Liputan6.com, Jakarta - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, menilai larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan minyak goreng yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak akan bertahan lama.
"Saya enggak yakin sampai satu bulan," kata Tulus kepada Liputan6.com saat berkunjung ke proyek Jalan Tol Japek II Selatan di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Senin (25/4/2022).
Advertisement
Pasalnya, ia menganggap kebijakan tersebut merupakan reaksi jangka pendek atas kenaikan harga minyak goreng di pasar nasional. Larangan ini otomatis bakal mendesak produsen CPO dan minyak goreng untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik (DMO) terlebih dahulu.
"Kalau saya melihat ini hanya sebagai solusi shock therapy untuk produsen minyak goreng agar tidak terlalu jumawa. Sehingga bisa negosiasi dengan pasar domestik. Karena selama ini dia standarnya pasar internasional," ungkapnya.
"Artinya larangan ekspor ini ada bargaining dari negara, sehingga industri CPO harus menurunkan potensi agar harganya bisa lebih terjangkau," ujar Tulus.
Seperti diketahui, Presiden Jokowi telah memutuskan untuk melarang ekspor bahan baku minyak goreng maupun minyak goreng mulai 28 April 2022. Keputusan ini turut dikritisi oleh Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira.
Penerapan kebijakan penghentian ekspor bahan baku minyak goreng maupun ekspor minyak goreng ini akan memangkas cadangan devisa negara. Yakni, berkisar USD 3 miliar atau Rp 43 triliun.
Catatan ini merujuk data nilai ekspor CPO pada Maret 2022 Indonesia sebesar USD 3 miliar. Sehingga jika kebijakan diterapkan, maka devisa negara akan menguap senilai tersebut, atau setara 12 persen dari total ekspor non-minyak dan gas (non-migas).
"Jadi, estimasinya di bulan Mei apabila asumsi pelarangan ekspor berlaku 1 bulan penuh kehilangan devisa sebesar USD 3 miliar," jelas Bhima.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pengumuman Jokowi
Presiden Joko Widodo atau Jokowi memutuskan untuk melarang ekspor bahan baku minyak goreng maupun minyak goreng, mulai 28 April 2022. Kebijakan ini diputuskan dalam rapat terbatas bersama jajaran menterinya, Jumat (22/4/2022).
"Hari ini saya telah memimpin rapat tentang pemenuhan kebutuhan pokok rakyat utamanya, yang berkaitan dengan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri," kata Jokowi dalam konferensi pers di Youtube Sekretariat Presiden, Jumat (22/4/2022).
"Dalam rapat tersebut, telah saya putuskan pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng, mulai Kamis 28 April 2022 sampai batas waktu yang akan ditentukan kemudian," sambungnya.
Jokowi menekankan dirinya akan terus memantau dan mengevaluasi kebijakan ini. Hal ini agar stok minyak goreng di dalam negeri tercukupi dengan harga yang juga terjangkau.
"Saya akan terus memantau dan mengevaluasi kebijakan ini agar ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melimpah dengan harga terjangkau," jelas Jokowi.
Advertisement
Rugikan Petani Kecil
Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Hanteru Sitorus meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengevaluasi kebijakan larangan ekspor Crude Palm Oil (CPO) atau minyak nabati mentah dari kelapa sawit beserta minyak goreng.
Menurut dia, kebijakan tersebut bisa merugikan petani kecil dan mendorong lonjakan harga, termasuk produk turunan seperti minyak goreng. Deddy menilai keputusan ini tepat apabila dilakukan dalam jangka waktu pendek saja.
"Tetapi ini bisa merusak industri CPO secara keseluruhan, industri minyak goreng juga, dan ini merugikan petani petani kecil yang ada di pedalaman. Terutama petani sawit kecil, pemilik lahan sawit sedang dan pemilik kebun sawit yang tidak memiliki pabrik pengolahan CPO, refinery atau pabrik minyak goreng," jelas Deddy dikutip dari siaran persnya, Jumat (22/4/2022).
Dia mengingatkan bahwa sekitar 41 persen pelaku industri sawit adalah rakyat kecil. Untuk itu, Deddy mengatakan kebijakan ini akan membuat rakyat kecil menjadi menderita.
"Jadi ini menyangkut jutaan orang dan mereka yang pertama akan menderita akibat kebijakan tersebut," ucapnya.
Pemerintah, kata dia, seharusnya paham bahwa moratorium hanya akan menguntungkan pemain besar. Khususnya, mereka yang punya pabrik kelapa sawit sendiri, fasilitas refinery, pabrik minyak goreng, atau industri turunan lainnya.
"Mereka juga memiliki modal kuat, memiliki kapasitas penyimpanan besar, dan pilihan-pilihan lain untuk menghindari kerugian," ujar Deddy.
Dia menyarankan pemerintah untuk mengembalikan kebijakan Domestic Price Obligation (DPO) dan Domestic Market Obligation (DMO). Hal ini dinilai lebih baik ketimbang melarang ekspor CPO dan minyak goreng.
Dengan DMO, maka eksportir CPO wajib mengalokasikan 20 persen ekspornya ke dalam negeri dengan harga CPO yang ditetapkan Pemerintah. Selain itu, Pemerintah bisa menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET).
Sinergi
Selanjutnya, Pemerintah harus memastikan barangnya tersedia dan diawasi dengan baik. Jika pengawasan berjalan dengan baik, kegiatan penyeludupan dan penimbunan dapat dicegah.
"Tanpa sinergi yang antara kegiatan pengawasan, pencegahan dan penegakan hukum, masalah kelangkaan dan harga produk yang tinggi tidak akan pernah bisa selesai. Ingat, moratoriun itu akan memicu kegiatan penyeludupan sebab barang akan langka dan harganya melonjak di luar negeri," tutur Deddy.
"Kalau perlu dikuasai oleh Negara, termasuk distribusinya," sambung dia.
Advertisement