Kisah Syekh Nawawi Banten dan Pesannya untuk Para Haji Nusantara di Era Kolonial

Syekh Nawawi Banten belajar kepada Syekh Abdul Samad Al-Palimbani tentang pentingnya bela Tanah Air dengan berjihad yang saat itu konteksnya melawan penindasan penjajah.

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Apr 2022, 19:36 WIB
Syekh Nawawi al-Bantani

Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Islam Nusantara Ahmad Baso menilai, Syekh Nawawi Banten merupakan seorang tokoh ulama yang mengajarkan tentang pentingnya belajar agama dengan sanad keilmuan yang jelas.

Syekh Nawawi Banten juga mengajarkan cinta Tanah Air dan pentingnya membela rakyat kecil dari penindasan kolonial. Hal itu ditunjukkan saat Syekh Nawawi Banten memberikan pesan kepada para haji yang pulang dari Mekkah untuk berjuang melawan penindasan atas eksploitasi tanah petani di Banten pada 1888.

Demikian hal itu disampaikan Ahmad Baso dalam serial “Inspirasi Ramadan 2022” bertajuk “Keteladanan Syekh Nawawi Banten” yang tayang akun Youtube BKN PDI Perjuangan pada Senin (25/04/2022) yang dipandu oleh Mabda Dzikara.

“Para haji yang baru pulang dari Mekkah dapat pesan-pesan dari Syekh Nawawi Banten agar berjuang untuk membela rakyat kecil dari penindasan. Saat itu konteks masalah beratnya pajak dan eksploitasi tanah yang menyulitkan para petani di Banten. Hal itu mengundang keprihatinan Syekh Nawawi. Kita perlu koreksi dan tunjukkan kekuatan kita maka dari itu kita perlu jihad,” ujar Ahmad Baso.

Ahmad Baso menjelaskan, sebelumnya Syekh Nawawi Banten belajar kepada Syekh Abdul Samad Al-Palimbani tentang pentingnya bela Tanah Air dengan berjihad yang saat itu konteksnya melawan penindasan penjajah. Berangkat dari semangat itu, Syekh Nawawi menyimpulkan diperlukan perlawanan untuk mengusir kolonial Belanda.

“Sebelumnya Syekh Nawawi Banten belajar kepada ulama dari Palembang yang mengajar di Mekkah yakni Syekh Abdul Samad Al-Palimbani tentang pentingnya membela nusantara dan mengusir penjajah dengan Jihad, beliau mengulangi fatwa itu,” lanjut Ahmad Baso.

selanjutnya Ahmad Baso menjelaskan, Syekh Nawawi Banten mengajarkan tentang pemahaman agama yang lebih dalam, kecintaan kepada agama pastinya akan meningkatkan kecintaan kepada Tanah Airnya sebagai identitas, karena Tanah Air bagian dari harga diri seseorang.

“Semakin tinggi kecintaan kita pada agama, mendorong juga kecintaan kita pada negeri dan bangsa ini. Hubbul Wathan Minal Iman. Banyak orang militansi agamanya tinggi tetapi justru ingin merusak negerinya sendiri, Syekh Nawawi Banten tidak pernah mengajarkan hal itu," ujar dia.

"Justru mengajarkan cintailah negerimu dulu, orang yang beragama pasti akan mencintai Tanah Airnya karena itu bagian dari harga diri dan tempat lahir kita,” Ahmad Baso menambahkan.

Selain itu Ahmad Baso juga menegaskan, mempelajari agama juga perlu guru agama yang sanad keilmuannya yang jelas. Kita tidak boleh belajar agama dengan sembarangan, dikhawatirkan akan salah menafsirkan ilmu agama.

“Kita harus mendalami ilmu agama dahulu. Harus banyak berguru dan punya sanad keilmuan yang jelas, karena kalau belajar agama tidak punya gurunya itu berbahaya. Mendalami agama tidak sembarangan karena sumbernya tidak jelas, nanti mempermainkan agama bahkan bisa keliru dalam menafsirkan atau memahami agama. Apalagi kalau mengajarkannya kepada orang lain,” tutur Ahmad Baso.


Kisah Syekh Kholil Bangkalan

Jika para santri hendak menimba ilmu, maka harus 'pergi ngetan' yang berarti berziarah ke timur. Tujuannya adalah ke makam Syekh Kholil Bangkalan. Tradisi masyhur tersebut berlaku karena Syekh Kholil merupakan ulama pejuang dan mahaguru bagi ulama di Nusantara.

Hal itu disampaikan oleh Lora Kholil, saat mengisi program Inspirasi Ramadhan Edisi Sahur bertajuk Inspirasi Keteladanan Syekh Kholil Bangkalan di akun youtobe BKN PDI Perjuangan, dipandu oleh host Mabda Dzikara, Selasa (12/04/2022).

“Ada suatu aturan tidak tertulis bahwasanya santri-santri itu harus memiliki tradisi ngetan. Dalam salah satu catatan hariannya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, sembilan dari sepuluh orang Jawa yang pandai beragama Islam pasti pernah ke Bangkalan. Untuk mematahkan semangat nasionalisme, harus dipatahkan dari Bangkalan. Jadi Bangkalan menjadi semacam markas tidak resmi” jelas Lora Kholil.

Dia menjelaskan bahwa ulama yang bernama lengkap Akhmad Kholily Kholil itu sejak kecil sudah dididik dengan sangat ketat oleh ayahnya bernama KH Abdul Lathif. Ia dari kecil memiliki keistimewaan yang haus akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan Nahwu. Bahkan ia sudah hafal dengan baik 1.002 bait nadzam Alfiyah Ibnu Malik sejak usia muda.

 


Masa Kecilnya

Sehingga, dari dulu ia dikenal sebagai sosok pencinta ilmu, dimana di usia yang masih anak-anak ia sudah mewarisi keilmuan dan jaringan kepada ulama-ulama di Nusantara.

Kiai Kholil Bangkalan, lanjut Lora Kholil, menempuh proses pendidikan yang panjang dan berat. Beliau berpindah-pindah guru dari Madura hingga ke Mekkah. Dengan segala keterbatasan di zamannya, beliau bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu.

Syekh Kholil memiliki banyak murid. Hal tersebut bisa dilihat dari luasnya jaringan murid yang menyebar di berbagai penjuru Indonesia. Terdapat sekitar 500 ribu orang di Nusantara berguru kepada beliau. Diantaranya, ada 500 orang yang beretnis Arab. Hal tersebut membuat Syekh Kholil bukan hanya mahaguru bagi orang-orang Nusantara, melainkan juga untuk etnis lainnya juga.

“Pengaruh Syekh Kholil tidak hanya dikalangan pesantren tetapi para negarawan, bahkan para founding father justru mengambil inspirasi dari Syekh Kholil Bangkalan,” jelas pria keturunan Syekh Kholil generasi kelima itu.

Lora menyatakan, warisan sesungguhnya dari Syekh Kholil, yang telah menapaki perjalanan bangsa dari masa kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan, adalah cara dakwahnya yang luar biasa dan patut diteladani.

“Beliau di masa hidupnya mendapat tekanan dari pemerintah Bangkalan agar ketika khotbah jumat dipaksa untuk memuji kerajaan bangkalan atau sesuatu yang mereka tidak miliki," ujarnya.

 


Tentang Sosok Pendiri Gontor

Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, KH Helmy Hidayat mengatakan, momentum Ramadhan kali ini, perlu untuk melihat mengenang akan sosok KH Imam Zarkasyi, salah satu sosok ulama yang terkenal dari Pondok Modern Darrussalam Gontor, yang disebutnya seorang tokoh dengan wawasan luas dan cara pandang yang terbuka.

Hal tersebut disampaikannya dalam talkshow Ramadhan yang diadakan oleh BKN PDIP pada Sabtu (23/4/2022).

Menurut KH Helmy, KH Imam Zarkasyi menginginkan pesatren yang mengajarkan ultikulturalisme, sebagai representasi dari potret Indonesia dengan keragaman nilai tradisi dan budaya.

"Dengan visi tajamnya mau mengatakan, bahwa inilah gontor yang mengajarkan multi kulturalisme, yang percaya Islam harus dianut siswanya dan menghormati agama lain yang ada di luar sana," kata dia.

Alumni Pondok Gontor ini juga mencontohkan, bagaimana dalam pergaulan sehari-hari sebagai santri, untuk bisa bergaul dengan siapa saja, bukan hanya yang berasal dari kota sendiri. Tujuannya agar para santri ini bisa membuka wawasannya dan paham terkait perbedaan tradisi dan budaya Indonesia.

"Kamu dari jakarta bergaulah dengan orang kalimantan, orang NTT. Jadi sebetulnya sejak kecil sekali kami di tanamkan bibit cinta yang multikulturalis," kata KH Helmy.

Menurutnya, para tokoh pendiri Pondok Pesantren Gontor memahami betul watak pendidikan berkemajuan yang dapat disesuaikan dengan tradisi pesantren, yang memang telah begitu lama hidup di Nusantara.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya