Liputan6.com, Jakarta - Perubahan iklim menjadi topik yang sangat perlu dibahas pada Hari Bumi 2022. Kesadaran masyarakat terkait isu iklim semakin kuat, sehingga secara bertahap ada perubahan gaya hidup untuk mencegah perubahan iklim. Salah satu contohnya seperti mengurangi sampah plastik.
Pada tahun lalu, netizen Indonesia juga protes keras ketika Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar berkata isu deforestasi atau aktivitas penebangan hutan tidak boleh menghalangi "pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi". Kekesalan netizen menunjukkan adanya kesadaran tentang pentingnya menjaga alam Indonesia.
Deforestasi memiliki banyak dampak kepada manusia. Yang rugi tak hanya manusia, flora, dan fauna yang berada di lingkungan hutan tersebut, tetapi bisa juga berdampak kepada orang-orang yang tinggal di perkotaan. Pasalnya, deforestasi bisa memicu perubahan iklim, seperti menyebabkan banjir.
Baca Juga
Advertisement
"Hutan-hutan memiliki pengaruh besar pada pola curah hujan, kualitas air dan tanah, dan juga pencegahan banjir," tulis situs WWF, dikutip Jumat (22/4/2022).
WWF pun mengingatkan jutaan orang bergantung ke hutan sebagai tempat tinggal atau tempat mencari penghidupan. Risiko lain dari deforestasi adalah global warming.
"Pepohonan menyerap dan menyimpan karbon dioksida. Jika hutan-hutan dibabat, atau bahkan diganggu, mereka melepas karbon dioksida dan gas-gas rumah kaca lainnya," jelas WWF. "
"Kehilangan dan kerusakan hutan adalah penyebab sekitar 10 persen dari penyebab pemanasan global. Tak ada cara kita bisa melawan krisis iklim jika kita tidak menyetop deforestasi," tegas WWF.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Komitmen Indonesia dalam Pengembangan Teknologi Ramah Lingkungan
Teknologi yang ramah lingkungan sekarang menjadi fokus masyarakat dunia. Indonesia tak ketinggalan memfokuskan diri pada isu tersebut. Ada 3 agenda utama yang berkaitan dengan teknologi ramah lingkungan yang akan diterapkan pada KTT G20 tahun ini.
Sesuai arahan Presiden RI, Joko Widodo, ketiga agenda tersebut harus mencakup arsitektur kesehatan global, transformasi digital, dan transisi energi. Mewujudkan vaksinasi yang merata, mempercepat digitalisasi, dan mengarahkan kesepakatan global terkait dengan pembiayaan perubahan iklim merupakan tujuan akhir.
Dikutip dari G20pedia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan prinsip dan strategi Net Zero Emission yang akan diusung di pertemuan G20. Pertama, pengurangan energi fosil dengan carbon tax & trading, co-firing PLTU dengan EBT, serta retirement PLTU. Kedua, peningkatan pemanfaatan listrik pada rumah tangga dan industri. Ketiga, pemanfaatan carbon capture & storage (CCS). Keempat, peningkatan pemanfaatan energi baru terbarukan. Kelima, kendaraan listrik di sektor transportasi.
Kementerian ESDM akan memaparkan fokus isu transisi energi dari keamanan energi hingga teknologi dalam forum pembahasan dan kerja sama di Konferensi Tingkat Tinggi Group of Twenty atau KTT G20. Energy Transitions Working Group (ETWG) menitikberatkan fokus pada keamanan energi, akses dan efisiensi energi, serta transisi energi untuk menuju sistem energi yang rendah karbon, termasuk juga pada investasi dan inovasi pada teknologi yang lebih bersih dan efisien.
Lewat forum besar G20, Indonesia berkesempatan mendorong upaya kolektif dunia dalam mewujudkan kebijakan untuk mempercepat pemulihan ekonomi global secara inklusif. Indonesia pun memiliki kesempatan untuk menunjukkan kepada dunia, dukungan penuh terhadap transisi energi global.
Sebab, negara-negara anggota G20 menyumbang sekitar 75% dari permintaan energi global. Maka dari itu, negara-negara G20 memegang tanggung jawab besar dan peran strategis dalam mendorong pemanfaatan energi bersih. ETWG memfokuskan pembahasan pada keamanan energi, akses, dan efisiensi, serta transisi ke sistem energi rendah karbon, termasuk juga investasi dan inovasi dalam teknologi yang lebih bersih dan efisien.
Advertisement
Apakah Bisnis Ramah Lingkungan Bisa Menguntungkan?
Bisnis ramah lingkungan makin marak digaungkan oleh beragam sektor. Dengan konsep itu, para pengusaha ditantang tak hanya untuk menghasilkan keuntungan tapi juga bermanfaat bagi keberlangsungan lingkungan.
Namun, model bisnis yang 'ideal' ini nyatanya masih menantang para pebisnis. Utamanya terkait formula yang tepat dalam menyeimbangkan antara profit dan kepedulian terhadap lingkungan.
Dikutip dari saluran YouTube Greeneration Foundation, Jumat, 11 Maret 2022, tiga perusahaan mengungkapkan jawaban atas tantangan itu dengan strategi bisnis masing-masing. Ketiganya adalah Burgreens and Green Rebel serta Little Bali yang bergerak di bidang F&B, dan The Body Shop Indonesia yang mewakili industri kecantikan.
"Brand kosmetik dari Inggris ini dimulai oleh aktivis lingkungan yang fokus ke keberlanjutan. Kami menggunakan planet, people, profit itu menjadi sebuah pedoman dan pegangan, karena tanpa adanya lingkungan dan situasi dari bumi yang lestari, tidak akan bisa berbisnis lagi," ujar Ratu Ommaya, Head of PR & Values The Body Shop Indonesia.
Praktiknya sedapat mungkin dilaksanakan secara holistik. Menurut Maya, mereka bahkan memulai dari menyeleksi partner bisnis yang sevisi dan semisi dalam aspek kepedulian lingkungan.
Riset dan pengembangan jadi tulang punggung pergerakan bisnis. Tujuannya membuat produk yang bisa diterima konsumen, tetapi berdampak minimal pada lingkungan. Mereka juga merancang kemasan yang ramah lingkungan, bahkan membuat skema agar kemasan bekas bisa diguna ulang.
Pihaknya juga membuka refill station sebagai opsi yang lebih ekonomis bagi konsumen sekaligus menekan jumlah kemasan sekali pakai. Belum lagi menjadikan gerai sebagai tempat isi ulang air agar tak perlu beli air minum kemasan sekali pakai.
Tantangan di Balik Keuntungan
Sementara itu, CEO Burgreens dan Green Rebel, Helga Angelia mengaku bisnis ramah lingkungan yang dijalankannya mendapat banyak keuntungan, khususnya dari plant-based eatery. Namun, keuntungan itu melewati perjuangan tak mudah. Salah satunya dengan mengedukasi masyarakat agar dengan sadar memilih makanan yang berasal dari tumbuhan.
Edukasi jadi kata kunci di tengah market Indonesia yang dominan sensitif terhadap harga. Hal itu mengingat harga makanan yang ditawarkannya memang lebih mahal daripada versi hewani.
"Waktu memulai edukasi, kita tuh gencar untuk melakukan kampanye karena banyak masyarakat yang belum paham akan plant-based atau vegetarian vegan yang cukup mahal," ujarnya.
Ia pun mengingatkan bahwa pola pikir yang tidak selalu mengutamakan keuntungan sebesar-besarnya harus dipegang teguh oleh mereka yang akan berbisnis ramah lingkungan. Pebisnis perlu memprioritaskan pada dampak sosial dan lingkungan, dibandingkan profit.
"Impact-nya itu justru bukan ke diri sendiri aja tapi ke semua masyarakat di Indonesia yang nantinya mereka mencari keinginan mereka ke usaha kita yang ramah lingkungan," ujarnya.
Advertisement