Liputan6.com, Jakarta - Langkah Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan 3,5 persen dinilai tepat untuk mendukung pemulihan ekonomi. Bank Indonesia (BI) tetap mempertahankan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate atau BI7DRRR di level 3,50 persen pada April 2022.
Keputusan tersebut diambil usai bank sentral menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada Senin hingga Selasa, atau 18-19 April 2022.
Advertisement
Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro menuturkan, saat ini tepat untuk mempertahankan suku bunga acuan BI untuk mendukung pemulihan ekonomi Indonesia.
"Bond yield kita 6,9, jadi balik lagi untuk saat ini tepat. Kalau sekarang dinaikkan setimen recoverynya tidak baik," ujar dia ditulis Minggu (24/4/2022).
Selain itu, ia menilai suku bunga yang masih dipertahankan risikonya masih dapat diantipasi. Hal ini lantaran inflasi yang rendah.
"Kalau dilihat suku bunga sekarang ditahan masih relatif, karena risikonya masih bisa diantisipasi yang jadi catatan adalah kalau misalnya keluar inflasinya sudah tinggi. Bayangan saya investor ada maxim net outflow sedikit karena ada ekspektasi inflasi ke depan," ujar dia.
Langkah BI pertahankan suku bunga acuan juga melihat inflasi masih rendah. Selain itu, tingkat imbal hasil obligasi juga masih menarik di Indonesia.
"Real rates kita itu masih menarik real yieldnya Indonesia. Jadi inflasi is the key," kata dia.
Ia menambahkan, kepemilikan investor asing di obligasi juga sudah rendah. Ia menilai, hal tersebut membuat rupiah relatif stabil.
"Kedua, rupiah relatif stabil, kenapa?Jadi ada berkah di mana 2020 ada masif capital outflow. Pelarian modal asing besar, jadi kepemilikan asing di obligasi itu sudah kecil," kata dia.
Selain itu, Bank Indonesia memiliki cadangan devisa yang cukup tinggi. Bank Indonesia (BI) mencatat posisi cadangan devisa Indonesia mencapai USD 139,1 miliar pada akhir Maret 2022. Cadangan devisa ini susut dibandingkan dengan posisi pada akhir Februari 2022 sebesar USD 141,4 miliar.
"Bank Indonesia punya cadangan devisa cukup tinggi, kita sudah buat simulasi dengan kepemilikan asing yang sekarang 17 persenan kalau BI mau intervensi itu cadangan devisa kita masih jauh lebih kuat dibandingkan 2013," kata dia.
Dengan suku bunga acuan yang masih dipertahankan risikonya masih dapat diantisipasi. Hal yang menjadi perlu diwaspadai ketika inflasi tinggi.
"Kalau dilihat suku bunga sekarang ditahan masih relatif, karena risikonya masih bisa diantisipasi yang jadi catatan adalah kalau misalnya keluar inflasinya sudah tinggi. Bayangan saya investor ada maxim net outflow sedikit karena ada ekspektasi inflasi ke depan,” ujar dia.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Inflasi
Andry juga menyoroti inflasi di Indonesia. Saat ini yang menjadi pegangan Bank Indonesia yaitu inflasi inti.
"Kuncinya pasti timingnya di isu inflasi, di domestic inflation. Domestic inflation nya seperti apa, Bank Indonesia pegangannya di for inflation ya di inflasi inti. Kita memang melihat bahwa inflasi di Indonesia ini sudah dari lama secara historis juga inflasi Indonesia itu ditentukan salah satunya oleh administered pricesnya, kebijakan dari pemerintah untuk penyesuaian harga barang yang diatur oleh pemerintah,” kata dia.
Ia menyampaikan, jika harga barang yang diatur oleh pemerintah seperti bahan bakar minyak (BBM) yang paling besar itu dinaikkan, sehingga otomatis akan mengerek tingkat inflasi di domestik.
“Kita hitung angka elastisitasnya kalau setiap kenaikan 10 persen dari pertamax kemarin itu akan menaikkan sekitar 0,04 percentage point,” ungkapnya.
Saat harga Pertamax dinaikkan, Andry menilai berdampat terhadap inflasi. Diperkirakan kontribusinya sekitar 0,2 persen ke inflasi.
"Jadi memang dampak inflasi nya kalau Pertamax pasti relatif minimal masih cuma kemarin kenaikannya 34-39 persen kalau enggak salah dari Rp 9.500 Rp 12.500 artinya total impact nya yaitu sekitar 0,2 percentage point. Kalau asumsi kita ya sebelum ini itu di kisaran 3,3 persen inflasi sebelum ada kenaikan dan penurunan harga,” ia menambahkan.
Andry juga berasumsi jika pemerintah menyuarakan tentang menaikkan Pertalite, elpiji, listrik dengan kondisi tersebut memang melihat inflasi akan berada di atas kisaran Bank Indonesia. Target inflasi BI pada 2022 yang ditetapkan 3 persen plus minus 1 persen.
“Inflasi total ya itu akan berada di atas dari target Bank Indonesia, memang sekarang kita lihat bagaimana dengan core inflation-nya. Core inflation tergantung tiga yang pertama transaksi supply dan demand, permintaan penawaran artinya kenapa yang dipegang adalah inflasi inti untuk melihat apakah memang benar-benar inflasi ini bukan transitory tapi karena memang inflasi yang didorong oleh Sisi permintaan, makanya ada supply demand,” ujarnya.
Advertisement
Bank Indonesia Masih Tahan Suku Bunga Acuan 3,5 Persen
BI Pangkas Pertumbuhan Ekonomi Global
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) merevisi prakiraan pertumbuhan ekonomi global pada 2022 yaitu menjadi 3,5 persen dari sebelumnya sebesar 4,4 persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan, revisi ini dilakukan akibat berlanjutnya ketegangan politik global akibat perang Rusia dan Ukraina. Hal ini berdampak pada ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi.
"Pemulihan ekonomi global diprakirakan terus berlanjut meski lebih rendah dari proyeksi sebelumnya," ujarnya dalam video konferensi Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulanan BI - April 2022, Selasa, 19 April 2022.
Selain ketidakpastian di pasar keuangan global, konflik antara Rusia dan Ukraina juga berdampak pada pelemahan transaksi perdagangan, kenaikan harga komoditas, dan ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah penyebaran Covid-19 yang menurun.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi berbagai negara raksasa ekonomi seperti Eropa, Amerika Serikat, Jepang, China, dan India diprakirakan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya.
"Dengan perkembangan tersebut, Bank Indonesia merevisi prakiraan pertumbuhan ekonomi global pada 2022 menjadi 3,5 persen dari sebelumnya sebesar 4,4 persen," tekannya.
Bank Indonesia memprediksikan volume perdagangan dunia juga lebih rendah sejalan dengan perlambatan ekonomi global dan gangguan rantai pasokan yang masih berlangsung.
Hal ini ditandai dengan harga komoditas global masih mengalami peningkatan, termasuk komoditas energi, pangan, dan logam, sehingga memberikan tekanan pada inflasi global.
"Hal tersebut mendorong terbatasnya prospek aliran modal asing, khususnya portofolio, dan tekanan nilai tukar negara berkembang, termasuk Indonesia," kata dia.
Advertisement