Politik Identitas Diperkirakan Masih Dipakai Ketika Pemilu 2024

Umam mengatakan, peluang memanfaatkan politik identitas untuk memperoleh suara terbuka luas, mengingat ada sentimen yang tumbuh di kelompok kanan terhadap pemerintah.

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Apr 2022, 05:10 WIB
Dua pasang capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan Joko Widodo-Ma'ruf Amin Usai pengundian nomor urut peserta Pemilu 2019 di Kantor KPU, Jakarta, Jumat (21/9). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Politik identitas diperkirakan masih bakal dipakai oleh partai-partai politik ketika bersaing dalam Pemilu 2024. Tapi, Pengamat Politik Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam, mengatakan, politik identitas dapat digunakan jika ada momentumnya.

"Kalau ada momentum, masih tetap memungkinkan untuk dibukanya, digunakannya politik identitas, maka saya yakin mereka tetap akan menggunakan, karena ini adalah murah meriah, dan efektif memobilisasi massa," jelas Umam pada acara diskusi Paramadina Democracy Forum (PDF) Seri Ke-3.

Umam mengatakan, peluang memanfaatkan politik identitas untuk memperoleh suara terbuka luas, mengingat ada sentimen yang tumbuh di kelompok kanan terhadap pemerintah.

"Yang terpenting, dari segmen Islam (misalnya), di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi (Joko Widodo, red.) relatif minim ruang dialog terutama untuk kelompok-kelompok Muslim (konservatif, red.)," ucapnya.

"Kekecewaan, kemarahan dari kelompok ini terutama kelompok kanan jika tidak di-mantain (kelola, red.) maka ini akan terkonsolidasi dengan baik untuk memberikan dukungan kepada siapa yang mereka dukung," jelas Umam, yang juga sebagai Direktur Utama Paramadina Public Policy Institute.

Meski begitu, terkait Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024, Umam memprediksi politik identitas tidak lagi menguat apabila dibandingkan dengan Pilpres 2019. Politik identitas sempat menguat saat Pilpres 2019 karena pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) saat itu memanfaatkan sentimen yang tumbuh dari kelompok kanan/konservatif dan kelompok nasionalis.

Namun, Umam ragu langkah yang sama kembali berulang karena Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto, yang mulanya jadi pesaing kuat Presiden Joko Widodo, akhirnya memilih berkoalisi bersama pemerintah. Keputusan itu, menurut Umam, diprediksi dapat mengurangi dukungan dari kelompok kanan/konservatif terhadap Prabowo.

"Saya tidak yakin Prabowo akan menggunakan kartu AS politik identitas lagi, karena (dia) sudah dianggap inkonsisten dengan klaim dan langkah-langkah politiknya," ucap Umam.


Capres Potensial

Ilustrasi pemilih surat suara.

Ia juga menilai capres potensial lainnya seperti Ganjar Pranowo, Puan Maharani, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Anies Baswedan kemungkinan tak terlalu memanfaatkan politik identitas dalam kampanye-nya, karena itu kontraproduktif.

Anies memang pernah mendapatkan dukungan suara dari politik identitas saat Pilkada DKI Jakarta 2017. Namun situasinya saat itu, Anies berhadapan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), ujarnya.

"Kalau, misalnya, Anies menggunakan isu yang seperti saat Pilkada, saya pikir itu kurang begitu produktif," ujar dia.

Dalam diskusi yang sama, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi menilai partai politik terutama yang berasal dari kelompok Islam sulit menghindar dari politik identitas.

Ia juga menyampaikan politik identitas sah digunakan oleh partai politik selama itu masih dalam batas wajar.

"Politik identitas dalam batas wajar dalam pandangan kami itu sah-sah saja, misalnya, platform partainya ahlussunnah wal Jama'ah yang dikedepankan politik (Islam) wasathiyah (moderat, red.). Itu yang kami (PPP) kembangkan,” kata Baidowi.

Ia menjelaskan politik identitas jadi problem ketika digunakan melampaui batas yang wajar, dan diiringi oleh penyebaran berita bohong atau kabar sesat.

Sumber: Antara

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya