Indonesia Rangkul AS Antisipasi Sengketa Laut China Selatan

Indonesia, seperti negara-negara besar Asia Tenggara lainnya, sedang meningkatkan hubungan militernya dengan Amerika Serikat (AS) di tengah meningkatnya tekanan China di Laut China Selatan.

oleh Hariz Barak diperbarui 25 Apr 2022, 03:01 WIB
Garis demarkasi semu the nine dash line di Laut China Selatan (sumber: CIA / UNCLOS)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia, seperti negara-negara besar Asia Tenggara lainnya, sedang meningkatkan hubungan militernya dengan Amerika Serikat (AS) di tengah meningkatnya tekanan China di Laut China Selatan yang sedang disengketakan, kata para analis.

Pada Desember 2021, Beijing menuntut Indonesia menghentikan kegiatan pengeboran minyak dan gas di utara Kepulauan Natuna yang terletak di bagian paling selatan Laut Cina Selatan. Pemerintah Indonesia menyebut wilayah tersebut sebagai Laut Natuna Utara.

Menurut Inisiatif Transparansi Maritim Asia yang berbasis di AS, pada Juli dan Agustus, kapal penjaga pantai China berpatroli di lokasi pengeboran yang dilakukan pihak Indonesia di dekat pulau-pulau tersebut. Sebuah kapal survei China bahkan melakukan survei dasar laut di zona ekonomi eksklusif Indonesia.

China menyebut sekitar 90 persen dari laut seluas 3,5 juta kilometer persegi itu sebagai teritorinya, demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Senin (25/4/2022).

Beijing menggunakan catatan historis sebagai dasar pengklaiman tersebut. Empat negara Asia Tenggara lainnya dan Taiwan menentang semua atau sebagian dari klaim China. Mereka semua menghargai kegiatan yang dilakukan di wilayah itu, baik untuk minyak, gas alam, jalur pelayaran, dan perikanan.

 


Garuda Shield

(ilustrasi) Kapal perang di Laut China Selatan (Intelligence Specialist 1st Class John J Torres)

TNI Angkatan Darat mengumumkan minggu ini bahwa pasukannya dan militer AS memperluas latihan tahunan bilateral Garuda Shield pada tahun ini yang diikuti oleh 14 negara, termasuk Australia, Kanada, Jepang, Malaysia, Singapura, dan Inggris.

Situs berita GBP Aerospace & Defense melaporkan bahwa tatihan tahun ini, yang akan berlangsung pada 1-14 Agustus, akan menjadi latihan yang terbesar yang pernah dilakukan di Tanah Air.

Para analis mengatakan karena ancaman Beijing di Laut China Selatan, Indonesia makin mempertimbangkan AS dan sekutu Barat lainnya sebagai pendukung militer.

“Hal itu menyebabkan Indonesia melihat ke AS dan negara-negara lain, tetapi untuk AS khususnya, sebagai semacam penyeimbang,” kata Carl Thayer, profesor emeritus politik di University of New South Wales di Australia.

Presiden Joko Widodo mengatakan pada 2014 bahwa Indonesia akan menjadi "titik tumpu maritim global" — kekuatan antara Samudra Hindia dan Pasifik — melalui perubahan kebijakan dalam dan luar negeri yang mencakup penguatan keamanan maritim dan perlindungan batas-batas maritimnya.

Sejak itu, Badan Keamanan Laut (Bakamla) telah mengusir dan menyita kapal-kapal nelayan dari negara lain, termasuk China. Pada 2018, China membangun sebuah pangkalan militer dengan lebih dari 1.000 personel di Kepulauan Natuna.

“Saya pikir Indonesia dan China makin serius dalam mengatasi tumpang tindih zona ekonomi eksklusif mereka, dan oleh karena itu, Anda akan melihat konfrontasi semacam ini lebih sering terjadi pada saat ini,” kata Oh Ei Sun, rekan senior di Institut Urusan Internasional Singapura.

China telah menjadi "pengganggu" bagi Indonesia sejak 1990-an, kata Thayer, dan Jokowi telah memobilisasi "puluhan ribu" aset udara dan angkatan laut di Laut Natuna Utara.

 


Indonesia Kesulitan Mengekang Intrusi China

Kapal perusak milik AS berlayar ke Laut China Selatan (AFP/US Navy)

TNI AD sejauh ini "tidak mampu mengekang intrusi China" ke zona ekonomi eksklusif Indonesia di Laut China Selatan, tulis Felix Chang, rekan senior di Institut Penelitian Kebijakan Luar Negeri, dalam analisisnya pada September 2021.

Dari 28 Maret hingga 8 April, AS dan Filipina mengadakan salah satu latihan militer gabungan tahunan terbesar mereka. Taiwan, saingan China selama delapan dekade terakhir, kemungkinan akan bergabung dengan Latihan Lingkar Pasifik yang diselenggarakan militer AS tahun ini sebagai pengamat, kata media Taiwan pada awal tahun ini.

Para ahli telah mengatakan kepada VOA bahwa negara-negara Asia Tenggara yang mengklaim atas laut yang disengketakan, secara pribadi menyetujui Angkatan Laut AS mengirim kapal perang ke jalur air itu sebagai peringatan untuk Beijing.

Dalam laporan terpisah, organisasi non-pemerintah International Crisis Group mengatakan Filipina dan Vietnam telah mencoba selama dekade terakhir untuk menyeimbangkan kebijakan luar negeri mereka antara Washington dan Beijing. Washington mewakili keamanan, sementara Beijing adalah tetangga dan sumber perdagangan dan investasi.

 


Reaksi China

FOTO: Peneliti Temukan 11 Spesies Paus di Laut China Selatan

China dan AS adalah musuh Perang Dingin, dan mereka adalah negara adidaya yang saling bersaing saat ini.

Oh mengatakan China mungkin sedikit khawatir tentang pandangan Indonesia terhadap AS. Indonesia dinilai "tidak cukup menyelaraskan diri dengan AS” dan tidak mengutuk Rusia atas aksi invasinya di Ukraina seperti yang dilakukan banyak negara, katanya.

Pejabat di Beijing belum mengomentari latihan Garuda Shield yang diperluas tahun ini.

Indonesia menganggap China sebagai tujuan ekspor utamanya, dengan nilai $16,8 miliar per tahun, dan sumber investasi asing terbesar, sebesar $1,4 miliar dalam tiga bulan terakhir pada 2019.

Umat Muslim Indonesia mungkin keberatan dengan peran AS yang lebih kuat, kata Paramitangrum, dosen Hubungan Internasional di Universitas Bina Nusantara. Washington mencoba untuk memecah sel-sel muslim radikal di Indonesia, kata Departemen Kehakiman AS. Upaya tersebut dimulai setelah serangan teroris 11 September 2001, meskipun saat ini isu tersebut kurang mendapat perhatian.

AS mendekati Indonesia untuk merajut hubungan militer yang lebih kuat daripada sebaliknya, katanya.

"Selama China tidak melakukan apa-apa atau tidak mengeluarkan pernyataan yang mengungkapkan bahwa mereka kuat atau mereka ingin memamerkan kekuatan mereka, hal itu tidak masalah bagi Indonesia dan warga Indonesia," kata Paramitangrum.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya