Alibi Terduga Pembobol Tembok Cagar Budaya di Kartasura, Salah Siapa?

Bambang Cahyono perwakilan pihak keluarga pemilik lahan yang membuldozer tembok cagar budaya peninggalan dinasti Mataram Islam di wilayah Kasunanan Kartasura. Ia menyebut tidak ada yang mengarahkan, bahkan pihaknya malah mengaku diperintah oleh kepala RT setempat.

oleh Dewi Divianta diperbarui 24 Apr 2022, 04:30 WIB
Perwakilan Keluarga yang Buldozer Situs Sejarah Dinasti Mataram Islam (Dewi Divianta/Liputan6.com)

Liputan6.com, Kartasura - Kasus pembongkaran aset sejarah berupa tembok di wilayah Kasunanan Kartasura atau peninggalan Dinasti Mataram Islam masih menyisakan polemik.

Terduga perusak tembok salah satu cagar budaya milik Kasunanan Kartasura itu beralibi tidak ada yang mengingatkan mereka ketika mereka mulai membersihkan tanah di sekitar tembok cagar budaya berdiri.

Bambang Cahyono mengaku malah mendapat persetujuan dari ketua RT setempat agar membongkar tembok cagar budaya yang katanya menghabiskan dana masyarakat itu. 

"Warga sini biasanya membersihkan 100 persen dari kas RT dan saya disuruh bongkar. Ya, saya disuruh bongkar bukan hanya jebol lagi, sudah beberapa kali hampir dijebol," Kata Bambang kepada awak media di tempat Kejadian Perkara, Kartasura, Sabtu (23/4/2022).

Namun, ia melanjutkan kendati pernah ditegur dan dilarang lantaran disitu terdapat situs sejarah berupa tembok yang masuk cagar budaya, pihaknya malah mendapat lampu hijau dari Ketua RT setempat.

"Dulu tidak boleh karena di sini (tembok cagar alam berdiri) ada situs sejarah Tapi, dalam waktu lama tidak ada lagi sosialisasi atau minimal plang peringatan atau larangan di tempat ini. Jadi, kami pikir ini sudah bukan larangan lagi," tutur dia.

Saksikan Video Pilihan Ini:


Tetap Minta Akses Jalan

Menurutnya, pihaknya baru sebulan membeli tanah seharga Rp850 juta itu, dan baru dibayarkan sebesar Rp400 ratus juta rupiah. Rencanya, pihaknya akan membangun kos-kosan. Karena itu, dia membongkar bangunan situs sejarah yang berdiri di atas tanah yang baru dibelinya.

Untuk diketahui lebar tembok cagar budaya yang dijebol itu seluas 7,5 meter dari total luas 100 meter tembok itu.

"Kita bongkar hanya untuk akses masuk material, karena kami ingin mambuat kos-kosan di sini. Setahu saya ini hak milik dan saya belinya sampai luar ini (tembok cagar budaya) masuk juga dalam sertifikat. Intinya alasan pak RT pernah bilang sama saya, ini merugikan kas RT berpuluh-puluh tahun," ucap dia.

Bambang bercerita jika pembiayaan untuk membersihkan cagar budaya itu selalu iuran dari dana kas lingkungan tanpa ada campur tangan pemerintah kabupaten. Ironisnya, biaya yang dikeluhkan untuk menjaga situs sejarah itu hanya sebesar RP300 ribu per tahun.

"Yang saya tau Rp300 ribu setiap menjelang 27 Agustus. Lha ini kalau tidak dibersihkan pohon-pohon dan rerumputan itu bisa sampai jalan, ini udah kayak hutan," tutur dia.

Ia menyebut, pemerintah setempat tidak ada perhatian dalam perawatan situs sejarah itu. Menurutnya, pemerintah seperti melakukan pembiaran terhadap aset yang seharusnya dijaga itu.

"Tidak ada perhatian untuk pembersihan cagar budaya ini. Saya membongkar ini untuk akses jalan saja untuk kos-kosan. Selama kita membersihkan tidak ada yang mendekati atau memperingatkan, kalau info yang saya dengar dari pak RT tidak pernah ada sosialisasi terhadap aset purbakala ini kepada masyarakat sekitar," kata Bambang.

Sementara itu, dirinya masih menunggu keputusan dari pihak berwenang apakah pihaknya masih tetap bisa menggunakan jalan dari tembok yang dijebol atau dirusak itu untuk kepentingan usaha kos-kosannya.

"Kita berharap bisa memiliki dan meminta akses jalan ini. Kalau tidak mendapat izin kita akan minta uang penjualan dikembalikan saja, karena kalau dari sisi utara kita tidak bisa menggunakan akses jalan untuk keluar masuk karena terlalu sempit cuma 9 meter. Kalau memang gak bisa kita minta batalkan dan minta kembali uang yang masuk tadi sebesar Rp400 juta," tutur dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya