusan juta, siapa yang bisa bayar kalau tidak kaya?”

“Praktik-praktik diskriminatif ini tidak akan menghasilkan dokter-dokter yang terbaik,” lanjutnya.

Diskriminasi pun dialami olehnya. Sebagai dokter lulusan perguruan tinggi di Australia, ia ingin kembali dan bekerja di Tanah Air. Namun, akibat aturan yang dinilai tidak jelas dan kekhawatiran diskriminasi, ia pun menjadi ragu.

Setelah ditelusuri, ternyata potongan video tersebut berasal dari saluran YouTube Dr Tony Setiobudi. Seorang dokter spesialis bedah tulang asal Indonesia yang kini berpraktik di Mount Elizabeth Hospital, Singapura.

Ketika dihubungi Liputan6.com, Tony mengatakan spirit pembuatan video tersebut adalah untuk kemajuan Indonesia dan bukan bermaksud menghina atau menyakiti kelompok tertentu.

"Spirit dari video ini adalah untuk memberi masukan supaya membuat Indonesia menjadi lebih maju. Bukan untuk menghina atau menyakiti kelompok tertentu," kata Tony kepada Health Liputan6.com melalui pesan singkat, Senin (18/4/2022).


Ditanya Agama, Suku, dan Orangtua

Ilustrasi dokter (pexels)

Masih dalam potongan video yang viral, Tony juga menceritakan soal temannya yang sama-sama lulusan kedokteran di luar negeri.

“Dia juga mau balik ke Indonesia, permisi sama dokter senior, dia diberi tiga pertanyaan pertama. Pertanyaan ini adalah ‘Apa agamamu, apa sukumu, dan orangtuamu siapa?’”

“Wow ini sangat memalukan karena pertanyaan ini keluar dari mulut seorang dokter yang seharusnya punya wawasan yang lebih luas.”

Dengan demikian, ia menyimpulkan bahwa Indonesia menjadi terkesan tidak terbuka terhadap dokter lulusan luar negeri.

“Dan kesan diskriminatif ini masih kuat sekali.”

Tony kemudian membagikan dan membandingkan pengalamannya di Singapura. Pada 2003, setelah lulus, Tony mendapat informasi bahwa Singapura membuka rekrutmen bagi dokter-dokter lulusan Singapura untuk bekerja di Singapura.

“Saya daftar dan dalam waktu sebulan dua bulan langsung dikasih izin praktik, saya dikasih pekerjaan, very straight forward, tidak berbelit-belit. Jadi walaupun saya bukan orang Singapura, bukan warga negara Singapura, tapi saya diperlakukan dengan adil.”


Tidak Ada Diskriminasi

Ilustrasi Singapura (Liputan6.com/Giovani Dio Prasasti)

Dari pengalamannya mendapat kerja di Singapura, Tony mengatakan bahwa tidak menemui adanya diskriminasi.

“Saya tidak pernah ditanya soal agama, suku, orangtuanya siapa, saya tidak pernah ditanya pertanyaan seperti ini.”

Selain itu, Tony juga mengatakan bahwa dirinya bisa mengenyam pendidikan spesialis dengan lancar. Bahkan, ia dapat menjadi dokter spesialis pada usia yang sangat muda.

“Sampai diberi juga beasiswa oleh Pemerintah Singapur untuk belajar bedah tulang belakang di Australia dan semua biayanya ditanggung oleh Pemerintah Singapur yang biayanya juga tidak murah.”


Jika Pulang ke Indonesia?

Suasana kawasan Monumen Nasional (Monas) yang ditutup, Jakarta, Minggu (15/3/2020). Gubernur Anies Baswedan menutup tempat wisata di DKI Jakarta seperti Monas, Ragunan, dan museum yang dikelola Pemprov DKI selama dua pekan ke depan guna mencegah penyebaran Covid-19. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Walau bukan warga negara Singapura, Tony merasa diperlakukan sangat baik oleh Pemerintah Singapura.

“Kalau saya balik ke Indonesia pada tahun 2003, saya berpikir apakah saya akan diperlakukan seperti ini? Jadi spesialis pun kemungkinan susah karena saya ada di golongan minoritas.”

Kini, Tony bekerja di rumah sakit swasta di Singapura yakni di Mount Elizabeth Hospital. Menurutnya, ini adalah rumah sakit yang terkenal bagi orang Indonesia.

“70 persen pasien saya adalah orang Indonesia dan semua staf saya orang Indonesia. Jadi, dokternya orang Indonesia, pasiennya orang Indonesia, stafnya orang Indonesia, tapi anehnya kami semua berada di Singapura. Ironis ya?”

“Saya cinta Indonesia dan saya ingin Indonesia bisa bersaing di bidang kedokteran. Pemerintah Indonesia ingin meningkatkan pelayanan kesehatan sehingga pasien tidak lagi lari ke luar negeri untuk berobat.”

Namun, lanjutnya, rumah sakit yang bagus dan peralatan yang canggih saja tidak cukup. Dibutuhkan pemimpin-pemimpin di dunia kedokteran Indonesia yang punya wawasan yang luas dengan cara berpikir yang terbuka.

 

 

Infografis 5 Saran Dokter untuk Penyintas Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya