Liputan6.com, Kiev - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengirim sekitar 218 metrik ton pasokan medis darurat, sejak invasi Rusia ke Ukraina hampir dua bulan lalu. Sekitar dua pertiga pasokan itu sudah diterima orang-orang yang membutuhkan.
Sebagian besar yang menerima pasokan medis tersebut berada di bagian timur dan utara negara Ukraina yang paling membutuhkan.
Advertisement
WHO mengeluarkan 15 generator dari gudangnya di Lviv, Selasa 19 April 2022 dengan rencana untuk mengirimkannya minggu ini ke sejumlah rumah sakit di seluruh negeri.
"Tiga generator akan dikirim ke Luhansk dan Donetsk di Ukraina timur, di mana pertempuran sengit sedang berlangsung, dan pasokan listrik sangat berpengaruh," ujar juru bicara WHO Bhanu Bhatnagar berbicara dari Lviv, seperti dikutip dari VOA Indonesia, Rabu (20/4/2022).
Generator lain, katanya, untuk tempat-tempat seperti Kharkiv, yang hancur akibat penembakan Rusia dan kota Mariupol yang terkepung.
Bhatnagar mengatakan akses ke pasokan listrik sangat penting. Ia menekankan, pemadaman listrik sesaat saja memiliki konsekuensi serius bagi para pasien.
"Memberikan pertolongan dan perawatan dalam lingkungan yang berbahaya menjadi semakin sulit," sambungnya.
Hingga berita ini diturunkan, Bhatnagar mengatakan, WHO telah memverifikasi perang Rusia Ukraina telah mengakibatkan 147 serangan terhadap fasilitas layanan kesehatan, ambulans, dan tenaga medis.
Dia menambahkan sedikitnya 73 orang tewas dan 52 lainnya luka-luka. Serangan-serangan seperti itu, katanya, menghambat upaya untuk menjangkau orang-orang yang membutuhkan bantuan.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Perang Rusia Ukraina Ancam Ketahanan Pangan di Eropa?
Rumah tangga di seluruh dunia mulai merasakan dampak berupa kenaikan harga bahan pangan. Hal itu terjadi seiring berkecamuknya perang Rusia Ukraina.
Mengutip DW Indonesia, Selasa (19/4/2022), Rusia dan Ukraina saat ini menyuplai 29 persen kebutuhan gandum dunia, 19 persen jagung dan 78 persen minyak bunga matahari.
Produksi dan distribusi yang terhambat oleh perang memicu kenaikan harga bahan pokok di seluruh dunia. Rusia sendiri sudah melarang eskpor gandum. Adapun Ukraina belum akan mampu memulihkan kapasitas produksinya dalam waktu dekat.
Badan Pangan PBB (FAO) mengumumkan indeks harga bahan pangan meningkat ke level tertinggi pada Maret silam, sebuah rekor sejak dibentuknya FAO pada 1990.
Di Uni Eropa, harga makanan, minuman beralkohol atau rokok meningkat 4,1 persen sejak Februari lalu, setelah naik 3,5 persen pada Januari 2022.
"Penting untuk mengingat bahwa ancaman ketahanan pangan sesungguhnya dialami negara miskin, terutama negara yang bergantung pada impor dari Ukraina seperti di Timur Tengah dan Afrika Utara,” kata Ariel Brunner, peneliti pertanian di lembaga konservasi BirdLife.
"Di Eropa, masalahnya cuma inflasi,” imbuhnya lagi. "Sereal, minyak makan dan komoditas lain kemungkinan akan mengalami gangguan pasokan.”
Meski mengimpor 36% gandum dan 16% minyak makan dari Ukraina, perang belum akan memicu kelangkaan pangan di Eropa. Menurut Komisi Eropa, pihaknya "telah mencapai swasembada pangan, dengan surplus produk pertanian yang besar.”
Advertisement
Persiapan Jelang Masa Paceklik
Besarnya ancaman kelangkaan pangan di Afrika dan Timur Tengah mendorong UE menggandeng PBB untuk menggodok strategi baru menjamin ketahanan pangan di tengah instabilitas keamanan global.
"Lonjakan harga bahan pangan menempatkan mereka yang paling rentan dalam stuasi yang semakin parah,” kata Komisioner Manajemen Krisis UE, Janez Lenarcic.
"Invasi Rusia terhadap Ukraina meningkatkan tekanan terhadap sistem makanan dan mengancam jutaan orang dengan bencana kelaparan."
"Kita kini berada di persimpangan jalan dan tindakan nyata segera dibutuhkan."
Untuk itu, UE menggandeng PBB untuk menyiapkan bantuan pangan untuk wilayah-wilayah rentan di dunia. Pekan lalu, Parlemen Eropa juga mengimbau negara-negara UE untuk meningkatkan produksi makanan di dalam negeri untuk membantu negara miskin.
Kelangkaan Pangan Akibat Perang Bukan Pertama Kalinya
Pekka Pesonen, Sekretaris Jendral Copa-Cogeca, sebuah organisasi lobi pertanian di Eropa, mengimbau agar Brussels belajar dari masa lalu. Menurut warga Finlandia itu, kelangkaan pangan akibat perang bukan kali pertama terjadi di Eropa.
"Sekitar 100 tahun lalu, ketika Finlandia masih menjadi bagian dari Kekaisaran Rusia, warga di selatan mengalami kelaparan ketika perbatasan ditutup menyusul perang revolusi di Rusia," kisahnya kepada DW.
"Pengalaman itu memicu kebulatan tekad untuk memastkan bahwa negara anggota UE menyiapkan rencana kesiapan, di mana ketika ada krisis, entah itu politik, militer atau bencana alam, kita harus memastikan bahwa masyarakat tetap mendapat pasokan pangan dengan jumlah cadangan yang stabil."
Advertisement