Liputan6.com, Jakarta Juru Bahasa Isyarat (JBI) biasanya menginterpretasi kata-kata ke dalam bentuk isyarat untuk penyandang Tuli. Namun, apakah melodi juga dapat diinterpretasikan?
Ini adalah pertanyaan utama yang dihadapi Janis Wong ketika dia diminta oleh Singapore Symphony Orchestra untuk menafsirkan konser mereka bagi penonton yang Tuli atau sulit mendengar (Hard of Hearing/HoH).
Advertisement
Meski mantan guru anak-anak Tuli itu ragu tentang tawaran tersebut, tapi tiga tahun kemudian, ia telah menjadi JBI tetap di pertunjukan-pertunjukan orkestra.
Interpretasi melodi dilakukan dengan mengikuti tinggi rendahnya nada. Misalnya, sebuah lagu dimulai dengan nada bass yang rendah dan stabil maka gerakan tangan mengikuti rendahnya nada tersebut.
Saat musik berkembang, jari telunjuk menelusuri melodi biola yang melayang, sementara jari lainnya menandai perkusi.
Naik ke crescendo, instrumen bentrok dalam soundscape, yang berperan bukan hanya tangan dan jari-jarinya tapi juga ekspresi wajah. Misalnya alis berkerut dan ekspresi wajah bingung ketika banyak instrumen muncul dalam satu waktu.
“Dari sudut pandang penonton, kedengarannya seperti sampah. Saya akan menginterpretasi 'chaos', 'messy' dan bertindak sangat panik sebagai gambaran melodi yang timbul. Untuk seruling, saya akan menggambar garis melodi naik turun, dan drum berbunyi 'bang bang bang',” kata Janis Wong mengutip Channel News Asia Kamis (21/4/2022).
Ketika melodi akhirnya menyatu kembali menjadi harmoni, ekspresinya berubah tenang. Interpretasi melodi adalah salah satu cara untuk membuat seni orkestra lebih mudah diakses oleh penyandang disabilitas.
Mempelajari Melodi Sebelum Tampil
Janis Wong menyamakan dirinya dengan "pengiring visual", mirip dengan latar belakang animasi atau lampu yang akan dilihat orang di konser langsung.
"Di sekolah Tuli, kami ada pelajaran musik di mana semakin keras musiknya, warnanya akan naik, itu akan menjadi merah, oranye. Semakin lembut, itu akan menjadi kehijauan, kebiruan. Jadi saya membayangkan diri saya seperti itu.”
Untuk mengembangkan interpretasi untuk konser, yang dapat berlangsung lebih dari satu jam, wanita berusia 32 mempelajari potongan-potongan melodi beberapa bulan sebelumnya. Ia juga mendengar dari komposer tentang makna yang mereka harapkan untuk dibangkitkan.
Tanggapan dari komunitas Tuli umumnya positif, katanya, menambahkan bahwa itu telah membantunya memperbaiki prosesnya belajar.
Wong juga baru-baru ini diminta untuk mengiterpretasikan bersama Purple Symphony, sebuah orkestra yang terdiri dari musisi dengan dan tanpa kebutuhan khusus.
Di seluruh penampilannya selama bertahun-tahun, dia juga menerima minat dari para musisi untuk mempelajari bahasa isyarat.
Advertisement
Bagi Penyandang Disabilitas Netra
Adanya juru bahasa isyarat dalam pertunjukkan orkestra dinilai sebagai gambaran dari tumbuhnya kesadaran nilai inklusi dalam dunia seni bagi penyandang disabilitas.
Tak hanya bagi penyandang Tuli, dunia seni juga menjadi lebih inklusi bagi penyandang disabilitas netra.
Ini ditunjukkan dengan adanya pembacaan narasi film bagi penonton dengan disabilitas netra. Hal ini telah diterapkan di Singapore Repertory Theater (SRT).
Dalam pertunjukan untuk penonton dengan disabilitas netra, seorang pembicara menjelaskan elemen non-verbal utama, seperti ekspresi wajah atau bahasa tubuh. SRT juga memiliki judul pertunjukan untuk penonton Tuli.
Sejak perusahaan menjadikan nilai inklusi sebagai komitmen inti pada tahun 2018, pertunjukan dengan bantuan khusus ini telah menjadi pokok dengan kehadiran yang terus meningkat selama bertahun-tahun, kata manajer SRT Paul Adams.
Hal serupa juga sudah dikembangkan di Indonesia. Di beberapa kota besar seperti Jakarta, hal seperti ini disebut pula dengan bioskop bisik. Dalam pemutaran film, seorang disabilitas netra didampingi oleh pembisik yang bertugas menceritakan jalannya cerita dalam film yang diputar.
Perkembangan Nilai Inklusi di Dunia Seni
Menurut Adams, pihaknya telah bekerja sangat erat dengan asosiasi dan sekolah disabilitas. Setelah empat tahun berdiri, pertunjukkan film ini pun mendapat 18 pelanggan dengan disabilitas netra dalam satu kali penayangan.
Pada masa awal berdiri, program ini hanya mendapat nol hingga enam penonton saja.
Managing Director SRT Charlotte Nors menambahkan bahwa biaya untuk program khusus ini sekitar 30 persen lebih tinggi karena modifikasi dan pelatihan yang dibutuhkan. Sumbangan juga sering diperlukan untuk menanggung beberapa tiket.
Tetapi tujuan yang mereka lakukan sangat penting, kata Nors. “Apakah itu layak secara finansial? Tidak. Apakah itu sesuatu yang harus kita lakukan sebagai bagian dari keterlibatan komunitas strategis kita? Pastinya ya."
Dalam beberapa tahun terakhir, ada lebih banyak kesadaran tentang nilai inklusif di sektor seni, menurut Maureen Goh, direktur eksekutif nirlaba ART:DIS, sebuah organisasi seni untuk disabilitas.
Pengembangan nilai inklusi telah datang dalam berbagai bentuk, seperti diskusi seputar peningkatan akses, lebih banyak konsultasi dan perekrutan penyandang disabilitas di sektor ini, yang juga telah meningkatkan kesadaran, kata tim tersebut.
Advertisement