Ukraina Minta Rp 28,8 Triliun per Bulan ke Joe Biden untuk Pemulihan Ekonomi

Dana sebesar US$ 2 miliar itu dibutuhkan Ukraina untuk pemulihan ekonomi.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 26 Apr 2022, 15:01 WIB
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky meminta Presiden AS Joe Biden memberikan dana US$ 2 miliar per bulan (AP Photo/Patrick Semansky).

Liputan6.com, Kyiv - Pemerintahan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky meminta anggaran sebesar US$ 2 miliar (Rp 28,8 triliun) per bulan kepada Presiden Amerika Serikat Joe Biden untuk membantu pemulihan ekonomi. Dana itu diminta meski kondisi ekonomi AS sedang inflasi. 

Angka US$ 2 miliar itu hanya angka minimal. Pihak Ukraina berkata kondisi kemanusiaan di negaranya bisa makin parah jika dana itu tidak cair. 

Hal itu berdasarkan laporan The Washington Post terkait pertemuan antara Menteri Keuangan Ukraina Serhii Marchenko. Total yang dibutuhkan Ukraina disebut US$ 5 miliar (Rp 72 triliun) per bulan dengan dana US$ 2 miliar berasal dari AS.

Dana itu rencananya akan digunakan untuk bulan April, Mei, dan Juni. Ada pula kebutuhan jangka panjang untuk pulih dari perang akibat invasi Rusia.

Media pemerintah Ukraina, Ukrinform, melaporkan bahwa Ukraina hanya bisa mendapatkan 54 persen anggaran yang dibutuhkan jika dari pajak saja. Angka itu belum menghitung biaya militer.

Marchenko berkata Ukraina mencari bantuan ekonomi untuk lanjut membayar pensiun, gaji pegawai kesehatan dan pendidikan, serta kebutuhan kemanusiaan lain.

Di lain pihak, Senat AS telah meloloskan RUU untuk mengalokasikan US$ 14 miliar ke Ukraina. Sebelumnya, Menteri Keuangan AS Janet Yallen berkata pemerintahan Biden ingin menambah bantuan untuk Ukraina.

"Kami terinspirasi oleh keberanian mereka, dan berdiri bersama mereka, dan akan melakukan segala yang kami bisa untuk menggunakan sumber-sumber daya kami untuk mendukung kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi," jelas Janet Yellen.

 (US$ 1: Rp 14.406)

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Bank Dunia Ungkap Dampak Ekonomi dari Invasi Ukraina

Serangan Rusia ke Ukraina berdampak ke ekonomi global (AP Photo/Petros Giannakouris).

Sementara, Bank Dunia juga baru mengeluarkan laporan mengenai dampak perang di Ukraina. Efek dari invasi merambat ke pasar komoditas, aliran finansial, hingga kepercayaan pasar.

Bank Dunia menegaskan bahwa ekonomi Ukraina sedang hancur. Perang mengakibatkan dampak berupa kematian, disabilitas,  kehancuran infrastruktur, jutaan masyarakat yang harus mengungsi, serta hilangnya pekerjaan dalam skala besar.

Bank Dunia juga mengingatkan bahwa dunia, termasuk negara-negara berkembang, ikut terdampak akibat perang ini.

"Konflik ini mengikis kepercayaan global, melemahkan pertumbuhan, menambah stres fiskal dan finansial, dan memperburuk masalah kekurangan makanan dan nutrisi," tulis Bank Dunia dalam laporan yang rilis pada 12 April 2022.

Selain itu, efek gabungan pandemi COVID-19, perubahan iklim, dan perang dikhawatirkan bisa menambah kelaparan, malnutrisi, dan kurangnya makanan bagi jutaan orang di seluruh dunia.

Para pembuat kebijakan pun akan kesulitan sebab ruang fiskal semakin terbatas, sehingga dikhawatirkan akan mengambil kebijakan-kebijakan yang sulit. Alhasil, agenda iklim akan terabaikan.

Rencananya, Bank Dunia sedang mendiskusikan untuk penggunaan dana US$ 170 miliar untuk periode April 2022 hingga Juni 2023 untuk membantu berbagai negara agar kuat dari krisis yang ada.


IMF: Ekonomi Asia Bakal Hadapi Stagflasi Imbas Perang Rusia Ukraina

Dampak ekonomi dari invasi Rusia. (AP Photo/Rodrigo Abd)" 

Kawasan Asia diperkirakan menghadapi prospek "stagflasi" dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari perkiraan sebelumnya, dan inflasi yang lebih tinggi imbas dampak konflik Rusia Ukraina.

Hal itu diungkapkan oleh Acting Director IMF (Dana Moneter Internasional) Asia and Pacific Department, Anne-Marie Gulde-Wolf dalam sebuah konferensi pers pada Selasa (26/4/2022).

"Pengetatan moneter akan dibutuhkan di sebagian besar negara, dengan kecepatan pengetatan tergantung pada perkembangan inflasi domestik dan tekanan eksternal," kata Anne-Marie, dikutip dari Channel News Asia, Selasa (26/4/2022).

Prospek regional, yang mengikuti Outlook Ekonomi Dunia yang dirilis pekan lalu, menunjukkan perkiraan pertumbuhan ekonomi Asia dipotong menjadi 4,9 persen, dipengaruhi oleh perlambatan pelonggaran lockdown di China, yang memiliki efek besar pada ekonomi lainnya.

Inflasi Asia sekarang diperkirakan akan naik hingga 3,2 persen tahun ini, satu poin penuh lebih tinggi dari yang diperkirakan pada Januari 2022, menurut Anne-Marie.

Tetapi Anne-Marie juga menyampaikan, bahwa "Meskipun terjadi penurunan peringkat, Asia tetap menjadi kawasan paling dinamis di dunia, dan sumber penting pertumbuhan global".

Namun konflik Rusia-Ukraina dan sanksi ekonomi dari negara Barat terhadap Moskow telah menaikkan harga pangan dan bahan bakar di seluruh dunia, sementara bank sentral utama menaikkan suku bunga untuk memerangi inflasi, yang akan menekan negara-negara dengan beban utang yang tinggi.

Anne-Marie menambahkan, lockdown Covid-19 yang berkepanjangan di China, dan kemerosotan yang lebih lama dari perkiraan di pasar properti juga menghadirkan "risiko signifikan bagi kawasan (Asia)".

"Ini adalah waktu yang menantang bagi pembuat kebijakan ketika mereka mencoba untuk mengatasi tekanan pada pertumbuhan ekonomi dan mengatasi kenaikan inflasi," kata pejabat IMF itu.


Sri Mulyani Fokus kepada Multilateralisme di G20

Menteri Keuangan Sri Mulyani berkata G20 akan fokus pada kooperasi dan multilateralisme. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Indonesia sebagai pemegang Presidensi G20 memiliki peran besar dalam memimpin aksi global menuju pemulihan yang kuat, berkelanjutan, seimbang dan inklusif.

Hal itu ia sampaikan dalam acara Debate on the Global Economy, pada Jumat (22/04/2022). Ia juga menyampaikan, kondisi perekonomian global dan tensi geopolitik menjadi tantangan tersendiri yang harus dihadapi Indonesia dalam Presidensi G20.

"Karena G20 didasarkan pada konsensus, kami berkonsultasi dengan seluruh negara anggota. Mereka percaya dan menginginkan kerjasama, kolaborasi, dan koordinasi. Ini sebenarnya yang mereka ingin untuk dilestarikan, terlepas dari perbedaan,” kata Menkeu Sri Mulyani, dikutip dari kemenkeu.go.id, Jumat (22/04).

Sebagai informasi, forum G20 merupakan forum multilateral dengan semangat kerjasama untuk membahas upaya bersama dalam menghadapi permasalahan dunia, termasuk pandemi, perubahan iklim, upaya perlindungan untuk negara miskin yang rentan dari dampak ekonomi global, serta dampak rambatan dari konflik geopolitik.

Adapun praktik tata kelola forum G20 yang berdasarkan konsensus dan konsultasi dengan tujuan meningkatkan kerja sama di sektor ekonomi dan keuangan terhadap agenda global strategis.

"Maka, tanggung jawab kita dalam memegang presidensi ini adalah berusaha untuk terus menjalin kolaborasi dan kerja sama yang baik. Mencoba untuk menyelamatkan sepotong aset terpenting di dunia yaitu koordinasi dan kolaborasi," ujar Menkeu.

Sebagai Presidensi G20, Indonesia menjamin penyelenggaraan pembahasan agenda G20 berdasarkan semangat kooperasi dan multilateralisme.

Hal ini selaras dengan prinsip konstitusi Indonesia untuk berperan serta dalam ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial sesuai dengan hukum internasional.

Meski situasi global masih tidak menentu, Presidensi G20 Indonesia terus berupaya mengawal agenda-agenda utama pembahasan untuk mendorong pemulihan ekonomi yang adil, merata, dan berkelanjutan. 

Infografis G20.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya