Liputan6.com, Yogyakarta - Keraton Yogyakarta biasanya melaksanakan tradisi malam selikuran untuk menyambut datangnya malam Lailatul Qadar. Dikutip dari berbagai sumber, tradisi ini diyakini sudah ada sejak awal masuknya ajaran agama Islam di Pulau Jawa.
Tradisi malam selikuran diperkenalkan oleh Wali Songo sebagai metode memperkenalkan ajaran agama Islam. Tradisi malam selikuran ini menggabungkan tradisi Jawa dan ajaran Islam.
Baca Juga
Advertisement
Tradisi malam selikuran diharapkan menjadi sarana pengingat untuk memperbanyak sedekah, introspeksi diri, dan juga meningkatkan ibadah-ibadah lain dalam sepuluh hari pada bulan Ramadan. Penamaan malam selikuran berasal dari bahasa Jawa yaitu malam yang artinya malam, dan selikur yang artinya dua puluh satu.
Angka tersebut mengacu pada tanggal 21 pada bulan Ramadan yang menjadi sepuluh hari terakhir di bulan tersebut. Di saat itulah masa awal penantian malam Lailatul Qadar tiba.
Pada zaman dulu, malam selikuran diselenggarakan secara meriah. Acara tersebut dihadiri oleh banyak abdi dalem. Bahkan gubernur jenderal Hindia Belanda juga turut menghadiri perayaan tradisi ini
Acara itu dilaksanakan setiap tanggal 20 bulan Ramadan dan diselenggarakan mulai pukul 17.00 WIB di Bangsal Sri Manganti Keraton Yogyakarta. Acara malem selikuran selesai tak lama setelah azan magrib penanda buka puasa berkumandang.
Aneka Hidangan
Karena dalam penanggalan Tahun Hijriah atau Jawa pergantian hari dimulai saat matahari tenggelam, maka acara ini berakhir pada awal malam tanggal 21 Ramadan. Pada pelaksanaan acara itu juga disajikan berbagai hidangan antara lain kotak anyaman bambu atau besek yang di dalamnya terdapat nasi dan lauk pauknya.
Selain itu juga dihidangkan buah-buahan dan susunan kecil nasi bungkus. Makanan itu akan dibagikan untuk seluruh peserta yang hadir sebagai bentuk sedekah dari Keraton Yogyakarta.
Seiring berkembangnya waktu, rangkaian acara pada malam selikuran terus bertambah dari tahun ke tahun. Urutan rangkaian acara yang dalam tradisi itu yaitu pembacaan Al-Qur’an, tausiah, zikir, istigfar, doa, dan dilanjutkan dengan buka puasa bersama.
Selain malam selikuran, pada tiap tanggal 21 Ramadan atau malam-malam ganjil setelahnya abdi dalem menyalakan lilin-lilin saat matahari mulai terbenam. Lilin-lilin itu kemudian ditaruh di beberapa tempat di sekitar dan di bagian dalam Keraton.
Penulis: Tifani
Advertisement