Liputan6.com, Jakarta Kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) disebut dalam kondisi yang cukup baik. Terlihat dari penerimaan negara yang mengalami peningkatan dalam dua bulan pertama 2022.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Akhmad Akbar Soesamto menyampaikan dengan kondisi demikian, belanja negara cenderung stabil atau tetap.
Advertisement
"Jadi secara prinsip bahwa saat ini posisi APBN kita penerimaannya cenderung meningkat, kabar baik, good news gitu ya. Sementara pada waktu yang sama, belanja cenderung tetap," kata dia dalam CORE Media Discussion, Menghadang Inflasi Menuju Kondisi Pra Pandemi, Selasa (19/4/2022).
Menurut pantauannya dalam dua bulan pertama ini, kata dia, posisi APBN pun disebut mengalami surplus.
"Apa yang sudah kita capai dalam dua bulan pertama ini, itu relatif cukup besar dibandingkan dengan belanja kita. Intinya bahwa pendapatan kita itu meningkat, kita cukup aman di tahun ini. Jadi pada tahun ini, kita posisinya itu," katanya.
"Aslinya posisi kita untuk dua bulan pertama 2022 ini kita bagus, dimana kita mengalami surplus. Surplus anggaran, dan ini bagus dari beberapa tahun terakhir," imbuh dua.
Ia mencoba membandingkan kondisi APBN saat ini dibandingkan dengan kondisi pada 2018 hingga 2021 lalu. Dari sisi keseimbangan primer atau selisij antar pendapatan dan belanja pemerintah, APBN mengalami surplus.
"Keseimbangan primer itu adalah selisih antara pendapatan pemerintah dengan belanja pemerintah dimana belanja pemerintahnya itu mengeluarkan item pembayaran utang. Jadi, ketika item pembayaran utang itu kita keluarkan, kita akan punya penerimaan pemerintah dikurangi belanja. Kalau sudah dikelyarkan itu kondisi kita sudH surplus sekarang. Jadi untuk keseimbangan primer," paparnya.
Ia pun menyimpulkan, dengan kondisi demikian, keadaan fiskal Indonesia dipandang cukup baik selama Januari-Februari 2022. Ia pun menjabarkan penerimaan pajak yang meningkat di dua bulan pertama ini.
Penerimaan Pajak
Faktor yang jadi pendorongnya, salah satunya akibat dari kenaikan penerimaan pemerintah dari kenaikan harga komoditas. Sebagai contoh, pendapatan dari kenaikan harga minyak dunia.
"Komoditas-komiditas naik dan itu sangat membantu kita. Karena ketika harga komoditas naik, penerimaan pemerintah baik dari pajak maupun selain pajak meningkat," kata dia.
Di sisi lain, Akbar juga melihat adanya faktor pendorong diluar kenaikan harga komoditas. Misalnya dari peningkatan penerimaan pajak dari sisi perdagangan internasional.
Meski, ia memandang, faktor ini belum mampu mendorong setinggi kontribusi kenaikan harga komoditas. Ia juga melihat ada faktor lainnya yang mendorong pendapatan negara.
"Diluar itu semua peningkatan aktivitas ekonomi juga membantu kita. Jadi peningkatan aktivitas ekonomi yang terjadi ternyata alhamdulillah tahun 2022 ini meski masih ada omicron, tapi ekonomi sudab kembali ke walau belum normal tapi sudah jauh baik dari kondisi sebelumnya. Sehingga ketika ekonomi mulai bergerak maka penerimaan pemerintah juga meningkat," terangnya.
"Dari sisi perdagangn misalnya, dari bulan Januari-Februari 2022 ini meningkat drastis dari sebelumnya. Begitu juga penerimaan pemerintah dari manufaktur dan lainnya. Ini sangat membantu penerimaan pemerintah," tambah dia.
Advertisement
Inflasi Tinggi
Sementara itu, tingkat inflasi Indonesia di kuartal I 2022 ini disebut-sebut lebih tinggi dari tahun lalu. Ini merupakan dampak dari memanasnya kondisi global dan kenaikan harga di dalam negeri.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menyampaikan pada kuartal I tahun ini, secara year to date, dalam riga bulan inflasi sudah mencapai 1,2 persen. Sementara, sepanjang 2020-2021, inflasi tercatat terendah sepanjang sejarah atau 2 persen untuk hitungan tahun penuh.
"Yang kalau kita bandingkan dengan tahun yang lalu dikuartal satu yang sama ini sudah tiga kali lipat lebih tinggi inflasinya, padahal ini belum masuk bulan bulan April yang ada peningkatan PPN peningkatan Pertamax dan juga belum ada rencana kenaikan harga yang direncanakan oleh pemerintah," katanya dalam CORE Media Discussion, Menghadang Inflasi Menuju Kondisi Pra Pandemi, Selasa (19/4/2022).
Kendati begitu, kata Faisal, kondisi inflasi Indonesia masih lebih rendah ketimbang negara maju lainnya. Misalnya, negara Eropa yang cukup terdampak besar akibat perang Rusia-Ukraina.
Dari sisi oengeluarannya, kata dia, inflasi terjadi pada semua kelompok pengeluaran. Misalnya di sektor makanan, hingga kebutuhan pokok dan kebutuhan perumahan.
"Kalau kita melihat dari sisi pengeluarannya, ini hampir semua inflasi terjadi pada semua kelompok pengeluaran, bukan hanya di makanan-minuman, tapi juga di sini efek kemarin misalkan kenaikan dari gas lpg di bulan Desember naik lagi di bulan Februari ini menyebabkan inflasi pada kelompok perumahan, air, listrik dan bahan baku rumah tangga," kata dia.
Kemudian untuk sektor kelompok leisure juga mulai tinggi juga dibandingkan tahun lalu untuk rekreasi, serta aspek restoran juga mengalami peningkatan. Ia menilai Inflasi inti sudah lebih tinggi.
"Jadi artinya ini menunjukkan bahwa ada memang ada efek daripada kenaikan demand sebetulnya, jadi karena sejalan dengan pelanggaran PPKM mobilitas sudah jauh lebih bagus demand sudat mulai terangkat juga, tapi yang efek daripada harga, inflasi yang disebabkan karena faktor administred price ini sangat besar rasanya," terangnya.
Potensi Inflasi
Pada kesemparan itu, Faisal mengaku pihaknya telah melakukan simulasi terhadap inflasi. Namun hitungan ini belum menyertakan keniaikan PPN 11 Persen dan kenaikan harga Pertamax.
"Kalau kemarin tanpa ada kenaikan PPN 11% dan pertamax pada bulan April potensi inflasi kita perkirakan itu 2,5 persen, jadi artinya tanpa ada tambahan kebijakan tadi sebetulnya sudah lebih tinggi jauh lebih tinggi dibandingkan inflasi pada tahun kemarin ya yang 1,8 persen tahun 2021," kata dia.
Namun, dengan adanya penyesuaian tarif PPN 11 Persen dan kenaikan lainnya, potensi inflasi akan kembali disesuaikan. Ia menaksirsepanjang tahun 2022 akan sebesar 3,5 persen.
"Nambah 1 persen, kalau kemudian pemerintah mewujudkan kembali ya rencana kenaikan berbagai komponen kebutuhan yang vital, seperti harga pertalite, kemudian elpiji kemudian listrik. Nah Ini potensinya kenaikannya bisa di atas 5 perse , bahkan bisa 5,5 persen kalau semua (kenaikan harga) dilakukan," kata dia.
"Akan ada lonjakan inflasi yg jauh sekali dibandingkan dengan pra pandemi, itu inflasi 3 persen, setelah lebih dari 5 tahun itu inflasi rendah, awal 2014 itu tinggi pada kenaikan harga bbm, setelah itu pada tahun ini, ini bisa terasa dampaknya bagi masyarakat untuk peningkatan harga ini," imbuh Faisal.
Advertisement