Himbara Diminta Tambah Pembiayaan untuk Proyek EBT

Kementerian BUMN meminta perbankan untuk memberikan pembiayaan yang lebih agresif kepada proyek pengembangan energi bersih, semisal energi baru terbarukan (EBT).

oleh Liputan6.com diperbarui 19 Apr 2022, 20:45 WIB
Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 12 Tahun 2017 membuat peluang investari Energi Baru dan Terbarukan (EBT) semakin terbuka lebar.

Liputan6.com, Jakarta Dalam rangka mengurangi emisi karbon, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) meminta perbankan untuk memberikan pembiayaan yang lebih agresif kepada proyek pengembangan energi bersih, semisal energi baru terbarukan (EBT). Disisi lain meminta sektor perbankan khususnya bank himbara untuk menurunkan porsi pembiayaan untuk proyek energi fosil.

"Kita punya komitmen penurunan emisi karbon dan dorong untuk perbankan kita terkait himbara agar mereka secara bertahap mengurangi porsi pembiayaan di sektor fosil," kata Wakil Menteri BUMN, Pahala Mansyuri dalam Indonesia Solar Summit 2022, Jakarta, Selasa (19/4).

Langkah ini diambil untuk memenuhi target penggunaan energi bersih 29 persen di tahun 2030 bisa tercapai. Pemerintah juga memiliki rencana khusus untuk mencapai target tersebut.

Salah satunya meminta perbankan untuk meningkatkan pembiayaannya kepada sektor EBT. "Kita minta pembiayaan ini meningkat ke EBT atau terkait dengan Pertamina dalam upaya peningkatan investasi di sektor EBT," katanya.

Hanya saja, kata Pahala, kebijakan tersebut tidak serta merta melarang perbankan untuk memberikan pembiayaan kepada pembangkit listrik tenaga fosil.

"Tapi ini tidak berarti tidak boleh memberikan pembiayaan kepada mereka (pembangkit listrik energi fosil)," katanya.

Dia menjelaskan, pemberian pembiayaan dari perbankan biasanya disesuaikan dengan rencana yang diajukan kreditur. "Saya rasa pembiayaan itu tergantung rencana dan apa yang sudah dicanangkan dalam NDC," katanya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Indonesia Kalah dari Thailand, Malaysia, dan Vietnam soal EBT

Pekerja melakukan pengecekan panel surya di atas gedung di kawasan Jakarta, Senin (31/8/2020). Pemerintah tengah menyiapkan peraturan presiden terkait energi baru terbarukan dan konservasi energi agar target 23 persen bauran energi di Indonesia bisa tercapai pada 2045. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Pengamat energi Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, mendesak agar Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT) bisa segera diselesaikan.

Sebab, keberadaan UU EBT penting sebagai payung hukum pengelolaan, pemanfaatan, dan optimalisasi sumber daya energi baru dan terbarukan.

Dia melihat Indonesia memiliki sumber daya energi baru terbarukan yang belum dikelola secara optimal, sehingga memerlukan UU EBT untuk mendorong pengembangan dan pemanfaatannya.

Selain itu, peraturan perundang-undangan yang saat ini ada dan mengatur mengenai energi baru dan terbarukan masih tersebar sehingga belum dapat menjadi landasan hukum yang kuat, komprehensif, dan menjamin kepastian hukum.

“Keberadaan UU EBT penting sebagai payung hukum untuk mengatur dan menetapkan harga jual-beli yang selama ini menjadi kendala utama dalam pengembangan dan pengusahaan EBT di Indonesia,” kata Komaidi dikutip dari ReforMiner Note, Rabu (9/3/2022).

Menurutnya, Indonesia menuju sebagai negara industri dan memerlukan energi dalam jumlah besar. Kebutuhan diproyeksikan tidak akan dapat hanya dipenuhi dari sumber energi fosil, namun memerlukan sumber energi lain dari energi baru dan terbarukan.

Karena pengembangan EBT memiliki peran penting dalam implementasi kebijakan transisi energi menuju sistem energi nasional yang berkelanjutan. Pemanfaatan EBT juga merupakan bagian dari upaya dan komitmen Indonesia dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Karena itu, keberadaan UU EBT menjadi penting.

Bahkan, sejumlah negara ASEAN seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia telah memiliki Undang Undang khusus terkait EBT. Data menunjukkan, pasca penerbitan UU EBT pengembangan EBT pada ketiga negara tersebut tercatat lebih ekspansif.


Masih Rendah

Ilustrasi (iStock)

Sementara, pemanfaatan EBT Indonesia tercatat relatif rendah dibandingkan negara-negara ASEAN yang lain. Rata-rata pemanfaatan EBT Indonesia sekitar 2,82 persen dari total potensi. Sedangkan, rata-rata pemanfaatan EBT di ASEAN sekitar 10 persen dari total potensi.

Terbitnya UU EBT penting dan dapat menjadi payung hukum yang lebih kuat untuk pelaksanaan kebijakan insentif -fiskal dan nonfiskal- yang diperlukan untuk pengembangan dan pengusahaan EBT.

Sekaligus UU EBT dapat menjadi payung hukum untuk membentuk Badan Usaha Khusus (BUK) Perencanaan dan Investasi EBT. BUK akan berperan sebagai executing agency bagi regulator dalam rangka pengembangan EBT, transisi energi nasional, dan percepatan peningkatan investasi.

“Penerbitan UU EBT berpotensi dapat meningkatkan kapasitas ekonomi nasional melalui kebijakan TKDN. Saat ini sekitar 70 persen komponen EBT masih dipenuhi dari impor. Keberadaan UU EBT dapat mendorong pengembangan industri pendukung EBT sehingga nilai tambah ekonomi dari pengembangan dan pengusahaan EBT dapat lebih besar lagi,” ujarnya.

Demikian, UU EBT penting untuk mengatur hak dan kewajiban para stakeholder baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, badan usaha swasta, dan konsumen dalam kegiatan pengelolaan, pengusahaan, dan pemanfaatan EBT. 

infografis Otak-Atik Daya Listrik Rumah Tangga

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya