Liputan6.com, Stanford - Mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama meminta agar adanya regulasi di sektor teknologi agar melawan disinformasi di media sosial. Penyebaran informasi sesat itu dinilai Obama membuat publik lelah, serta berdampak negatif pada demokrasi.
"Desain platform-platform itu tampaknya menggiring kita ke arah yang salah," ujar Obama, dikutip CNBC, Jumat (22/4/2022).
Baca Juga
Advertisement
Barack Obama mengatakan hal itu di acara Stanford Cyber Policy Center. Solusi yang Obama tawarkan ada reformasi aturan Section 230 yang merupakan bagian dari Communications Decency Act.
Inti dari Section 320 adalah supaya penyedia jasa interaktif (seperti medsos) tidak akan dianggap sebagai penerbit dari konten-konten yang muncul di platform itu. Alhasil, medsos tak bisa dituntut apabila ada kelakuan negatif dari pengguna.
Aturan itu sempat dikritik keras oleh Mantan Presiden Donald Trump yang ingin segera menghapusnya agar platform medsos tidak imun. Presiden AS Joe Biden juga posisi serupa. Posisi Obama lebih diplomatis, yakni reformasi aturan.
Saran Obama adalah adanya standar aturan lebih tinggi di media sosial tersebut.
"Jika secara tepat distruktur, regulasi bisa memperkuat kompetisi dan mencegah petahanan untuk membekukan para inovator baru," jelas Barack Obama.
Saat ini, Kongres juga sedang mempertimbangkan reformasi Section 320 sehingga adanya moderasi konten, namun tetap melindungi platform dari postingan pengguna.
Barack Obama mengakui bahwa media sosial seperti MySpace dan Facebook membuatnya terpilih menjadi presiden. Namun, masalah medsos dan politik berubah sejak kasus Cambridge Analytica dan Facebook.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kebebasan Berpendapat
Kelompok konservatif di AS kerap protes bahwa para media sosial menyensor narasi mereka, meski narasi itu dibantah oleh pihak medsos.
Terkait Amandemen Pertama di AS tentang kebebasan berpendapat, Presiden Barack Obama berkata tegas mendukungnya, namun ia menyebut itu ada batasan.
"Amandemen Pertama adalah mengontrol kekuatan negara. Itu tidak diterapkan ke perusahaan-perusahaan swasta seperti Facebook atau Twitter, seperti halnya tidak pada keputusan editorial yang buat New York Times atau Fox News," kata Obama.
Ia menyebut perusahaan media sosial telah punya aturan terkait konten apa yang boleh di situs mereka, baik secara eksplisit maupun implisit lewat algoritme.
"Masalahnya adalah kita seringnya tidak tahu apa prinsip-prinsip yang mengatur keputusan-keputusan tersebut," ujarnya.
Obama turut meminta agar perusahaan medsos bisa menjaga hak kekayaan intelektual seseorang dan tetap mengikuti standar keamanan. Selain itu, Obama menyorot bahwa media sosial berdampak pada menurunnya sumber berita tradisional, seperti koran.
Obama juga meminta agar para perusahaan medsos dan karyawannya melakukan hal yang benar.
"Kamu masih bisa meraup uang, tetapi kamu akan merasa lebih enak," ujarnya. "Ini adalah kesempatan bagi para pegawai perusahaan-perusahaan tersebutuntuk mendorong ke arah yang benar, karena kamu telah melihat apa yang ada di luar sana dan kamu ingin merasa lebih baik."
Advertisement
Masalah Hoaks
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menegaskan pentingnya peran media massa dalam melawan maraknya hoaks. Media massa masih punya pengaruh besar dalam mengedukasi masyarakat melalui konten yang disajikan.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo, Usman Kasong. Ia menyebut media menjadi pilar bersama dengan pemerintah, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat untuk memberantas hoaks.
Itu sebabnya ia berharap segenap pihak untuk bersama memperkuat kemitraan dan kolaborasi guna membentuk ekosistem media dan konten yang sehat.
"Kepercayaan khalayak Indonesia terhadap media masih kuat. Media perlu memanfaatkan modal ini untuk memberikan informasi berkualitas bagi masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi kode etik dan mematuhi regulasi," ujar Usman dilansir Antara.
"Kami juga mengapresiasi upaya yang dilakukan Google News Initiative seperti kolaborasi bersama Cek Fakta telah sejalan dengan upaya Pemerintah dalam menangani disinformasi, misinformasi dan malinformasi," katanya menambahkan.
Hoaks Seputar Covid-19 Tersebar di Medsos, Terbanyak Lewat Facebook
Hoaks seputar COVID-19 semakin beragam sajiannya, selain itu jumlah sebarannya pun terus bertambah. Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) hingga 21 April 2022 sebanyak 5.841 hoaks tersebar di media sosial.
Untuk itu kita harus tetap mewaspadai sebaran hoaks seputar COVID-19, meski saat ini angka kasus penyakit yang diakibatkan virus SARS-CoV-2 tersebut mengalami penurunan.
Hal tersebut perlu dilakukan agar kita tidak menjadi korban hoaks, dengan memastikan kebenaran informasi yang didapat sebelum mempercayainya. Selain itu dengan mengikuti tips seperti yang ada di halaman ini.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat temuan isu hoaks seputar COVID-19 hingga mencapai 2.173 konten dengan sebaran sebanyak 5.841 sampai 21 April 2022.
Hoaks seputar COVID-19 tersebut paling banyak beredar lewat Facebook mencapai 5.117 unggahan. Hoaks seputar COVID-19 terbanyak kedua tersebar lewat Twitter sebanyak 577 unggahan.
Sebaran hoaks seputar COVID-19 ketiga terbanyak lewat YouTube, mencapai 55 unggahan. Sedangkan sebaran hoaks seputar COVID-19 terbanyak keempat terdapat di Instagram dengan 52 unggahan dan sebaran kelima terbanyak lewat TikTok dengan 40 unggahan.
Advertisement